SEJAK surat pertama turun yang memerintahkan untuk membaca dengan redaksi kata kerja perintah ‘iqra’ (bacalah), kita memahami bahwa Islam sangat menekankan pada penggunaan akal pikiran (rasio). Itulah sebabnya, sebelum proses taklif (pembebanan syariat), terlebih dahulu harus diawali dengan proses ta’wid (pembiasaan pada anak usia dini) dan proses tafhim (pemahaman). Tiada agama yang tidak menggunakan akal pikiran (laa dina liman laa ‘aqla lahu).
Hal itu berarti, instrumental yang dikaruniakan oleh Allah SWT secara cuma-cuma kepada hamba-Nya manusia berupa akal pikiran, hendaklah diberdayakan untuk melakukan fungsi dan perannya secara optimal, yaitu melakukan tadabbur, tafakkur dan tadzakkur terhadap ayat-ayat quraniyah, ayat-ayat nafsiyyah dan ayat-ayat kauniyyah. Bahkan semua makhluk ciptaan Allah SWT.
Islam menolak tegas terhadap sesuatu apa pun yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang tidak valid, sikap mengikuti suatu pemikiran/paham yang sifatnya membabi buta (taqlid), mengecam terhadap asumsi dan keinginan yang semata-mata dilandasi oleh hawa nafsu. Islam mengharamkan pula semua bentuk sihir, pedukunan, para normal (ramalan) dan bentuk kebatilan yang lain.
Islam sangat menghormati ilmu pengetahuan dan mengangkat derajat para ulama. Bahkan ilmuan lebih mulia daripada ahli ibadah. Islam merespons dengan atusias terhadap ilmu pengetahuan apa saja yang dinilai bisa mendatangkan manfaat bagi kelangsungan kehidupan manusia baik ilmu umum maupun agama.
Karena itu kewajiban menuntut ilmu dijelaskan dalam sebuah hadits dengan menggunakan redaksi “faridhatun”. Ta marbuthah tersebut bukan tanda isim muannats tetapi bermakna mubalaghah – superlatif – (penyangatan). Islam sangat mendukung pemeluknya dalam berpikir dan bertindak secara ilmiah, sehingga dalam menjalankan roda kehidupan dibingkai oleh kesempurnaan ilmu dan keimanan.
Kata kerja ‘aqala’ mengandung pengertian menghubungkan sebagian pikiran dengan sebagian yang lain, dengan mengajukan bukti-bukti yang nyata sebagai argumentasi yang dipahami secara rasional. Dalam al-Quran kata ‘aqala disebut kurang lebih sebanyak 50 kali dan tiga belas kali berupa pertanyaan retorik (istifham tankiri), sebagai protes untuk mengadakan kajian ilmiah.
Belum lagi meneliti kata “nazhara” (menganalisa), “tafakkara” (memikirkan), “faqiha” (memahami), ‘alima’ (mengerti, menyadari), “burhan” (bukti, argumentasi), “lubb” (intelektual, cerdas, berakal). Jika kata-kata tersebut diteliti secara lebih cermat, akan menemukan banyak sekali nilai-nilai ilmiah dalam Islam.
Orang-orang kafir yang menolak mentah-mentah ajakan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, oleh al-Quran dideskripsikan sebuah komunitas yang tidak mau menggunakan akal pikirannya. Mereka memenjara potensi akal sehatnya dengan mengekor tradisi yang diwarisi nenek-moyang mereka secara turun temurun. Akal sehat mereka mengalami disfungsi. Tidak digunakan untuk mencari kebenaran dan mengkritisi kultur para pendahulu mereka. Maka, keberadaan mereka laksana binatang ternak bahkan lebih sesat (bal hum adhol). Karena mereka lemah dalam merespons simbol-simbol, ayat-ayat yang bertebaran di sekitar mereka.
Fakta Historis
Secara historis, setidak-tidaknya ada lima langkah penting yang menunjukkan perhatian Islam secara kongkrit terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan penggunaan akal sehat.
Pertama, al-Quran secara tersurat dan tersirat menekankan kepada para pemeluknya agar menggunakan planning yang matang dalam melakuan apa pun. Baik dalam skala kehidupan yang kecil maupun berskala besar.
Hal itu dapat dilihat pada kisah Nabi Yusuf as, ketika dilantik sebagai menteri yang membidangi urusan logistic, dia melakukan perencanaan yang matang dan teliti sehingga berhasil menyelamatkan penduduk Mesir dari kelaparan (krisis ekonomi). Ini menunjukkan bahwa Islam tidak berdiri secara kontradiktif dengan ilmu menejemen sebagaimana yang dipahami oleh orang yang berwawasan picik dalam memahami ajaran islam.
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, Hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (QS. Yusuf (12) : 46-47).
Kedua, Rasulullah SAW menggunakan data statistik sejak beliau hijrah dari Makkah ke Madinah dan memulai babak baru dalam ekspansi dakwah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa beliau setelah hijrah ke Madinah memerintahkan sebagian sahabat untuk mendata jumlah orang yang telah memeluk islam. Setelah diteliti, mereka menyimpulkan bahwa jumlah orang yang masuk Islam di Madinah sebanyak 1.500 orang. Di sini kita memahami metode statistik bukan impor dari bangsa lain, tetapi bersumber dari Islam itu sendiri.
Ketiga, Rasulullah SAW terbiasa melakukan uji coba (eksperimen) dalam persoalan duniawi. Demikian pula dilakukan para sahabat. Seperti eksperimen (riset) tentang penyerbukan pohon kurma, yang hasilnya berbeda dengan saran yang dilontarkan oleh beliau. Dan beliau menerima hasil eksperimen yang semula bertentangan dengan pendapat beliau. Beliau bersabda, “Kalian lebih mengetahui terhadap urusan dunia kalian.” (HR. Muslim).
Keempat, Islam mendorong para pemeluknya yang menggali secara optimal teknologi tepat guna, yang dinilai mendatangkan manfaat bagi kelangsungan kehidupan manusia. Hal ini dibuktikan oleh beliau ketika tidak segan mengikuti pendapat Salman Al-Farisi, seorang yang berkebangsaan Parsi tentang penggalian parit di sekeliling kota Madinah. Metode ini sudah biasa dilakukan oleh bangsa Parsi. Beliau pernah dibuatkan sebuah mimbar yang biasa digunakan khutbah dari tukang kayu bangsa Romawi.
Rasulullah SAW bersabda, ilmu pengetahuan itu bagaikan barang yang hilang dari seorang mukimin, di mana saja ia menemukannya maka dia berhak mengambilnya (HR. al-Turmudzi dan Ibnu Majah). Hadits lemah yang matannya bermakna benar.
Kelima, al-Quran menjunjung tinggi nilai-nilai industrialisasi bagi kelangsungan kehidupan manusia. Para hamba pilihan Allah SWT adalah sosok-sosok professional (memiliki profesi tertentu) di bidang industrialisasi.
Nabi Nuh as adalah sosok yang ahli di bidang perkapalan. Nabi Ibrahim dan Islamail, keduanya dikenal arsitek bangunan. Hal itu dibuktikan dengan ketrampilan keduanya dalam merenovasi ka’bah. Nabi Dawud dikenal memiliki keahlian di bidang industri baju besi, sebagai alat perlengkapan yang paling vital saat itu. Beliau juga ahli dalam peleburan dan pelemasan besi.
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman) : Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud, dan Kami telah melunakkan besi untuknya.” (QS. Saba (34) : 10).
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu, maka hendaklah kamu bersyukur.” (QS. Al Anbiya (21) : 25).
Nabi Sulaiman memiliki keahlian dalam mengalirkan cairan tembaga. Pula memiliki kemampuan untuk menundukkan ahli penyelam (ghowwash) dan ahli bangunan (banna) dari kalangan jin, untuk membuat apa saja sesuai kehendaknya. Seperti, gedung-gedung pencakar langit, patung-patung, piring-piring besar seperti periuk yang selalu berada di atas tungku. Sedangkan Zulkarnain memiliki keahlian bisa membangun dinding besar dari besi dan tembaga.
Bahkan sejak awal perkembangan Islam, para sahabat yang memiliki kempampuan dalam bidang tafaqquh fiddin (pendalaman keagamaan) diwadahi khusus oleh Rasulullah SAW dalam emperan masjid yang dikenal dengan ahlush shuffah. Para sahabat yang memiliki keunggulan dalam jihad, diwadahi untuk terjun di medan pertempuran dan mengadakan ekspansi besar-besaran dalam membebaskan negeri, agar tunduk kepada aturan Islam, dan orang-orang dari kalangan grass root pula diberdayakan untuk giat dalam melakukan ibadah.
Harusnya, para penuntut ilmu ya pahlawan perang ya pahlawan ibadah. Ketiganya harus berjalan secara sinergis. Rasulullah SAW berhasil menyatukan ulama, mujahid dan zu’ama’ secara professional dan proporsional dalam dirinya.
Seorang yang mengerti ilmu secara benar, harusnya ia tunduk di bawah wahyu. Selain pandai ia juga ahli ibadah. Tidak seperti sekarang ini. Banyak orang cerdik-pandai tapi justru sombong bahkan menggugat-gugat wahyu, mempertanyakan Nabi para sahabat dan ulama. Akhirnya, karena tidak memahami wahyu banyak orang pandai tapi curang dan culas.
Jika ilmunya benar dan dia tunduk pada wahyu, maka dirinya akan mengangkat ‘izzul islam wal muslimin (semata-mata untuk kejayaan Islam dan umatnya). Apapun yang dilakukan atas ilmunya, digunakan untuk membela agama dan Islam. Jika tidak, pastilah ada sesuatu yang salah pada dirinya. Nah, pertanyaannya, bagaimana dengan kita?
Sholih Hasyim, penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudung Jawa Tengah