Hidayatullah.com | BERMULA dari Kongres Al Islam 1 di Cirebon pada 1922, kaum Komunis menyusup pada Serikat Islam (SI). Saat mereka merasa cukup kuat di dalamnya, mereka melakukan serangan terhadap Islam di dalam organisasi SI.
Dalam buku Hussein Badjerei, Al Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, diceritakan bahwa di sela-sela kongres itu, Syaikh Ahmad As Soekarti (di damping Abdullah Badjerei asal Jakarta dan Umar Naji Baraba asal Bogor), tokoh sentral pendiri jam’iyah Al Irsyad berdebat dengan Semaun, pemimpian Sarekat Islam Merah. Topik debat sekitar masalah Pan Islamisme Vs Komunis yang membebaskan Hndia Belanda dari penjajahan.
Debat yang digagas As Soekarti dengan Semaun berharap menyadarkan Semaun bersatu dengan Cokroaminoto dan menyatukan kembali SI dari perpecahan. Ulah kaum komunis yang berasal dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang digawangi Henk Sneevliet, berhasil menginfiltrasi SI dimulai dari cabang Semarang.
Tujuan infiltrasi itu untuk memanfaatkan SI sebagai alat mengalang massa, karena disadari SI mempunyai massa yang kuat dari berbagai wilayah. Namun gerakan ini gagal.
Kegagalan ini menjadikan Alimin Cs mendirikan Perserikatan Komunis India, sehingga mereka dikeluarkan dari SI beserta seluruh simpatisannya. Kala itu mereka sudah terlanjur besar.
Kaum SI Merah hasil penyusupan dari ISDV inilah yang akhirnya mendirikan apa yang disebut Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920. Saat itu PKI dipimpin Tan Malaka, pindah dari Medan ke Semarang.
Keberadaan Tan Malaka bagai bara api bagi PKI dan cepat menjalar ke seluruh negeri dengan disertai propaganda penerbitan seperti Soera Rakjat, Sinar Hindia, di samping poster dan pamflet ataupun manifes yang berisi tentang ajaran komunis.
PKI terus membesar dan tersebar di seluruh Nusantara. Organisasinya di Semarang merencanakan kongres di Jakarta yang sekaligus akan menandai dimulainya pemindahan kedudukan PKI di Jakarta.
Dalam situasi itu, Alimin dan Muso yang baru keluar dari tahanan akibat Perang Sabil di Garut bersama SI, pada Desember 1923 mendaftar menjadi anggota PKI seksi Jakarta Raya. Dan kongres pun akhirnya berlangsung di Jakarta dengan menghasilkan kepengurusan PKI antara lain Sarjono (Ketua Umum), Budi Soejitro (Sekjen), Winata (keuangan), Alimin, Muso dan Ali Archam (komisaris-komisaris).
Satu setengah tahun berikutnya, 25 Desember 1925, PKI mengadakan pertemuan Prambanan, di mana Sardjono mengatakan bahwa seluruh seksi PKI di Indonesia menginginkan revolusi. Berpijak pada pertemuan itu akhirnya meletus pembrontakan PKI di Banten dan Silungkang 1926-1927. (sebagaimana ditulis Harry A. Poeze, Pergulatan Menuju Republik, Tan Malakan 1925-1945).
Dalam catatan buku Politik Kaum Santri Dan Abangan, Refleksi Historis Perseteruan NU-PKI, karya Dhuroruddin Mashad dinyatakan terdapat beberap hal terkait pemberontakan di atas, yaitu:
- Pemberontakan terjadi di 2 wilayah basis santri.
- Dalam 2 peristiwa itu kaum komunis dan santri bekerjasama melawan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. ‘Relasi harmonis’ alias kerjasama PKI-Santri dalam pemberontakan 1926 tentu sangat menarik untuk dicermati.
Kebencian ulama Banten pada kolonial Belanda, salah satu akibat dan peran mereka digeser oleh para penghulu yang diangkat pemerintah. Kala itulah PKI datang bukan untuk menawarkan idiologi Marxisme-Leninisme-nya, melainkan menjajakan ide-ide perlawanan terhadap kolonial.
Untuk itu melakukan pendekatan ‘agama’ dijadikan tameng pergerakannya sebagaimana tercermin dari dialog PKI, Poeradisastra dengan seorang kiai berpengaruh, KH. Tubagus Ahmad Chatib bin Wasi’ al-Bantani.
Kiai Tubagus bertanya apa tujuan PKI? Poeradisastra menjawab saling tolong menolong dalam urusan dunia dan agama. Mendapat jawaban itu, sang kiai lantas berkata,”Jika memang tujuan PKI adalah melindungi agama, maka ia sepakat dengan mereka.” (Beggy Rizkiayansyah, 100 tahun PKI: Meletusnya Pemberontakan Kaum Merah 1926).
Akhirnya tercetuslah pemberontakan itu. Namun, 17 Nopember 1926 seluruh gerakan berhasil dilumpuhkan bahkan pada 17 Nopember 1926 sekitar 1.300 orang ditangkap, 99 orang dibuang ke Digul.
Pemberontakan ini meskipun ‘berbedera PKI’ namun lebih kental nuansa ‘agama’-nya karena ditopang kaum santri.
Berlanjut Tragedi Madiun
Menurut catatan Andy Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), seorang antropolog Amerika, Robert Jay, yang mulai tahun 1953, turun ke Jawa Tengah menggambarkan kekejaman PKI.
“Mereka menggunakan kekuatan mereka untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk biasa yang merasa dendam. Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang ketiga-tiganya sekaligus. Masjid dan madrasah dibakar, rumah-rumah pemeluknya dirampok dan dirusak.” (dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948, Jejak Darah Santri di Madiun Akibat Pembantaian PKI, JIB)
Seorang narasumbernya bercerita kepada Robert Jay, “Soalnya begini Mas. Kami mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan santri-santri mereka dikunci di dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka itu tidak berbuat apa-apa, orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik. Hanya karena mereka itu muslim saja. Orang dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, kemudian kepala mereka dipancung. Parit-parit di sepanjang jalan itu digenangi darah setinggi tiga sentimeter, Mas.”
Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan kekuasaan menyusul tindakan pembersihan.
“Semoea pemimpin Masjoemi dan PNI ditangkep atawa diboenoeh dengan tida dipreksa poela. Kekedjaman di Kota Madiun djadi memoentjak, koetika barisan ‘warok’ ponorogo masoek kota dengen bersendjata revolver dan klewang. Di mana ada terdapat orang-orang Masjoemi, PNI atawa jang ditjoerigakan, zonder banjak tjingtjong lagi lantas ditembak. Belon poeas dengan ini tjara, korban itoe laloe disamperi dan klwangnja dikasi bekerdja oentoek pisahken kepalanja sang korban dari toeboehnja. Kedjadian atawa pemboenoehan stjara ini dilakoekan di berbagai bagian dari kota dan sakiternja, hingga dalam tempo beberapa hari sadja darah manoesia telah membandjiri kota Madioen. Soenggoe keadahan sangat mengerihkan teroetama djika orang melihat dengen mata sendiri, orang-orang jang diboenoeh pating gletak di sepandjang djalan sampe bebrapa hari tida ada jang mengangkat.”
Sin Po 1 Oktober 1948, memberitakan, ” pembrontakan communist itoe ditoedjoekan kerna kaoem FDR-PKI merasa tida soeka pada Masjoemi dan banjak sekali orang-orang jang Masjoemi di daerah jang didoedoekin oleh communist telah diboenoe dengen kekedjaman.”
Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan kekuasaan menyusul tindakan pembersihan.
Untuk membangun ketenangan masyarakat setempat dan untuk membangun ketenangan umat Islam sekaligus mencegah perluasan manuver PKI. Nahdlatul Ulama (NU) kala masih menjadi bagian penting di Partai Masyumi menyelenggarakan Muktamar ke-17 di Madiun, pada 24 Mei 1947.
NU menyelenggarakan kegiatan nasional di pusat nasional PKI, di Madiun. Pada acara itu Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari membacakan pidato Iftitah yang intinya:
- Telah tersebar ajaran historis materialism yang berpandangan bahwa tiada realitas di dunia ini kecuali benda, tidak ada roh dan tidak ada alam ghaib, dan tidak percaya kehidupan sesudah mati.
- Ajaran ini sangat berbahaya bila tertanam dalam jiwa pemuda karena akan mengubah keyakinan dasar terhadap agama Islam.
- Diserukan agar para ulama menyatukan mengokohkan barisan untuk melawan.
- Diakui bahwa PKI telah menjadi kekuatan besar, namun ulama akan mampu mengalahkan golongan besar karena kehendak Allah.
Pembacan Iftitah ini menjadikan kalangan NU terus melakukan konsolidasi di daerah-daerah dengan bekerjasama dengan pihak kepolisian dan laskar-laskar Hizbullah, Sabilillah, dan tentara.
Menyikapi gebrakan NU ini Muso dan Amir Syarifuddin Harahap pada Agustus 1948 mengadakan serangkaian rapat umum di berbagai kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penjagaan di Madiun dipercayakan pada kader PSI-Pesindo, Soemarsono dan kawan-kawan.
PKI juga mengadakan rangkaian rapat umum, unjuk rasa, show of force. Pada 18 September 1948 tengah malam, Soemarsono bahkan memproklamirkan Pemerintah Fron Nasional (sebagai lawan dari Pemerintah RI) sebagai cikal bakal berdirnya Negara Komunis, Negara Soviet Madiun.
Sebagaimana dikutip dalam buku Benturan NU-PKI, kala itu terjadi pertentangan yang kuat dari kalangan santri. PKI akhirnya menyadari bahwa:
- Pesantren merupakan saingan terberat dalam melakukan revoolusi sosial, karena mereka lebih dipercaya dibanding PKI yang cenderung ditakuti.
- Pesantren merupakan benteng strategis untuk mempertahankan NKRI.
Dari sepenggal tulisan ini dapat disimpulkan, infiltrasi komunis sampai kapan pun sesungguhnya akan selalu memanfaatkan kelengahan umat Islam. Dan infiltrasi itu terus dilakukan di kalangan intelektual, kalangan santri dan berbagai kalangan lain, sebagai upaya untuk mendapatkan simpatisan.*