Oleh: Musthafa Luthfi *Hidayatullah.com–Pernyataan Presiden AS, Barack Obama tentang Iran lewat pesan tahun baru Nouruz (tahun baru Persia) pada 20 Maret lalu, jelas menyakitkan telinga para petinggi negeri zionis Israel. Sebab pesan tersebut selain berisi ajakan “berdamai“ juga menegaskan kesediaan Washington untuk memberikan tempat yang “terhormat“ bagi Teheran sebagai negara besar di kawasan.
Saat itu Obama antara lain menyebutkan bahwa kebijakannya akan berbeda dengan pendahulunya George W Bush sehingga menyebutkan peringatan tahun baru Norouz itu sebagai “peringatan babak baru“ hubungan kedua negara yang dilandasi dialog jujur dan adil serta dilandasi saling menghormati.
Sikap ini bertolak belakang dari sikap Bush yang dikenal sebagai Presiden AS paling membabibuta mendukung negeri zionis itu meskipun dengan mengorbankan kepentingan rakyat AS sendiri. Pada masa Bush, AS yang semsetinya telah penat berperang di dua front sekaligus ( Iraq dan Afganistan) terus menabuh gendrang perang menghadapi Iran .
Obama juga mengingatkan pentingnya “hubungan konstruktif“ yang membuka peluang bagi Iran untuk berperan penting dalam percaturan dunia. Ia juga mengungkapkan keinginan negaranya agar Iran mendapatkan tempat yang sesuai di tengah masyarakat internasional sambil menegaskan apresiasi kepada rakyat negeri Mullah itu sebagai bangsa besar yang layak mendapat tempat (terhormat).
Menyangkut masa depan hubungan kedua negara, Presiden ke-44 AS itu menegaskan tentang terbukanya peluang besar bagi kemitraan dan perdagangan bilateral AS- Iran . Obama juga mengingatkan bahwa masa depan hubungan kedua negara dapat tercapai dengan mengatasi perpecahan-perpecahan masa lampau.
Sejumlah analis saat itu, menilai pesan tahun baru Norouz dari Obama itu sebagai “pesan bersejarah“ karena mengandung keinginan berdamai atas dasar saling menghormati dan mengakui kedudukan Iran sebagai negara besar di kawasan serta sebagai bekas imperium adikuasa di masa lalu.
Bangsa zionis yang dalam sejarahnya baik sejarah masa kini maupun sejarah masa lalunya dikenal berlumuran darah, jelas tidak menginginkan sikap “lembek“ negeri yang disebut adikuasa tunggal itu terhadap Iran yang dinilai sebagai ancaman utama Israel bahkan negara-negara Arab juga. Sayangnya sebagian negara Arab ikut mengamini sikap Israel tersebut.
Upaya Israel untuk kembali mencoba menggoyang Iran tersebut diperkirakan tepat waktu karena pada saat sejumlah negara Arab terkemuka sekutu AS sedang bersitegang dengan Hizbullah. Di lain pihak, Hammas masih tetap menolak berlutut kepada kehendak politis negeri Yahudi itu lewat perundingan yang direkayasa dengan otoritas Palestina yang dikuasai Fatah.
Perundingan yang semestinya bertujuan untuk memperkuat beit Palestin (rumah Palestina) dijadikan sarana untuk menekan Hammas agar tunduk kepada kehendak Komisi Kuartet (AS, Rusia, Uni Eropa, PBB) yang membawa kepentingan Tel Aviv. Saat Hammas bersikeras menolak tekanan, isu pun didengungkan bahwa Hammas membawa kepentingan Iran .
Sayangnya sebagian media massa terkemuka Arab ikut-ikutan menghujat Hammas yang dianggap sebagai perpanjangan tangan kepentingan Iran untuk mencampuri urusan dunia Arab. Musuh zionis pun bersorak gembira dan bertepuk tangan riuh menyambut peningkatan permusuhan tersebut (Arab-Iran).
Ibarat gayung bersambut, tanpa ada aba-aba, intelijen Mesir mengungkapkan pada 8 April lalu keterlibatan Hizbullah untuk merongrong keamanan Mesir. Sekjen Hizbullah, Hassan Nasrallah telah membatahnya dan hanya mengakui pejabat Hizbullah ikut membantu perjuangan Palestina di Gaza terutama yang terkait dukungan logistik mengingat semua negara Arab belum berani melanggar embargo AS-Israel di Gaza.
Nasrallah saat itu secara “jantan“ mengakui keterlibatan faksi yang dipimpinnya untuk mendukung shumud (kegigihan) para pejuang Palestina dalam membela negerinya dari pendudukan musuh zionis. “Kami tidak merasa aib untuk mengakui keterlibatan kami mendukung perjuangan saudara-saudara kami di Palestina“, tandasnya.
Sudah dapat diduga, bahwa tujuan mengungkapkan keterlibatan Hizbullah tersebut bukan semata-mata untuk memperburuk citranya. Namun target utamanya adalah Iran , yang atas hembusan fitnah Israel dianggap makin kuat mencampuri urusan Arab sehingga “perdamaian“ tak kunjung tercapai dengan melupakan pendudukan zionis adalah pokok permasalahan sebenarnya.
“Gesekan“ yang terjadi antara pemerintah Mesir dan Hizbullah tidak sampai merusak citra Hizbullah sebagai gerakan perjuangan yang terus mendapat simpati bangsa Arab. Untungnya lagi, hanya sebagian kecil saja media massa Arab yang membesar-besarkan masalah tersebut karena mereka sadar bahwa yang diuntungkan dari perseteruan itu hanya musuh zionisme yang sekarang dipimpin oleh tokoh-tokoh radikal.
Pada pidatonya tanggal 1 Mei lalu, Sheikh Hassan Nasrallah kembali menenangkan bangsa Arab bahwa upaya-upaya serius yang dilakukan secara bijaksana dan tenang oleh sejumlah pihak (tanpa menyebutkan nama negara) sedang berjalan untuk mengatasi krisis tersebut. Tetapi kekhawatiran tetap ada mengingat kebiasaan selama ini, Israel sering berhasil melobi sejumlah pemimpin Arab untuk terus menajamkan permusuhan dengan gerakan perlawanan semisal Hizbullah dan Hammas.
Matikan budaya perlawanan
Karenanya konferensi Komite Bidang Umum Amerika-Israel (AIPAC) yang berlangsung tepat pada saat keruhnya hubungan Iran-Arab itu, coba dimanfaatkan oleh Israel untuk menggoyang Iran dengan menggunakan sarana lobi paling berpengaruh dan paling kuat di negeri Paman Sam itu untuk mendesak pemerintah AS agar tidak bersikap lembek terhadap negeri Persia itu.
Dalam sambutannya di hadapan sekitar 6 ribu tokoh pro zionis termasuk anggota Kongres terkemuka AS yang hadir pada sidang AIPAC Senin (4/5), Presiden Israel , Simon Perez mencoba “menggoyang“ Iran lagi dengan isu klise yakni isu ancaman nuklir dengan melupakan ancaman nuklir sesungguhnya dari negeri zionis itu sendiri yang telah siap ditembakkan ke kota-kota besar seluruh Arab.
“Israel tidak akan tunduk terhadap ancaman nuklir Iran ……..Ancaman nuklir Iran menghantui kawasan saat ini,“ antara lain pesan Peres yang disambut hangat peserta AIPAC. Tidak berlebihan bila badan lobi paling berpengaruh itu senantiasa mendengarkan keluhan negeri zionis itu untuk selanjutnya menekan pemerintah AS agar menjalankan kebijakan sesuai kehendak Tel Aviv.
Tidak berlebihan bila AIPAC demikian getol membela zionis sebab badan lobi yang didirikan pada 1953 itu sebelumnya bernama American Zionist Committee for Public Affairs (Komite AS-Zionis Bidang Publik). Karena terjadi ketegangan dengan Presiden Eisenhower, lalu berganti nama pada 1953 menjadi AIPAC.
Sudah dapat dibaca bahwa strategi utama negeri penjajah zionis tersebut sejak lama difokuskan pada tiga hal, yaitu pertama, melarang kemunculan kekuatan regional baik Arab maupun non Arab yang dapat mengimbangi kekuatan Israel atau menyamakannya. Kedua, melarang terjalinnya hubungan kuat antara gerakan-gerakan perlawanan Arab dengan kekuatan regional baik Arab (seperti Mesir, Iraq, Suriah) maupun Islam seperti ( Iran , Turki , Pakistan ).
Strategi ketiga dan yang terpenting yang dianggap negeri zionis itu sebagai jaminan kelangsungan eksistensinya adalah mematikan tsaqafah al-muqawamah (budaya perlawanan) di kalangan bangsa Arab sehingga tidak pernah lagi terpikir untuk memuntahkan satu peluru pun ke arah musuh si penjajah zioinis dan penyabot tanah leluluh bangsa Arab Palestina yang telah mereka diami 5 ribu tahun lebih, jauh sebelum orang Yahudi masuk sebagai ghuraba (orang asing, bukan penduduk asli).
Lalu apa kaitannya tsaqafah muqawamah dengan Iran . Para pemerhati situasi dunia Arab dan Islam saat ini dengan mudah membaca apa sesungguhnya yang sedang terjadi di kawasan itu. Mesir sudah tidak mungkin lagi berperang dengan zionis pasca persetujuan Camp David 1978, lalu Iraq sudah hancur lebur, dan Suriah hanya sebatas dukungan moril karena masih harus berjuang keras untuk keluar dari isolasi internasional (baca: Barat).
Lalu coba lihat negara-negara Islam sekitar seperti Turki yang meskipun sekarang diperintah oleh Partai Islam namun memiliki kerjasama strategis dengan zionis disebabkan pengaruh militer yang masih terlalu kuat di negeri bekas pusat Khilafah Otoman itu. Bila melihat Pakistan meksipun sebagai salah satu kekuatan besar di dunia Islam ditinjau dari potensi militer, namun telah lama sebagai sekutu AS.
Lalu tinggallah Iran peninggalan Khomeini, yang hingga kini masih tetap setia membela perlawanan, yang bertolak belakang dari masa Shah Reza Pahlevi yang menjadi sekutu utama Israel dan AS. Presiden Ahmadi Nejad saat jumpa pers bersama Presiden Suriah, Hafez Assad di Damaskus, Selasa (5/5) antara lain menegaskan kelanjutan dukungan negara terhadap gerakan perlawanan Arab menghadapi penjajahan negeri zionis itu.
Bahkan dengan nada mengejek Nejad mengatakan “ Israel dahulu ingin menguasai wilayah dari Sungai Nil sampai Sungai Eufrat. Sekarang terbukti bahwa perlawanan membuat mereka gagal mencapai ambisi ini, lihat saja sekarang mereka membuat batas sendiri dengan mendirikan tembok….Karena perlawanan membuat mereka gagal mencapai ambisinya dan menyekat sendiri tanah sempit untuk bertahan hidup.”
Agresi biadab negeri Yahudi itu ke Gaza selama 23 hari pada 27/12/2008-18/1/2009 ibarat menuangkan bensin ke api yang sedang menyala sehingga api tambah berkobar. Agresi yang menggunakan berbagai jenis senjata terlarang secara internasional dan pembunuhan secara biadab atas target sipil itu justeru makin mengobarkan semangat perlawanan di kalangan para pejuang Arab untuk mengenyahkan penjajah zionis yang mendapat dukungan kuat bangsa-bangsa Muslim di seantero dunia sehingga suara-suara aslamah (Islamisasi) isu Palestina makin nyaring.
Dalih yang dicari untuk mematikan perlawanan tersebut setelah hampir seluruh dunia Arab dan Islam meninggalkan opsi jihad adalah isu nuklir, karena Iran satu-satunya negara Muslim yang masih tetap mengobarkan semangat perlawanan dimaksud dan berjuang melalui forum-forum internasional membelanya dan berani “menelanjangi“ aksi terorisme Israel dan AS di hadapan publik dunia.
Isu nuklir inilah yang dianggap paling tepat untuk memojokkan negeri Syiah itu. Sebagian besar dunia Arab pun akhirnya makin mantap menerima propaganda Israel tersebut bahwa Iran seolah-olah ancaman utama di kawasan yang bukan hanya ditujukan ke negeri zionis itu tapi juga ke seluruh negara Arab sehingga semua pihak menutup mata atas terorisme negara yang saban hari dilakukan Israel atas penduduk Palestina.
Sia-sia
Paling tidak untuk jangka pendek dan menengah mendatang, propaganda Tel Aviv itu akan sia-sia belaka. Dunia Barat termasuk AS sedang dalam posisi kelelahan setelah secara ekonomis dan militer terkuras di Iraq dan Afgansitan disamping krisis ekonomi yang sangat parah yang sedang melanda AS saat ini. Dalam rentang waktu itu, hampir dapat dipastikan bahwa negeri Persia itu sudah dapat menguasai teknologi nuklir yang diharapkan.
Bila target itu tercapai, paling tidak akan meningkatkan “bargaining position“ (posisi tawar) gerakan perlawanan terutama di Palestina setelah terbukti selama lebih dari 10 tahun terakhir ini perundingan politis tidak mencapai hasil apa-apa. Perdamaian atau gencatan senjata jangka panjang (menurut istilah faksi-faksi Islam karena secara aqidah bumi Palestina tidak boleh diserahkan ke musuh) makin jauh panggang dari api.
Isyarat bahwa propaganda Israel untuk menggoyang Iran lewat isu nuklir bakal sia-sia dapat dilihat dari lawatan mendadak Menhan AS, Robert Gates ke sejumlah negara Arab untuk menenangkan sekutu-sekutu Arabnya bahwa sikap “lembek“ atau uluran tangan bersahabat AS ke Iran bukan untuk mengorbankan sekutu lamanya di Arab.
Lalu bagaimana skenario akhirnya menyangkut Palestina? Sejumlah analis memperkirakan bahwa keteguhan Iran mempertahakan hak mencapai teknologi nuklir disamping dukungan kuat atas perlawanan Arab, paling tidak akan berakhir pada titik kompromi Barat-Iran-Arab bagi berdirinya negara Palestina merdeka.
Sebagai imbalannya, Iran bersedia untuk tidak mengembangkan teknologi nuklirnya untuk membuat bom atom dan hanya tetap pada batas penguasaan teknologi nuklir yang sejatinya bisa ditingkatkan menjadi penguasaan teknologi bon nuklir bila suatu saat nanti terjadi “kecurangan“ di pihak Israel dan Barat menyangkut peran Iran di kawasan.
Paling tidak, bila skenario ini tercapai, Barat akhirnya dapat memberikan konsesi kepada Palestina setelah selama ini berpihak mutlak kepada zionis Israel . Tentunya konsesi ini tidak akan pernah didapat tanpa keteguhan perinsip dari Iran dan gerakan-gerakan perlawanan Arab selama ini.
Sebab realita di lapangan telah membuktikan bahwa dunia Arab yang makin tunduk kepada AS justeru makin dilecehkan. Melihat kondisi dunia Arab sekarang ini, tidak berlebihan bila akhirnya “kemerdekaan“ negara Palestina mendatang akan dicapai melalui pintu Iran walaupun di permukaan nanti, terkesan sebagai hasil perundingan intensif Arab , Israel dan AS. [hidayatullah.com]
Penulis adalah pengamat masalah Timur Tengah, kini sedang tinggal di Yaman