Sejumlah media di Indonesia – cetak dan elektronik – rupanya sedang ramai mempersoalkan sejumlah pasal kontroversial, khususnya pasal-pasal perzinahan dalam Rancangan Undang-Undang kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP).
Majalah TEMPO edisi 6-12 Oktober 2003, menampilkan laporan Utama dengan judul “Rancangan KUHP: KITAB YANG SEMAKIN MENAKUTKAN”.
Banyak pasal yang menjadi bahan konrtroversi dalam RUU KUHP yang baru. Tetapi, yang menarik untuk kita jadikan bahan Catatan Kahir Pekan kali ini adalah pasal-pasal tentang perzinahan. Majalah GATRA pekan ini memuat sejumlah komentar dari aktivis HAM dan perempuan yang menolak urusan Zina diatur dalam KUHP, karena dianggap itu masalah pribadi. Beberapa hari ini, ada sejumlah email yang saya terima dari kalangan aktivis Kristen yang menolak masuknya unsur-unsur hukum Islam dalam KUHP. Seperti dikutip Majalah TEMPO, Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra memang mengakui, RUU KUHP kali ini mengganti definisi Zina dari hukum Belanda ke sistem hukum Islam. (Meskipun soal sanksi, masih belum pas dengan hukum Islam). Yakni, bahwa Zina adalah hubungan seksual di luar nikah.
TEMPO menulis soal pasal-pasal Zina dalam RUU KUHP ini dengan satu judul naskah: “Jeratan Buat Para Pezina”. Ditulis di sini: “Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. AROMA HUKUM ISLAM, MINUS SANKSI.”
Berikut ini sejumlah contoh pasal RUU KUHP tentang perzinahan yang dihebohkan: (1) Pasal 419 berbunyi: Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara lima tahun: (a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya. (b). Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya. (c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.
Pasal 420 RUU KUHP menyatakan: “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu).
Kumpul kebo pun diancam hukuman pidana. Ini diatur dalam pasal 422: “Seorang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah karenanya menganggu perasaan kesusilaan masyarakat setemoat dipidana penjara dua tahun. Tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah seorang sampai derajat ketiga, kepala adat atau oleh kepala desa atau lurah setempat.”
Hubungan seks sejenis (homoseksual atau lesbian) pun tak luput dari sanksi pidana, seperti diatur pasal 427: “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun dipidana paling singkat satu tahun penjara dan paling lama tujuh tahun.”
Banyak sekali pendapat yang sudah terungkap melalui media massa, baik yang pro terhadap pasal-pasal semacam itu, maupun yang kontra. Tampaknya, kaum Muslim yang menginginkan tegaknya syariah Islam, cenderung setuju dengan pendefinisian Zina sebagai delik pidana tanpa aduan. Sedangkan sejumlah respon yang menolak muncul dari kalangan Kristen, yang menyebut atau disebut sebagai aktivis HAM, atau pun kalangan Muslim secular. Yang jelas, seperti ditulis TEMPO, RUU KUHP ini dianggap “beraroma Islam”. Dalam catatan kali ini, kita tidak akan mendiskusikan seputar pro-kontra masalah ini. Tetapi, kita akan menganalisis sebutan Majalah TEMPO, bahwa pasal-pasal zina adalah “beraroma Islam”. Benarkah demikian?
Memang, dalam hukum Islam, persoalan zina sudah begitu gamblang. Hukuman bagi pezina yang telah memenuhi syarat – seperti adanya empat saksi yang melihat langsung “dengan mata kepala sendiri” proses perzinahan itu — pun jelas. Bagi pezina muhsan, maka ia dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu muhsan, dicambuk 100 kali. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (fajlidu) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, dan jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. [QS An-Nur: 2] Hukuman dera seratus kali dalam ayat tersebut di atas diperuntukkan lelaki atau perempuan yang belum menikah, dan menurut jumhur ulama ditambah pengasingan (taghrib) satu tahun bila itu dipandang perlu, namun bila tidak, maka tidak dilakukan. (Tafsir Ibn al-Katsir, [1401H] vol. I, hal. 261).
Hukum rajam, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam surat An-Nur tersebut, tetapi para ulama telah bersepakat tentang hukuman rajam bagi pezina yang telah menikah, sebagaimana yang ditegakkan Rasulullah atas Ma’iz al-Aslami dan al-Ghamidiyah. Tidak ada yang menolak kesepakatan (ijma’) ini kecuali golongan al-Khawarij. Pendapat para ulama itu diperkuat oleh Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i bahwa mereka menetapkan hukuman rajam bagi pezina muhshan tanpa didahului oleh hukum cambuk. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa sebelum dijalankan hukuman rajam, pezina muhshan harus dicambuk dulu. Pendapat beliau ini merujuk kepada riwayat khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghukum dera seorang wanita (Syarahah) pada hari Kamis dan dirajam pada hari Jum’at. Kemudian beliau berkata, “Saya menderanya dengan hukum kitabullah sedangkan saya merajamnya dengan sunnaturrasul.” [Ibnu Katsir, Jilid III, hal. 262]
Meninjau secara singkat ketentuan Islam tentang Zina tersebut, maka wajar ada yang menyebut bahwa pasal-pasal Zina dalam RUU KUHP itu adalah “Beraroma Islam”. Karena Islam memang begitu tegas menekankan, Zina dalah kejahatan besar. Bahkan, lebih besar dari pencurian atau korupsi. Tetapi, apa benar pasal-pasal Zina dalam RUU KUHP kali ini beraroma Islam? Untuk menjawab hal ini, ada baiknya kita telaah pasal-pasal perzinahan dalam Bible. (Istilah Bible bagi kaum Kristen, menunjuk kepada Perjanjian Lama (Old Testament) dan Perjanjian Baru (New Testament). Sedangkan bagi Yahudi, Bible yang dimaksud adalah “Perjanjian Lama”, meskipun Yahudi tidak mau menyebutnya sebagai “The Old Testament” tetapi menyebutnya sebagai “Hebrew Bible” atau “Bible” saja. Yahudi tidak mengakui New Testament)
Dalam konsep Bible, perbuatan zina dipandang sebagai kejahatan yang sangat berat – bahkan lebih berat dari konsep hukum Islam. Hukuman bagi pezina adalah hukuman mati, dengan cara dilempari batu sampai mati. Beberapa jenis perzinahan diantaranya malah dihukum dengan dibakar hidup-hidup. Dalam Kitab Ulangan 22:20-22, disebutkan: (Teks-teks di sini diambil dari Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000).
“(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati – sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.”
Kitab Imamat (Leviticus) 20:8-15 juga menjelaskan, bahwa berbagai bentuk dan jenis perbuatan zina, semuanya wajib dihukum mati. Bahkan, pezina dengan binatang pun, harus dihukum mati, termasuk binatangnya harus dibunuh juga.”(8) Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya;
Akulah Tuhan yang menguduskan kamu. (9) Apabila ada seseorang yang mengutuki ayahnya dan ibunya, pastilah ia dihukum mati; ia telah mengutuki ayahnya atau ibunya, maka darahnya tertimpa kepadanya sendiri. (10) Bila seorang laki-laki berzinah dengan istri orang lain, yakni berzinah dengan istri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu. (11) Bila seorang laki-laki tidur dengan seorang istri ayahnya, pastilah keduanya dihukum mati, dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri, (12) Bila seorang laki-laki tidur dengan manantunya perempuan, pastilah keduanya dihukum mati; mereka telah melakukan suatu perbuatan keji, maka darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri, (13) Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri, (14) Bila seorang laki-laki mengambil seorang perempuan dan ibunya, itu suatu perbuatan mesum; ia dan kedua perempuan itu harus dibakar, supaya jangan ada perbuatan mesum di tengah-tengah kamu, (15) Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itupun harus kamu bunuh juga.”
Encyclopedia Talmudica menjelaskan tentang hukuman mati pagi pezina: “For it says, “And the man who commits adultery and the adulteress shall be put to death.” (Lev. 20:10) … This is so in the case of married woman. If, however, she is a bethrothed maiden and virgin, they are both punishable by stoning. If the married woman is a priest’s daughter she is punishable by burning and he by strangulation.” Leviticus 18:20 (versi Encyclopedia Talmudica) menyebutkan: “Do not have sexual relations causing an emission of semen with the wife of your fellow, to defile yourself with her.” Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000, menulis ayat ini: “Dan janganlah engkau bersetubuh dengan istri sesamamu, sehingga engkau menjadi najis dengan dia.” Sedangkan versi King James Version menulis teks ayat ini: “Moreover thou shalt not lie carnally with thy neighbour’s wife, to defile thyself with her.” Dalam Ten Commandents juga ditegaskan: “You shall not commit adultery.” (Ex. 20:14). (Lihat, Encyclopedia Talmudica, (Jerusalem, Talmudic Encyclopedia Pbl. Ltd., 1978), Vol. III, hal. 202-204.
Mencermati pasal-pasal tentang Zina dalam Bible tersebut, seharusnya TEMPO juga menulis, bahwa pasal-pasal perzinahan dalam RUU KUHP yang sekarang ini “beraroma Yahudi-Kristen”. Kita memang heran, mengapa pasal-pasal zina dalam RUU KUHP hanya disebutkan “beraroma Islam”, sehingga dihantam habis-habisan. Dan mengapa banyak kalangan Kristen yang menolaknya? Mengapa?
Jika dicermati lebih jauh, persoalan seksual, perzinahan, perselingkuhan, memang banyak menjadi pembahasan dalam Bible. Dalam bukunya yang berjudul, “Christianity”, terbitan Hodder Headline Ltd., London, 2003, hal. 75, John Young menempatkan satu subjudul: “Why so much sex and violence?” Ia menulis sebagai pembelaan terhadap Bible: “The Bible takes the form of a history, not a treatise. This is why it contains so much sex and violence, for all real history does! We learn from this that God is concerned with the world as it really is. The ancient world was certainly very violent.”
Memang, meskipun hukum Zina begitu keras dalam Bible, tetapi pada saat yang sama, banyak sekali kisah-kisah para tokoh Bible yang melakukan praktik perzinaan. Dan para tokoh itu tidak dihukum, sesuai dengan konsep Bible. Misalnya, perzinahan antara David dengan Batsheba. Dalam Bible juga disebutkan setelah David menzinahi Batsheba, maka kemudian ia juga menjebak suaminya agar terbunuh di medan perang. Kisah ini diceritakan dalam Kitab 2 Samuel 11:2-5 dilanjutkan ayat 13-17. Lalu, Kitab Kejadian 19:30-38 menceritakan kisah perzinahan Lot dengan kedua anak perempuannya sendiri dan akhirnya melahirkan anak dari kedua anaknya itu. Dari anak yang lebih tua lahir anak yang diberi nama Moab, dan dari anak yang lebih muda, lahir cucu Lot yang diberi nama Ben-Ami.
Kasus perzinahan lain terjadi pada tokoh penting dalam Bible, yaitu kasus yang terjadi pada Judah (Yehuda). Yehuda adalah anak Yakub dari Lea. Kitab Kejadian 35:22b-26 menceritakan ke-12 anak Yakub. Yaitu, dari istrinya Lea, lahir Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar, dan Zevulon. Dari istrinya, Rahel, lahir Yusuf dan Benyamin. Dari istrinya, Bilha, lahir anak bernama Dan dan Naftali; dan dari istri bernama Zilpa lahir anak bernama Gad dan Asyer). Kitab Kejadian 38:15-18 menceritakan perzinahan Yehuda dengan Tamar, menantunya sendiri.
Kisah lain kasus kejahatan seksual seperti diceritakan dalam Bible adalah cerita tentang Amon bin David yang memerkosa adiknya sendiri. Kisah ini dengan sangat panjang dan secara terperinci diceritakan dalam 2 Samuel 13:1-22. Ceritanya terjadi antara Amnon bin David dan Tamar bin David. Tamar adalah adik dari Absalom bin David. Amnon dan Tamar adalah sama-sama anak Daud tapi berlainan Ibu (half brother). Tamar digambarkan sebagai perempuan cantik, dan Amnon jatuh cinta pada adiknya itu. Ia sangat tergoda pada Tamar, sehingga ia jatuh sakit. Atas nasehat saudara sepupunya bernama Yonadab, Amnon berpura-pura sakit untuk menjebak Tamar, agar dapat masuk ke kamarnya, dengan mengidangkan kue buatannya. Berikut ini petikan 2 Samuel 13:11-14:
(11) Ketika gadis itu menghidangkannya kepadanya supaya ia makan, dipegangnyalah gadis itu dan berkata kepadanya: “Marilah tidur dengan aku, adikku.” (12) Tetapi gadis itu berkata kepadanya: “Tidak kakakku, jangan perkosa aku, sebab orang tidak berlaku seperti itu di Israel. Janganlah berbuat noda seperti itu. (13) Dan aku, kemanakah kubawa kecemaranku? Dan engkau ini, engkau akan dianggap sebagai orang yang bebal di Israel. Oleh sebab itu, berbicaralah dengan raja, sebab ia tidak akan menolak memberikan aku kepadamu.” (14) Tetapi Amnon tidak mau mendengarkan perkataannya, dan sebab ia lebih kuat dari padanya, diperkosanyalah dia, lalu tidur dengan dia.
Meskipun dikenang sebagai Raja Israel yang sangat dihormati, tetapi keluarga David digambarkan amburadul dalam soal moral. Amnon memerkosa adiknya sendiri. Amnon kemudian dibunuh oleh kakak Tamar yang bernama Absalon. Cerita berikutnya, Absalom pun melakukan persetubuhan dengan gundik-gundik David di depan mata seluruh bangsa Israel. Persetubuhan Absalom dengan gundik-gundik ayahnya dilakukan setelah Absalom berhasil merebut tahta kekuasaan dari ayahnya, David, seperti diceritakan dalam 2 Samuel 16:21-23.
Kisah perzinahan David dan Batsheba sudah dianggap hal biasa saja di Barat. Dan seperti bukan dianggap sebagai kejahatan yang serius, padahal sanksi hukum atas perzinahan begitu beratnya. Seorang Novelis Swedia terkenal, bernama Torgny Lindgren menulis sebuah novel berjudul Bathsheba. Novel ini memenangkan penghargaan Prix Femina di Perancis tahun 1986. Penulis novel ini mengaku, sejak kecil ia sudah mendengar cerita tentang hal ini. Berbagai pujian mengalir untuk novel Lindgren.
Cerita kejahatan David tentu tidak ada dalam al-Quran. Sebab, al-Quran menggambarkan Daud a.s. adalah seorang nabi yang saleh. Tentang Daud a.s., Al-Quran menggambarkan: “Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan, dan ingatlah hamba Kami, Daud, yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah.” (QS Shaad:17).
Jadi, menelaah sejumlah ayat al-Quran dan Bible tentang perzinahan, pasal-pasal perzinahan dalam RUU KUHP yang diributkan ini, “beraroma Islam” atau “beraroma Yahudi-Kristen”? Wallahu a’lam. (Kuala Lumpur, 10 Oktober 2003)