Hidayatullah.com | PADA tahun 1934, seorang ulama, jurnalis, politikus dan penulis produktif Zaenal Abidin Ahmad ditahan oleh pemerintahan Belanda. Dalam buku “Riwayat Hidup dan Perjuangan H. Zainal Abidin Ahmad” (1985: 64-70) dikisahkan secara lugas cobaan yang menimpa mantan Ketua Majelis Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah ini.
Dalam majalah Pandji Islam pimpinan beliau, pada saat itu dikabarkan bahwa, “Hari Senin 6 Agustus 1934 kira-kira pukul 2 siang, kantor redaksi Pandji Islam jalan Terarai no. 32 didatangi beberapa orang polisi, terus digeledah Pandji Islam no. 1; berhubung persdelict sebuah karangan, syair berkepala ‘Rayuan Ibu Indonesia’ yang ditandatangani oleh Sjah Z.”
Intinya, ulama jebolan Thawalib ini dipenjara gara-gara kena delik pers dalam salah satu artikel di Pandji Islam berjudul ‘Rayuan Ibu Indonesia.’ Tak hanya ditahan, majalah pimpinan beliau pun juga dibeslag (disita) oleh Pemerintahan Belanda karena dianggap berbahaya menurut mereka. Padahal, tulisan itu ditujukan semata-mata pada agama.
Tulisan itu menurut H.M. Joesoef Ahmad dianggit oleh anggota redaksi Pandji Islam bernama Syamsuddin Zakaria yang memakai nama samaran Djalin Syah. Sebenarnya ia siap mempertanggungjawabkan tulisannya, namun yang mengharukan justru Z. A. Ahmad berkata, “Saya yang bertanggung jawab.” Sebagai pemimpin, beliau merasa wajib untuk menanggung segala akibatnya. Akhirnya beliau mendekam di penjara dalam bui Suka Mulia, Medan selama enam bulan.
Bersamaan dengan menjalani masa-masa di penjara, cobaan berikutnya menerpa Sang Ideolog Masyumi ini. Anak beliau yang masih berusia enam bulan wafat. Menariknya, segenap cobaan yang mendera itu dihadapi oleh beliau dengan penuh ketabahan hati dan tawakkal yang tinggi. Apa yang sedang dihadapi, dilalui dengan senyum, lapang dada, hati gembira, iman, dan kesabaran.
Penjara sama sekali tidak membuat hati beliau ciut dan berputus asa. Justru di dalamnya beliau gunakan untuk merenungkan dan mengevaluasi diri. Ada kisah menarik sewaktu beliau baru masuk ke dalam penjara. Dikisahkan bahwa saat itu dikumpulkan bersama penjahat. Biasanya dalam penjara, orang yang baru masuk diajak berkelahi oleh penguasa penjara.
Waktu itu, di penjara Suka Mulia beliau satu tempat dengan jagoan napi bernama Hasan. Seorang pelaku kriminil pemerkosaan dan pembunuhan yang divonis belasan tahun penjara. Apa Z.A. Ahmad takut? Sama sekali tidak. Malah dengan sangat meyakinkan beliau menggertak napi tersebut dan menawarkan kepadanya untuk belajar berkelahi dengan tangan kosong. Selamatlah beliau dari perkelahian.
Momen tersebut digunakan dengan sebaik-baiknya. Keduanya pun menjadi dekat. Z. A. Ahmad melakukan kegiatan pengajaran dan dakwah sehingga beliau dipanggil “guru si Hasan”. Si Hasan insaf dan mau meninggalkan tindak kejahatannya. Orang-orang dipenjara pun kemudian segan dengan beliau.
Di penjara beliau tidak membiarkan kezaliman terjadi. Saat diberikan tugas berat dan tak wajar oleh petugas penjara asal Jerman. Dengan lantang dan sangat berani beliau membentaknya sehingga orang itu mundur teratur. Kejadian ini membuat teman-teman sepenjara semakin menaru hormat kepada beliau. Meski usia masih muda, beliau yang bertepatan dengan hari raya Idul Fitri diberi kepercayaan untuk menjadi khatib dalam penjara. Khutbahnya membuat banyak orang sadar. Bahkan ada yang berjanji selepas dari penjara akan menimba ilmu kepada beliau. Selama enam bulan itu, beliau berusaha memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk dakwah dan umat.
Bagi penulis kelahiran Sulit Air Sumatra 1911 ini, penjara sebagai Universitas Nabi Yusuf. Dan selama enam bulan itu, kerja-kerja dakwah Nabi Yusuf beliau lakukan dengan sangat baik. Sebagaimana Yusuf, beliau dijebloskan bukan karena tindakan kriminal seperti korupsi dan semacamnya, tapi karena tidak mau lepas tanggung jawab sebagai pemimpin. Dalam penjara beliau laksana obor yang menerangi kelamnya laku para narapidana. Demikianlah memang seharusnya seorang Mukmin. Kehadirannya laksana cahaya, yang memberi penerangan bagi orang sekitarnya.
Dari perjalanannya selama dipenjara saja, pembaca bisa menemukan bahwa beliau begitu tabah, sabar, berani dan bertanggung jawab bahkan tak melupakan dakwah. Bagaimana pun tantangan yang dihadapi, tidak membuat beliau patah arang, semua dijalani dengan penuh ketabahan. H. M. Yunan Nasution, salah satu teman baik beliau pada Oktober 1984 memberi kesaksian, “Salah satu yang amat mengesankan dari kehidupan almarhum ialah ketabahan hatinya yang tidak bergoncang menghadapi tantangan demi tantangan.” Ketabahan itu masih bisa terlihat sampai waktu dirawat di rumah sakit Islam Jakarta dan hingga menuju alam baka pada tahun 1983.*/ Mahmud Budi Setiawan