Oleh: Umma Muhammad
Sambungan artikel PERTAMA
Jaringan ekonomi berupa perdagangan para pendakwah Islam di Nusantara telah berkontribusi cukup besar dalam meningkatkan tingkat perekonomian pribumi. Telah terbentuk jaringan pasar antara kesultanan Nusantara dengan berbagai kerajaan di luar negeri. Bahkan, Kerajaan Aceh dan Demak selain menjalin hubungan politik juga telah mengadakan kerjasama perdagangan dengan Turki.
Budaya Intelektual
Intelektualitas kaum santri sejak zaman awal kedatangan Islam sampai masa pasca kolonialisme telah terbukti meningkatkan daya fikir dan budaya ilmu kaum pribumi Indonesia.
Dari abad ke-15 sampai ke-17 Melayu-Indonesia mengesankan perubahan pemikiran dalam pandangan hidupnya (worldview), yang melahirkan filsuf, ulama dan pemikir tingkat internasional dengan karya-karya yang berbobot. Sejak Islam masuk, budaya masyarakat lebih maju dan lebih mengenal etika.
Sejak abab ke-17 itu bangkit tradisi berpikir lebih rasional-religius. Risalah-risalah tentang metafisika dan falsafah begitu mudah ditulis oleh pendakwah Islam untuk dinikmati kalangan umum. Oleh sebab itu, karya sastra Melayu-Islam, seperti yang populer di Aceh dan tanah Jawa, tidak berdasarkan mitos dan dongeng tapi lebih bersifat saintifik, serius dan ilmiah.
Karya tulis klasik ulama Nusantara sangat kaya dengan falsafah dan ilmu. Meskipun nama hurufnya adalah Arab-Jawi, namun penggunaannya tidak hanya di sekitar pula Jawa. Namun menyeluruh di daerah-daerah yang terislamkan. Seperti Sumatra, semenanjung Malaka, Kalimantan, dan Jawa.
Risalah Tasawuf Hamzah Fansuri, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja Pasai,Karya Kiai Shaleh Darat, sebagian karya Syeikh Hasyim Asy’ari (sebagian besarnya ditulis dengan bahasa Arab) dan karya-karya ulama Jawa lainnya memakai huruf Arab-Jawi. Di pesantren-pesantren Nusantara dari dulu hingga kini masih mempertahankan tradisi menulis Arab-Jawi dalam pelajaran agama.
Baca: Jejak Intelektual Muslim dan Ulama Membangun Indonesia [1]
Karya-karya tersebut bukan karya mitologis, tapi karya tersebut ada yang bertema metafisika, adab, falsafah dan lain-lain. Budaya ilmu dalam bentuk karya tulis dengan kualitas tinggi sudah meluas di kawasan Sumatra dan Jawa. Keagungan sebuah peradaban ditandai dengan meningkatnya budaya tulis.
Di Aceh lahir Hamzah Fansuri, orang yang pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan secara rasional dan sitematis-filosofis.
Ada juga Nuruddin al-Raniri, Mufti Besar Sultan Iskandar II. Sultan Iskandar, menulis sekitar 22 buah judul buku. Karya terkenalnya dalam bidang teologi adalah Durr al-Fara’id, terjemahan bahasa Melayu dari Syarah Aqa’id al-Nasafiyah oleh Syeikh Taftazani. Kitab akidah yang ditulis oleh Syeikh Umar al-Nasafi, ulama bermadzhab Hanafi. Kitab yang diterjemah al-Raniri ini berisi asas-asas akidah dan prinsip epistemologi Islam.
Beberapa ulama Muslim yang diakui internasional adalah Syeikh Nawawi al-Jawi al-Bantani, Syeikh Yasin al-Fadani, Syeikh Mahmud al-Tirmasi dan lain-lain yang karyanya dicetak dan dipelajari di Timur Tengah.
Baca: Islamisasi Alam Melayu lahirkan Budaya Intelektualisme Sunni
Kitab Tuhfatu al-Nafis, ditulis Raja Ali Haji dari Riau mengandung cerita tentang ilmu astronomi. Ditulis di dalamnya: “ … Raja Ahmad itu pergi berulang-ulang mengaji ilmu falakiyah … kepada Syeikh Abd al-Rahman Misri di dalam Betawi itu” (Tatiana Dannisova, Refleksi Historiografi Alam Melayu, hal.64).
Dan masih banyak lagi karya-karya ilmu pengetahuan di Nusantara. Pada masa abad ke-16 hingga zaman akhir penjajahan Belanda, Pesantren menjadi basis pengembangan budaya ilmu untuk kaum pribumi Nusantara.
Di masa penjajahan hingga kemerdekaan itulah tradisi intelektualisme kaum santri dan ulama tetapi dipertahankan. Sebelum berdiri sekolah-sekolah umum yang dibentuk Belanda, para ulama telah mendirikan pusat-pusat studi berupa madrasah dalam lingkungan pondok pesantren.
Pada masa revolusi Indonesia, pusat-pusat studi tersebut tidak terpengaruh oleh situasi politik dan peperangan, baik dalam luar negeri maupun luar negeri.
Pada tahun 1945, para kiai NU se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya mengadakan pertemuan khusus yang dimpimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Dalam kesempatan itu, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan tausiyah tentang kewajiban umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Beliau pernah menjadi pelopor berdirinya jaringan intelektual Muslim di Pulau Jawa. Jaringan intelektual yang dibangun mampu membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh budaya asing seperti penjajah Belanda dan Jepang. Sebab, untuk membangun kekuatan bangsa Indonesia, diperlukan jaringan intelektual Muslim sebagai penggerak. Bagi KH. Hasyim Asy’ari, para intelektual Muslim, jangan sampai terpecah tapi harus menyatu. Indonesia akan lemah jika intelektual Muslim lemah. Pada tahun 1944, beberapa tokoh Islam mengangkat KH. Hasyim Asy’ari sebagai ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang komponennya dari beberapa organisasi Islam di Indonesia.
Ketika keadaan umat Islam Indonesia terjadi perpecahan pada masa penjajahan. KH. Hasyim Asy’ari tetap mengusahakan untuk membuat persatuan di antara mereka. Jika umat Islam — sebagai komponen terbesar bangsa Indonesia — terpecah, maka akan berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia secara keseluruhan. Apalagi Indonesia masih sedang dalam cengkeraman penjajah. Jadi persatuan Indonesia, harus diasaskan terlebih dahulu oleh persatuan umat Muslim Indonesia. Persatuan menurut KH. Hasyim Asy’ari harus dibangun di atas dasar keikhlasan dan kesadaran individu.
Berkaca dari lembaran sejarah tersebut, ada kekeliruan besar jika saat ini menuduhkan apakah umat Islam dan ulama seolah tidak cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan seolah-olah Islam anti Pancasila.
Sementara sejarah menunjukkan Islam dan ulama justru sangat besar jasanya dalam pendirian Negara ini.*
Penulis ibu rumah tangga, pencinta sejarah dan kajian pemikiran Islam. Aktif di ITJ Chapter Malang