Hidayatullah.com- PADA awalnya, Ahmad bin Ismail Al Kurani hafal Al Qur`an bersama tujuh qira’atnya di bawah bimbingan Ali Az Zain Abdurrahman bin Umar Al Qazwini. Bukan hanya sebatas Al Qur`an dan ilmu qira’at, ilmu-ilmu yang lainnya seperti balaghah, nahwu, fiqih, juga ia dapati dari gurunya itu. Ulama yang lahir pada 813 H ini juga berguru kepada ulama lainnya seperti Al Jalal Al Halwani, lalu ia melakukan perjalanan ke Damaskus berguru kepada Ala’ Al Bukhari. Ketika Al Jalal Al Halwani berangkat manuju Bait Al Maqdis, Al Kurani menyertainya dan masih mengambil manfaat dari gurunya itu. Kamudian Al Qur`ani pergi menuju Kairo, lalu berguru kepada Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, juga ulama-ulama lainnya. (Adz Dzau’ Al Lami`, 1/241)
Di Kairo, keilmuan Al Kurani memperoleh perhatian dari penguasa kala itu, hingga ia diangkat menjadi guru fiqih di Al Barquqiyah. Ia juga amat dekat dengan Adh Dhahir Juqmaq, pemimpin Mesir kala itu. (Adz Dzau’ Al Lami`, 1/241)
Namun, suatu saat, ada perselisihan pribadi antara Al Kurani dengan Hamiduddin An Nu’mani, yang merupakan keturunan Imam Abu Hanifah, hingga akhirnya perkara itu di bawa ke pengadilan. Dan hakim di waktu itu yang mengakimi perkara adalah Ibnu Ad Diri yang bermadzhab Hanafi. Akhirnya Al Kurani pun diputuskan untuk diasingkan, dan diberhentikan dari Barquqiyah. Akhirnya Al Kurani pun diasingkan di Damaskus. (Adz Dzau’ Al Lami`, 1/242)
Al Kurani Berhasil Jadikan Al Fatih Hafal Al Qur`an
Kemudian Al Kurani memilih melakukan perjalanan ke negeri Rum (Turki), dan memiliki hubungan baik dengan penguasanya, yakni Sultan Murad. Ia pun diminta untuk mendidik putra mahkotanya, yakni Muhammad Al Fatih. (Mu’jam Al Mufassirin, 1/30)
Sultan Murad sendiri telah berusaha untuk memberikan pendidikan terbaik kepada putranya itu. Beliau telah memilih guru-guru khusus yang bertugas mendidik sang anak. Namun para guru gagal mendidiknya dan mereka pun menyerah karena Muhammad tidak pernah mengindahkan apa yang disampaikan oleh mereka.
Akhirnya Sultan Murad memilih Syeikh Ahmad bin Ismail Al Kurani untuk mendidik sang putra. Tidak cukup menunjuk, bahkan Sultan Murad II memberikan pemukul kepada beliau, untuk digunakan memukul Muhammad jika ia melakukan pembangkangan.
Al Kaurani pun memasuki ruang belajar Muhammad dengan alat pemukul di tangan dan mengatakan,”Ayahmu mengirimku untuk mengajarimu beserta pemukulnya jika engkau menentang perintahku”. Apa yang terjadi? Muhammad malah tertawa mendengar perkataan itu. Namun rupanya Syeikh Al Kaurani sudah mengantisipasi hal itu, sang guru pun memukul Muhammad dengan pukulan yang keras di ruangan itu hingga akhirnya Muhammad merasa amat takut terhadap gurunya itu.
Apa yang dilakukan oleh Syeikh Al Kurani ternyata membuahkan hasil. Dalam waktu singkat Muhammad hafal Al Qur`an. (Asy Syaqa`iq An Nu’maniyah, hal. 51, 52)
Tidak hanya mengajar, bahkan Al Kurani menulis sebuah kitab yang berupa qasidah dalam ilmu al `arudh, yang berjumlah 600 bait. Karya itu diperuntukkan kepada Muhammad Al Fatih, yang ia kasih nama Asy Syafi’iyah fi Ilmi Al ‘Arudh wal Al Qafiyah. (Ath Thabaqat As Suniyyah, hal. 82)
Perselisihan dengan Al Fatih
Setelah Sultan Murad wafat dan digantikan putranya Muhammad Al Fatih, ia manawarkan kepada Al Qurani sebagai wazir, namun Al Kurani menolaknya. Namun setelah ditawarkan kepadanya jabatan qadhi militer Al Kurani menerima. Namun kemudian, Al Fatih menginginkan Al Kurani menjadi qadhi di Bursa, sebuah kita di Turki. Dan suatu saat, datang surat dari Al Fatih kepada Al Kurani, dimana dalam surat itu ada perkara yang menyelisihi syari’at, dan Al Kurani pun merobek surat tersebut. Al Fatih pun melepas jabatan Al Kurani, sehingga terjadi konflik antar keduanya, dan Al Kurani pergi meninggalkan Turki menuju Kairo. Namun, Al Fatih menyesal dengan tindakannya itu, hingga akhirnya ia meminta kepada Sultan Qitbay, penguasa Mesir, untuk mengirim Al kurani kembali ke Turki. Akhirnya, Al Kurani kembali ke Turki dan kembali menjabat sebagai qadhi. Bahkan Al Fatih mengangkatnya sebagi mufti. (Asy Syaqa`iq An Nu’maniyah, hal. 52, 53)
Waktu Hanya Untuk Ilmu dan Ibadah
Waktu Al Kurani hanya digunakan untuk ilmu dan ibadah. Salah satu dari beberapa murid Al Kurani menyampaikan bahwasannya suatu malam, ia menginap di rumah gurunya itu. Setelah shalat Isya’, ia melihat gurunya membaca Al Qur`an. Ketika terjaga di malam hari, ia masih melihat gurunya membaca Al Qur`an. Saat si murid terjaga ke dua kalinya, ia mengetahui bahwa sang guru membaca surat Al Mulk. Dan hingga fajar tiba, ia mengetahui bahwa sang guru telah selesai menghatamkan Al Qur`an. Sampai akhirnya sang murid bertanya kepada pembantu sang guru. Si pembantu pun menyampaikan bahwa demikian itu adalah kebiasan Syeikh. (Asy Syaqa`iq An Nu’maniyah, hal. 52, 53)
Al Kurani Ikut Serta dalam Penaklukkan Konstantinopel
Tidak hanya menyibukkan diri dalam ilmu saja, Al Kurani ikut serta dalam jihad untuk menaklukkan Konstantinopel. (Al Kautsar Al Jari, 5/480)
Jangkauan Ilmu Lebih Jauh dari Jangkauan Pedang
Suatu saat Amir Taimur Khan, salah satu penjabat tinggi negara marah terhadap Syeikh Al Kurani, hingga ia merasa jengkel hendak membunuhnya, ia berkata,”Namun bagaimana aku membunuh seorang laki-laki yang mana kitab-kitabnya sudah dibaca di berbagai negeri, sedangkan pedangku belum sampai ke sana!” (Asy Syaqa`iq An Nu’maniyah, hal. 53)
Al Kurani sendiri memiliki banyak karya di berbagai disiplin ilmu. Karya yang berupa tafsir Al Qur`an bernama Ghayah Al Alamani. Sedangkan untuk Hadits, Al Kurani mensyarah Shahih Al Bukhari dengan nama Al Kautsar Al Jari. Al Kurani juga memberikan penjelasan terhadap syarh Al Ja`bari terhadap Asy Syathibiyah. Al Kurani juga menyampaikan ilmu-ilmu lainnya, dan banyak para penuntut ilmu yang menimba ilmu darinya. (Asy Syaqa`iq An Nu’maniyah, hal. 52, 53)
Setelah mengabdikan diri untuk ilmu dan penegakkan keadilan di wilayah kekuasaan Daulah Al Utsmaniyah, Al Kurani jatuh sakit, ia sendiri merasa bahwa ajal sudah dekat. Menjelang waktu ashar, Al Kurani bertanya waktu adzan ashar. Tak lama kemudian adzan ashar berkumandang, dan ketika muadzin selesai menyerukan takbir, Al Kurani pun meneruskan la ilaha illallah. (Asy Syaqa`iq An Nu`maniyah, hal. 55)
Al Kurani wafat pada tahun 893 H, dan Sultan pada waktu itu ikut menshalatkankan jenazahnya. (Badr Ath Thali`, hal. 35)