hidayatullah.com–Secara umum peradaban adalah sejumlah fenomena kemajuan dalam bidang materi (tamaddun), intelektual (al fikrah), politik, seni (fann), sastra, dan sosial budaya yang terdapat dalam sebuah masyarakat tertentu. Dalam kosa kata bahasa Arab, peradaban adalah al hadharah, anonimnya al badawah (Badui) atau orang yang dikenal memiliki karakter kasar dan ganas (jafaa). Al Hadhirah (kota), anonimnya al badiyah (desa). Al Hadhar (orang kota), anonimnya adalah al badw (orang Badui).
Penduduk kota adalah penduduk yang berdomisili di kota-kota besar, kota-kota kecil, dan perkampungan (ahlu al madinah, ahlu al qoryah). Sedangkan Badui adalah penduduk yang menetap di perkemahan. Dan tempat tinggalnya itu selalu berpindah-pindah (tidak permanen). Karena tidak tersentuh dengan peradaban kota, orang Badui dianggap memiliki watak yang kasar dan tidak bisa membaca dan menulis.
Dengan demikian, orang Badui tidak memiliki kemampuan untuk meramu potensi internal dirinya menjadi format ideologi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Sedangkan orang yang berperadaban mampu mengelola temuan spiritual dan temuan ilmiahnya dalam bentuk rumusan ideologi, politik, sosial, budaya yang mapan dan bisa dinalar dan terukur.
Dalam sejarah, Allah Swt tidak pernah mengangkat seorang Rasul pun dari kalangan orang Badui. Semua utusan-Nya berasal dari kalangan masyarakat kota.
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk kota.” [QS. Yusuf (12) : 109].
Imam Ibn Zaid dan imam-imam lainnya berpendapat bahwa penduduk kota orangnya lebih berpendidikan dan lebih beradab dibandingkan dengan penduduk Badui (nomaden). Ahli tafsir membenarkan pendapat di atas, karena kaum Badui terkenal memiliki karakter sebagaimana disebutkan.
“Barangsiapa yang menjadi orang Badui, maka ia bersifat kasar (HR. Abu Ya’ala dari Al Barra’).” [HR. Thabrani dari Ibn Abbas].
Para ulama’ menjelaskan bahwa menjadi orang Badui itu hukumnya makruh, kecuali dharurat (terpaksa), seperti menghindarkan diri dari fitnah. Atau untuk menyelamatkan jiwa dari kejaran musuh Allah.
Imam Qatadah mengatakan, dirinya sama sekali tidak mengetahui bahwa Allah itu mengutus seorang Rasul, melainkan hanya dari kalangan penduduk kota.
“Allah tidak mengutus seorang Rasul dari penduduk Badui, dan tidak juga dari kaum wanita dan jin.” [Tafsir Ruh al Ma’ani, Al Alusi, 13/68].
Adapun firman Allah tentang Nabi Yusuf, ketika beliau berkata kepada ibu-bapak dan saudaranya. “Dan ketika (Allah) membawa kaum dari dusun padang pasir” (QS. Yusuf (12) : 100), menurut Syihab al Kafaji dalam keterangannya di dalam kitab Tafsir al Baidhawi adalah mereka bukan penduduk Badui, tetapi mereka pergi ke tempat orang Badui untuk menggembalakan ternaknya dan pada saat masuk ke tempat Yusuf, mereka datang dari tempat tersebut.
Fungsi Kehadiran Islam
Islam datang dengan membawa agenda-agenda perubahan. Dan sesungguhnya peristiwa terpenting dalam kehidupan, ketika seseorang membuka peluang seluas-luasnya bagi pengembangan struktur kepribadiannya. Bahkan tingkat kesuksesan seseorang berbanding lurus dengan kesiapan untuk berubah. Perubahan itu sesungguhnya dimulai dari diri sendiri.
Kehadiran Islam untuk mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapan (zhulumat) menuju kepada cahaya (iman), termasuk di antaranya mengeluarkan dari kegelapan kehidupan Badui yang ganas, kasar, menuju kepada kehidupan yang berperadaban.
Islam bertujuan mengubah watak orang Badui yang keras dan bodoh agar bisa hidup disiplin dan beradab. Dari wawasan yang dangkal menuju wawasan yang luas dan mendalam mengenai alam dan kehidupan, dari akal yang jumud menuju akal yang dinamis, inovatif, dari pemikiran yang taqlid menuju pemikiran yang bebas dan independen, dari pemikiran yang mistik yang diselimuti khayalan ke pemikiran ilmiah yang mengedepankan dalil dan bukti, dari fanatisme buta menuju sikap toleran, dari keangkuhan menuju kepada tawadhu’ (rendah hati).
“Orang Badui amat sangat kekafiran dan kemunafikannya, sehingga wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya” (QS. At Taubah (9) : 97).
Jadi orang Badui adalah orang yang anti, phobi terhadap hukum-hukum Allah Swt. Orang yang tidak tahu diri dan orang yang tidak tahu aturan. Kehidupan orang Badui itu tidak beraturan (faudha), maka cenderung chaos. Hukum yang diterapkan di dalamnya bagaikan pisau. Tajam untuk kalangan bawah, tetapi tumpul untul level elite. Sekalipun ada orang Badui yang dikecualikan (QS. At Taubah (9) : 99), tetapi kandungan ayat pertama di atas menggambarkan karakter Badui secara umum.
Tujuan hijrah ke Yatsrib (kemudian diubah menjadi Madinah) bagi orang-orang Arab yang telah memeluk Islam adalah untuk memberikan kesempatan belajar membangun kultur. Kultur shalat jama’ah dan jum’ah. Kultur menghadiri majlis ilmu, kultur kehidupan individu, dan sosial yang beradab.
Perilaku orang Badui sebelumnya tidak mengerti dosa. Misalnya, kencing di dalam masjid saat Rasulullah Saw dan para sahabatnya sedang duduk di dalamnya, sehingga para sahabat itu mencelanya. Tetapi, beliau memakluminya ketika itu, dan bersabda kepada mereka, “Biarkan dia dan siramlah kencingnya itu dengan satu timba air. Kalian diutus untuk memudahkan sesuatu, bukan menyulitkannya.” (HR. Bukhari, Tirmidzi dan Nasai dari Abu Hurairah).
Sebaliknya, orang Badui yang telah terdidik, berubah kepribadiannya. Sebagaimana orang Badui yang pernah menghadap Rustum (Panglima Perang Persia), dan Rustum pun terkejut seraya bertanya, “Siapa kalian? Ia menjawab, Kami adalah bangsa yang diutus oleh Allah untuk mengeluarkan hamba yang Dia kehendaki, dari menyembah sesama hamba menuju kepada penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa, dari kehidupan dunia yang sempit menuju kehidupan dunia yang luas, dan dari kezaliman agama ke keadilan Islam.”
Maka, Rasulullah Saw mengutuk orang kembali menjadi Badui setelah mereka hijrah.
Orang yang memakan riba dan memberi makan dari riba, penulis dan kedua saksinya, bila mereka mengerti tentang riba itu, wanita yang membuat dan minta dibuatkan tahi lalat yang tujuannya untuk kecantikan, orang yang menunda-nunda bayar zakat, orang yang murtad, kembali menjadi Badui setelah hijrah, semua itu dikutuk oleh Muhammad Saw pada hari Kiamat nanti (HR. Ibn Khuzaimah, Ahmad, Baihaqi, Nasai dan Ibn Hibban dari Ibn Mas’ud).
Yang termasuk dosa besar pertama ialah menyekutukan Allah, membunuh seseorang tanpa kebenaran, makan harta riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh zina kepada wanita yang terhormat, dan pindah ke lingkungan orang-orang Badui setelah hijrah (HR. Nasai dari Abu Hurairah).
Jadi, Islam adalah agama (dien) yang membawa risalah peradaban (risalah al hadharah) untuk meningkatkan kehidupan manusia, dan mengeluarkan mereka dari desa ke kota. Dari keterbelakangan menuju kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Tetapi, peradaban yang dituju oleh Islam bukanlah peradaban yang lebih mengunggulkan aspek materi, jasmani dan instink manusia, dan kenikmatan dunia yang sifatnya sesaat (mata’). Dalam peradaban materialisme, nama Allah dicabut dalam falsafahnya, tidak dimuat dalam sistem keyakinan, pemikiran, sosial, politik, kebudayaan, dan lain-lain. Kehidupan materialisme memarginalkan agama dari panggung kehidupan ini. Menceraikan dunia dari akhirat. Menjauhkan makhluk dari Pencipta-Nya.
Jadi peradaban Islam adalah peradaban yang holistik. Peradaban Islam menghubungkan manusia dengan Rabbnya, menyatukan potensi langit dan bumi, memadukan dunia dan akhirat, akal dan iman, otak dan batin, jasmani dan ruhani, pikiran dan hati, aqliyah dan ruhiyah secara sinergis (QS. Al Baqarah (2) : 143). [Kudus, 27 Oktober 2009]
Penulis adalah kolumnis [hidayatullah.com]