Oleh: Shalih Hasyim
KETIKA wahyu pertama turun dan ditransformasikan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam kepada generasi Muslim pertama (assabiqunal awwalun), maka manusia penunggang onta dari kawasan yang awalnya terisolir nan tandus bisa berubah keyakinan, pola pikir, orientasi dan prilaku kehidupan sehari-hari.
Adalah Khadijah binti Khuwailid, dia seorang wanita yang kaya raya, habis-habisan berkurban. Ia siap secara total tidak takut menanggung resiko sekalipun terancam nyawanya oleh orang-orang kafir. Tidak ada yang lebih berharga melebihi/mengungguli wahyu Allah Subhanahu Wata’ala.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, konglomerat tidak berpikir panjang dalam menyambut wahyu Allah. Rasulullah bersabda: Saya tidak mengajak seseorang masuk Islam kecuali ada maju mundurnya kecuali Abu Bakar. Begitu wahyu turun, dia langsung lebur dalam perjuangan Islam. Dalam perjalanan keislamannya, beliau pernah menginfakkan hartinya tanpa disisakan sedikitpun untuk keluarganya.”
Juga Bilal bin Rabah yang menemukan dirinya tidak sebagai budak. Tetapi hanya sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala. Ia tidak diperbudak oleh posisi, komisi, kepentingan. Ia tidak menjadi hamba minoritas, hamba mayoritas, tetapi hanya sebagai abdullah dan khalifatullah. Ketika dijemur oleh majikannya di atas batu ketika panas matahari yang terik, ia mengatakan “Ahad, Ahad! “(hanya Allah Yang Maha Esa).
Ammar bin Yasir dan keluarganya ridha kehilangan nyawanya, istrinya Sumayyah ditumbak perutnya, tetapi keduanya lebih menghargai keyakinannya daripada nyawa satu-satunya. Sehingga Rasulullah bersabda untuk menghiburnya, “Sabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janjimu adalah surga.”
Keimanan merujuk salafus shalih di atas yang mengantarkan pemiliknya merasakan kebahagian di dunia dengan memperoleh petunjuk dari-Nya dan keselamatan di akhirat dengan masuk surga-Nya (sa’adatud darain). Bukan sekedar mata’ (kepuasan sesaat), tetapi nikmat. Kenikmatan yang belum pernah disaksikan oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terbersit di dalam hati.
فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2) : 137).
Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus (10) : 62-64).
Di dalam surga, orang beriman tidak sekedar minum sebanyak satu gelas air, satu gelas susu, satu gelas arak (yang tidak memabukkan), satu gelas madu, tetapi satu kolam air, satu kolam susu, satu kolam arak, satu kolam madu. (QS. Muhammad (47) : 15).
Iman, Refleksi Hati, Ucapan dan Sikap
Iman yang sejati ialah keyakinan penuh (al-Yaqinu kulluh) yang terhunjam di dalam hati, dengan tidak ada perasaan ragu, serta mempengaruhi arah dan orientasi kehidupan, sikap dan aktifitas keseharian. Iman adalah perpaduan antara amalan hati, amalan lisan dan amalan anggota tubuh. Iman tidak sekedar amal perbuatan, dan tidak pula sebatas pengetahuan tentang arkanul iman. Iman adalah membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta menegakkan syariat-Nya di muka bumi ini.
Iman tidak sekedar ucapan lisan seseorang yang memberikan pengakuan dirinya bahwa ia orang beriman. Sebab orang munafik pun dengan lisannya memproklamirkan hal yang sama, namun hatinya mengingkari apa yang diucapkan.
Iman juga bukan sebatas amal perbuatan yang secara lahiriyah tampak merupakan karakteristik orang-orang beriman. Sebab orang-orang munafik pun tidak sedikit yang secara lahiriyah/sekilas terlihat mengerjakan amal ibadah dan berbuat baik, sementara hati mereka kontradiktif dengan perbuatan lainnya, apa yang dilakukannya tidak dimotivasi oleh ketulusan niat untuk mencari ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Lain di mulut lain pula di hati.
Bahkan sekarang ini, ada kategori negara maju dan negara berkembang. Ukuran kemajuan ditentukan dari standar yang sempit, yaitu asesoris lahiriyah. Bukan kemajuan yang diukur dari kualitas ruhani. Terbukti, bangsa Barat bukan bangsa yang beradab, tetapi bangsa yang bi–Adab. PBB identik dengan Perserikatan Bangsa Barat. Padahal mereka secara transparan mengatakan negaranya adalah negara skuler/kafir.
Sebab menceraikan Allah Subhanahu Wata’ala dari kehidupan sosial. Maka, melahirkan kehidupan yang jauh dari bimbingan Allah.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya [meraih pujian] (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali [beribadah ketika dihadapan manusia].” [QS. An Nisa (4) : 142].
Sesunngguhnya Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani para mukmin. dalam pada itu Allah telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.
Demikian pula iman bukan sekedar pengetahuan akan makna dan hakikat iman, sebab tidak sedikit orang yang mengetahui hakikat iman tetapi mereka tetap mengingkari kebenaran di hadapannya.
Ciri orang-orang beriman memandang bahwa ketetapan Allah dinomor satukan, jika dihadapkan beberapa pilihan. Tanpa ada rasa keberatan, pura-pura dan pamrih.
Jumhur Ulama mengatakan, “Iman adalah membenarkan di dalam hati (at Tashdiqu bil qalbi), diucapkan dengan lisan (qaulun billisan), dan dibuktikan dengan amal anggota tubuh (amalun bil arkan wal jawarih).
Tekat, idealisme dan kualitas pribadi orang beriman terlukis dalam ucapan ahli sastra Arab berikut: “Siapa yang tidak berani mencoba untuk mendaki gunung (khawatir tergelincir dari puncak), maka selamanya ia akan hidup di lembah-lembah.”
Jadi, sastra tadi mengajarkan bahwa untuk meraih kesuksesan dan bertahan di puncak kesuksesan harus berani untuk mencoba. Menyingkirkan pikiran buruk yang membayangi dirinya. Dan mengganti dengan pikiran dan sikap positif. Kesulitan adalah bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari kemudahan. Perbedaan dua keadaan dipandang sebagai panorama kehidupan.
Iman dan akidah islamiah, kepercayaan Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Quran dan As Sunnah, bertumpu pada iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab-kitab dan para Nabi. Rukun iman itulah yang mampu menjawab tanda tanya kehidupan di dunia ini. Imanlah yang dapat menjelaskan dengan memuaskan kepada manusia tentang rahasia (misteri) kehidupan dan menjawab pertanyaan fundamental, dari mana aku datang, siapa diri kita, mengapa aku di hadirkan di sini, setelah ini akan ke mana.* (Diadaptasi dari kitab : Al-Iman wal Hayah, oleh Syaikh Dr. Yusuf Al Qardhawi dengan sedikit perubahan redaksional).