Oleh: Musthafa Luthfi*hidayatullah.com–Pesan Presiden AS, Barack Obama sehubungan dengan tahun baru Norouz, sesuai taqwim (penanggalan) Persia yang bertepatan dengan tanggal 20 Maret 2009, kepada para pemimpin dan rakyat Iran bukan sekedar pesan basa-basi seperti yang umum disampaikan oleh beberapa kepala negara non Muslim kepada para kepala negara Muslim pada saat Idul Fitri atau Idul Adha.
Pesan Obama kali ini selayaknya dicermati lebih dalam oleh para pemimpin dunia Islam lainnya terutama para pemimpin Arab yang selama ini sering dijadikan “bulan-bulanan“ negara besar terutama AS yang merasa sebagai penguasa tunggal di muka bumi lebih khusus lagi di kawasan Timur Tengah (Timteng) yang kaya sumber minyak.
Diantara pesan Presiden baru AS yang berjanji mengubah kebijakan pendahulunya itu kepada negeri Persia tersebut adalah ia menyebut Iran dengan nama “Republik Islam“. Sebutan ini secara implisit mengandung makna bahwa Washington ingin meyakinkan para pemimpin Iran bahwa pihaknya tidak berniat mengubah sistim negeri itu.
Obama juga menegaskan bahwa kebijakannya akan berbeda dengan pendahulunya George W Bush sehingga menyebutkan peringatan tahun baru Norouz itu sebagai “peringatan babak baru“ hubungan kedua negara yang dilandasi dialog jujur dan adil serta dilandasi saling menghormati.
Sikap ini bertolak belakang dari Bush yang secara tersirat meremehkan Iran , namun sejatinya tetap “khawatir“ akan kemampuan negeri Mullah tersebut baik di bidang militer maupun ekonomi dan SDM. Obama juga mengingatkan pentingnya “hubungan konstruktif“ yang membuka peluang bagi Iran untuk berperan penting dalam percaturan dunia.
“AS menginginkan agar Iran mendapatkan tempat yang sesuai di tengah masyarakat internasional,“ antara lain pesan Obama sambil menegaskan ke rakyat Iran “kalian berhak mendapatkan tempat (terhormat) namun dengan cara-cara yang bertangungjawab“.
Menyangkut masa depan hubungan kedua negara, Presiden ke-44 AS itu menegaskan tentang terbukanya peluang besar bagi kemitraan dan perdagangan bilateral AS- Iran . Obama juga mengingatkan bahwa masa depan hubungan kedua negara dapat tercapai dengan mengatasi perpecahan-perpecahan masa lampau.
Sejumlah analis, menilai pesan tahun baru Norouz dari Obama itu sebagai “pesan bersejarah“ karena mengandung keinginan berdamai atas dasar saling menghormati dan mengakui kedudukan Iran sebagai negara besar di kawasan serta sebagai bekas imperium adikuasa di masa lalu bersama imperium Romawi.
Meskipun banyak pihak menganggap pesan Obama, sebagai bentuk keseriusan negeri yang disebut adikuasa tunggal itu, untuk membuka lembaran baru dengan Teheran yang didasari pengakuan Iran sebagai negara besar kawasan, namun tak serta merta para pemimpin negeri Muallah itu cepat tergiur.
Sikap ini antara lain yang membedakan dengan sebagian besar para pemimpin dunia Islam yang begitu cepat responsif dengan setiap ajakan dari Washington meskipun terkesan basa-basi atau sekedar dekte yang hanya mengukuhkan kepentingan negeri adidaya itu sendiri.
Tanggapan pertama misalnya disampaikan oleh penasehat Presiden Iran, Ali Akbar Juan Fikri yang menyambut baik ajakan Obama untuk mengenyampingkan perselisihan masa lalu namun dengan catatan, Washington harus mengetahui kesalahan masa lalunya untuk selanjutnya diperbaiki.
Menteri Energi Iran , Pervez Fatah misalnya memandang pesan Obama itu “positif“ namun harus diikuti dengan “langkah positif“. “Pesan Obama positif namun masih terdapat sejumlah sisi negatif sehingga para pemimpin Iran tidak tergesa-gesa namun akan mempelajarinya dengan seksama,“ tegas Fatah di sela-sela menghadiri Konferensi Air Internasional di Istambul, Turki.
Kiranya jawaban yang dapat sebagai pegangan menyangkut respon Iran adalah pernyataan pemimpin spiritual, Ali Khamanei yang menyebutkan bahwa Iran tidak menilai dari pernyataan namun melihat dari aksi nyata Obama yang sampai saat ini belum berubah, namun masih menempuh kebijakan pendahulunya.
Pernyataan Ali Khomanei itu menunjukkan perinsip negeri Mullah tersebut yang tidak ingin diperdaya oleh sebuah ajakan sebelum dibuktikan dengan aksi nyata. Meskipun hampir semua analis menilai pesan Obama sebagai ajakan serius, namun sikap tak tergesa-gesa para pemimpin Iran itu akan meningkatkan “bargaining position“ (posisi tawar) menghadapi musuh bebuyutannya yang selama ini disebutnya sebagai “setan besar“.
Negara kuat
Intinya pesan Obama tersebut merupakan pengakuan nyata bahwa Iran adalah negara kuat yang pantas dihormati dan diberikan tempat yang sesuai di kawasan. Sebab Barat selama ini, tidak pernah menghormati suatu negara timur kecuali negara timur itu dianggap kuat seperti China dan India .
Kekuatan Iran bukan hanya terletak pada kekuatan militernya, namun yang lebih utama adalah kekuatan perinsip yang membuktikan solidnya sikap pemerintah dan rakyat menghadapi kesemena-menaan AS selama ini. Upaya Barat yang dipimpin AS untuk menggunakan “kartu Arab“ dengan jalan mengadudomba Arab-Iran sepertinya gagal.
Keyakinan AS yang terucap dari pesan Obama bahwa dialog adalah cara terbaik menjalin hubungan dengan Iran dan membuang bahasa ancaman yang selama ini digunakan oleh pendahulunya tidak akan muncul tanpa keteguhan sikap negeri Persia itu dan kesatuan sikap pemerintah dan rakyat dalam meneruskan program nuklir.
Negara-negara yang tidak teguh memegang perinsip, sebesar dan sekuat apapun potensinya akan diperlakukan dengan penuh penghinaan oleh Barat terutama AS. Itulah catatan terpenting dari pesan tahun baru Norouz yang diperingati setiap tahun oleh rakyat Iran .
Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana dengan kelanjutan program nuklir bila kebekuan hubungan AS-Iran selama akhirnya mencair? Lagi-lagi jawabannya adalah keteguhan perinsip Teheran yang pada akhirnya nanti membuat Barat pimpinan AS “terpaksa“ siap hidup berdampingan (coexistence) dengan nuklir Iran sebagaimana siap berdampingan dengan nuklir India dan Pakistan .
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa Iran sebenarnya telah berhasil memproduksi bom nuklir pertama. Terlepas dari kebenaran laporan itu, yang jelas contoh nuklir India dan Pakistan tersebut dapat sebagai gambaran bahwa Iran tidak akan menghadapi banyak kendala melanjutkan program nuklirnya.
Apalagi pendapat mayoritas pakar strategi Barat termasuk di AS dan Israel berkeyakinan bahwa Iran tidak akan pernah berpikir untuk menggunakan senjata nuklir menghadapi Israel dan kepentingan AS di kawasan. Artinya penguasaan teknologi nuklir bagi Teheran adalah semata-mata sebagai upaya meningkatkan posisi tawar untuk memperjuangkan kepentingannya di kawasan termasuk dalam membantu gerakan-gerakan perlawanan Arab seperti Hizbullah dan Hammas menghadapi arogansi Israel .
Pakar strategi Israel sendiri Abraham Camp seperti ditulis harian Al-Bayan, Uni Emirat Arab, Sabtu (21/3) berkeyakinan bahwa kekuatan nuklir penangkal yang dimiliki Israel dan AS membuat Iran tidak akan berpikir untuk menyerang kami dan negara lainnya dengan senjata nuklir. Jadi tidak ada manfaatnya menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan program nuklir Iran .
Akhirnya menyangkut program nuklir tersebut, opsi “coexistence“ merupakan pilihan kuat di masa mendatang, sebab Teheran kelihatannya sulit mengorbankan program tersebut sebagai imbalan dari uluran tangan persahabatan Washington yang mengakui peran besar Iran di kawasan terutama terkait penyelesaian di Afganistan , Iraq dan bahkan penyelesaian konflik Timteng secara keseluruhan.
Jadi tidak berlebihan bila dikatakan bahwa perubahan kebijakan AS dimasa Obama menyangkut kasus Iran dari konfrontasi menuju rekonsiliasi tidak perlu menunggu waktu lama bahkan dapat dihitung dengan hari. Malah sebaliknya, Iran yang akan “jual mahal“ karena tidak akan membayar dengan harga mahal termasuk penghentian program nuklirnya.
Sekali lagi, kenyataan baru ini tidak akan muncul dengan sendirinya namun karena keteguhan perinsip Iran . Itulah pelajaran penting yang dapat diambil dari pesan Obama di tahun baru Norouz tersebut bagi dunia Islam umumnya dan dunia Arab khususnya yang telah 60 tahun lebih melandaskan harapan kepada AS yang jelas-jelas berpihak 100 % ke Israel bagi kemerdekaan Palestina yang tak kunjung terwujud.
Pelajaran dari Sudan
Kebalikan dari keteguhan Iran tersebut adalah sikap lembek dan selalu tunduk terhadap dekte Barat akan membuat Barat makin semena-mena menginjak martabat dunia Islam. Mungkin contoh kasus yang nyata adalah pelajaran dari Sudan dengan keluarnya surat penangkapan 4 Maret lalu dari Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) terhadap Presiden Omar Al-Bashir dengan tuduhan kejahatan perang.
Keputusan ICC tersebut bukanlah hanya didasari hukum semata, namun lebih berbau keputusan politis sebagai bentuk konspirasi Barat terhadap salah satu negara Arab yang selama ini dinilai masuk daftar yang melenceng dari kebijakan Barat. Namun sejatinya adalah, konspirasi ini dilakukan mengingat sikap dunia Arab selama ini yang dikenal tidak tegas dan belum berani mengeluarkan potensi yang dimiliki guna memperjuangkan kepentingan dan isu-isu Arab.
Tuduhan utamanya adalah Bashir dianggap bertangungjawab atas korban tewas warga Sudan di wilayah Darfur yang jumlahnya dibesar-besarkan Barat selama enam tahun konflik di wilayah itu, lewat laporan-laporan tidak akurat dari sebagian LSM internasional yang berkedok menyalurkan bantuan kemanusiaan namun sejatinya adalah mata-mata Barat.
Barat mengklaim 300 ribu korban tewas dan jutaan mengungsi, yang sejatinya adalah perang antar kabilah karena perselisihan sumber air dan ladang ternak yang biasanya dapat terselesaikan lewat hukum adat antar marga. Ketika hukum adat tidak mampu mengatasinya maka masalah tersebut diserahkan ke pemerintahan pusat di Khartoum .
Saat itu, pemerintah belum tertarik mengatasinya karena sedang konsentrasi pada perdamaian dengan wilayah selatan yang mayoritas beragama Kristen. Celah inilah yang dimanfaatkan Barat dengan mengklaim adanya pembantaian massal padahal korbannya kurang dari 10 ribu orang dari kedua belah pihak (kaum Muslimin keturunan Arab dan kaum Muslimin keturunan Afrika).
Barat melihat kasus Darfur tersebut sebagai sarana untuk mengobarkan kembali propaganda masa penjajahan Barat di Afrika dulu, tentang adanya penjajahan dan perbudakan Arab atas warga Afrika. Namun propaganda ini kelihatannya tidak akan berhasil sebab justeru para pemimpin Afrika yang merasa terancam dari surat penangkapan itu karena Barat setiap saat dapat menggunakan sarana ICC untuk menjatuhkan rezim Afrika yang dinilai tidak patuh pada Barat.
Bila dunia Arab masih tetap berkutat pada sebatas kecaman maka Barat dipastikan akan melakukan eskalasi yang dapat berbentuk resolusi DK PBB yang mengadopsi pasal 7 yang mewajibkan semua anggota PBB termasuk Sudan untuk menangkap Bashir. Dapat pula menggunakan skenario seperti di Iraq dahulu yaitu berupa larangan terbang di Darfur sebelum pasukan Barat melakukan serangan untuk menduduki wilayah itu.
Juga tidak menutup kemungkinan Barat menurunkan pasukan NATO, atau pasukan khusus Perancis atau pasukan gabungan Eropa dan AS untuk bersama-sama melaksanakan operasi khusus dekat perbatasan Sudan atau di luar Sudan untuk menangkap al-Bashir, seperti memaksa pesawat untuk mendarat di satu bandara internasional untuk menangkap Bashir. Berdasarkan keputusan ICC itu, Jaksa Penuntut, Ocampo, berhak menggunakan segala cara , termasuk layanan intelijen, dan pasukan khusus, keamanan internal, tentara, serta kekuatan dan organ-organ PBB untuk melaksanakan resolusi.
Sebagian negara Arab yang merasa terlindungi oleh AS seharusnya dapat mengambil pelajaran dari beberapa pemimpin dunia Islam sebelumnya yang akhirnya dipecundangi negeri itu setelah merasa tidak dibutuhkan lagi. Contoh yang masih kuat dalam ingatan publik adalah nasib mendiang Saddam Husein yang tadinya sebagai sekutu kuat AS saat berperang melawan Iran , nasibnya berakhir tragis yang mencoreng citra Arab secara keseluruhan.
Sementara para pemimpin Israel yang terbukti nyata sebagai penjahat perang, bahkan Dewan HAM PBB pada 23/3/09 mengakui mereka sebagai penjahat perang karena terbukti melakukan serangan dengan sengaja ke target sipil dan menggunakan senjata terlarang, dunia Islam terutama Arab secara resmi belum punya nyali mengadukan Israel ke ICC meskipun sekedar gertak agar negeri zionis itu berpikir berkali-kali untuk melakukan pembataian yang sama di masa mendatang.
Tak menutup kemungkinan pula, mengapa Barat begitu gencar melakukan konspirasi atas Sudan dengan mengedepankan isu Darfur, tak lain bertujuan untuk mengubah rezim yang setia kepada Barat agar sumber uranium di Darfur tidak jatuh ke tangan negara-negara yang dinilai memusuhi Barat.
Apapun dalih dari konspirasi tersebut, yang jelas sikap lembek dan kepatuhan mutlak kepada Barat yang menyebabkan dunia Barat makin merajalela mendikte dunia Islam. Terlepas dari perbedaan aliran antara Sunni dan Syiah, tidak ada salahnya mengambil pelajaran dari Iran dalam menghadapi hegemoni dan arogansi Barat saat ini dan masa datang. [Sana`a, 28 R. Awal 1430/hidayatullah.com]
* Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com bermukim di Yaman