Sekularisme bukan netralitas, tapi proyek ideologis yang menggantikan Tuhan dengan akal dan mengasingkan agama dari kehidupan publik
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif
Dalam masyarakat modern yang disebut “sekuler”, tidak ada lagi kebenaran mutlak yang menjadi rujukan bersama. Semua keyakinan dianggap sama validnya. Agama tidak lagi dijadikan sumber nilai tertinggi, tetapi sekadar pilihan spiritual pribadi di antara banyak opsi lain.
Teolog liberal Inggris, John Hick, menyatakan secara lugas: “All religions are equally true and valid” (Semua agama sama-sama benar dan sah).
Sementara itu, Harvey Cox, teolog Harvard dan pionir teori sekularisasi, mengungkapkan: “There is no longer one single truth. There is no longer one single way to God, but a whole variety of equally good ways.” (Tidak ada lagi satu kebenaran tunggal. Tidak ada lagi satu jalan menuju Tuhan, melainkan berbagai macam jalan yang sama baiknya).
Pernyataan-pernyataan ini mencerminkan puncak dari relativisme modern, di mana semua agama diperlakukan sama tanpa ada kebenaran yang bersifat eksklusif.
Dalam atmosfer seperti ini, menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan dianggap sebagai bentuk intoleransi.
Konsekuensi Relativisme
Cara pandang pluralistik ini berdampak sangat serius terhadap kehidupan sosial:
- Agama tidak lagi menjadi panduan hidup bersama. Nilai-nilai agama hanya dianggap cocok untuk kehidupan privat.
- Sistem nilai harus tunduk pada “kesepakatan sosial”, bukan berdasarkan wahyu ilahi.
- Media dan pendidikan harus “netral”, artinya menjauh dari klaim kebenaran agama dan tidak boleh berpihak pada satu sistem kepercayaan.
Akibatnya, kehidupan publik menjadi bebas dari agama, tetapi juga kehilangan fondasi moral yang kokoh. Jika semua dianggap benar, maka tak ada yang benar secara obyektif. Inilah wajah masyarakat sekuler yang sesungguhnya: membingungkan dan rentan disorientasi nilai.
Apa Itu Sekularisme?
Secara etimologis, kata “sekularisme” berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti “zaman” atau “masa kini”. Pada mulanya, istilah ini hanya digunakan untuk membedakan antara urusan duniawi dan urusan keagamaan.
Namun dalam sejarah modern Barat, istilah ini berkembang menjadi sebuah ideologi: membebaskan manusia dari segala bentuk dominasi agama dan nilai metafisika.
Harvey Cox menjelaskan dalam bukunya The Secular City: “Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, turning his attention from other worlds to this one.” (Sekularisasi adalah pembebasan manusia dari kungkungan agama dan metafisika, mengalihkan perhatiannya dari dunia lain ke dunia ini).
Bagi Cox, manusia modern harus keluar dari “penjara” agama dan hanya fokus pada dunia fisik dan empirik. Masa lalu dan akhirat dianggap tidak relevan. Tuhan bukan lagi pusat perhatian.
Cox bahkan menyatakan bahwa sekularisasi adalah suatu proses yang tak terhindarkan: “Secularization rolls on” (Sekularisasi akan terus bergulir).
Solusinya bukan menolaknya, melainkan “mempelajarinya” dan berdamai dengannya.
Empat Ciri Masyarakat Sekuler
Agar dapat mengenali masyarakat sekuler, Dr. Syamsuddin Arif menguraikan empat ciri dominannya:
Pertama, diferensiasi peran sosial. Dalam masyarakat tradisional, agama menjadi otoritas utama dalam seluruh aspek kehidupan—politik, hukum, pendidikan, dan ekonomi. Namun dalam masyarakat modern, otoritas ini tersebar ke lembaga-lembaga sekuler seperti parlemen, birokrasi, media, dan pasar.
Tidak ada satu otoritas tertinggi. Semua fungsi sosial dipisahkan dari agama, dan dikelola atas dasar profesionalisme dan hukum positif. Seseorang bisa religius di rumah atau tempat ibadah, tapi di kantor dan ruang publik, nilai agama dianggap tidak relevan.
Kedua, relativisme dan pluralisme kebenaran. Tidak ada kebenaran absolut. Semua agama dianggap “benar” menurut pemeluknya. Dalam logika ini, agama hanya punya nilai subjektif.
Konsep kebenaran tunggal seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
(Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah hanyalah Islam). (QS Ali Imran: 19).
Menjadi problematik dalam masyarakat pluralistik. Ayat ini bisa dianggap tidak inklusif oleh pandangan relativis.
Maka pluralisme dalam sekularisme sejatinya adalah relativisme, bukan toleransi. Semua agama diperlakukan setara, bukan karena pengakuan akan kebenarannya, tapi karena kehilangan makna kebenaran itu sendiri.
Ketiga, privatisasi agama.Agama didorong agar hanya hadir dalam ruang privat: rumah, tempat ibadah, atau hati nurani. Dalam urusan publik—politik, ekonomi, pendidikan—agama harus “diam”.
Contohnya, kampus-kampus sekuler di Barat yang menolak keberadaan tempat ibadah dalam institusi. Bahkan jika jumlah mahasiswa Muslim mayoritas, tidak ada ruang untuk memasukkan nilai-nilai keagamaan dalam kurikulum atau visi kampus.
Masjid-masjid seperti Salman di ITB berdiri di luar institusi kampus karena kampus tidak ingin terikat pada satu identitas agama. Bahkan jika dibolehkan, itu hanya dalam bentuk akomodasi simbolik, bukan pengakuan terhadap sistem hidup Islam.
Empat, rasionalisme sebagai hakim tertinggi. Dalam masyarakat modern, akal dan sains menjadi satu-satunya sumber otoritas. Wahyu dianggap tidak cukup rasional dan harus dikaji ulang berdasarkan logika modern.
Muncullah adagium: “Any belief is true only if it is accepted by reason.” (Setiap keyakinan hanya dianggap benar jika diterima oleh akal sehat).
Logika ini tidak hanya diterapkan dalam diskusi filsafat, tetapi juga di dunia pendidikan dan kebijakan publik. Kurikulum di sekolah dan kampus menekankan pendekatan empiris dan rasionalistik.
Ilmu agama seringkali dianggap subyektif, tidak ilmiah, dan sekadar doktrin moral—sementara ilmu “modern” (seperti fisika, biologi, ekonomi) dianggap obyektif dan netral.
Di sinilah jebakan sekularisme: rasionalisme tidak lagi sekadar metode berpikir, tetapi berubah menjadi ideologi yang secara sistematis menyingkirkan agama dari ruang publik.
Bahkan, sekolah-sekolah dan universitas yang dulunya dibangun oleh komunitas agama perlahan mulai meninggalkan akar spiritualnya. Mereka menggantinya dengan visi “kebebasan akademik” yang tak lain adalah ruang bebas nilai, bebas agama, dan bebas wahyu.
Jika prinsip ini dibiarkan merasuk ke dalam sistem pendidikan umat Islam, maka akan muncul generasi Muslim yang secara intelektual “modern” namun kehilangan ikatan teologis dan spiritual dengan agamanya. Mereka akan merasa lebih nyaman dengan teori-teori barat modern daripada dengan ajaran ulama dan kitab suci mereka sendiri.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sekularisme bukan hanya soal “pisah agama dan negara”, tetapi lebih dalam: membentuk cara berpikir dan cara hidup yang tidak lagi menjadikan Tuhan sebagai pusat nilai. Inilah fase paling berbahaya dari sekularisasi: ketika manusia tidak lagi merasa perlu bertanya kepada Tuhan, bahkan dalam urusan hidup yang paling mendasar.* (bersambung)
Penulis dosen UNIDA-Gontor, anggota Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan MUI Pusat, penulis buku Islam & Diabolisme Intelektual (2017)