Dalam tradisi Islam tidak dikenal Machiaveli, pada akhirnya, para politisi Muslim harus membuktikan berpolitik bisa untuk ibadah agar tidak terjadi liberalisasi
Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | POLITIK adalah sekedar seni meraih dan mempertahankan kekuasaan, dengan segala cara. Politik harus dibebaskan dari moralitas.
Yang penting kuasa. Demi meraih kuasa, tipu sana tipu sini, bukan soal lagi. Bahkan, jika perlu, teror pun digunakan, demi kekuasaan. Pertahankan dan rebut kekuasaan, dengan cara apa pun!
Itulah politik bebas nilai. Sebuah bentuk politik yang secara sistematis diteorikan oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam sosial politik umat manusia. ‘’’Sebuah buku berjudul “World Masterpieces” yang diterbitkan oleh WW Norton&Company, New York, (1974) menempatkan The Prince, sebagai salah satu karya besar dalam sejarah manusia.
Tujuan utama dari suatu pemerintahan, menurut Marchiavelli, adalah “survival” (mempertahankan kekuasaan). Politik semacam itu melampaui nilai-nilai moral keagamaan.
Dengan membuang faktor “baik dan buruk” dalam kancah politik, Machiavelli menyarankan: seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan.
Maka, kata Machiavelli dalam The Prince: “It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case.” Jadi, untuk berkuasa, penguasa harus belajar menjadi jahat dan menggunakannya jika diperlukan!
Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. “In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought that we recognized as distinctly modern,” tulis Perry.
Trauma sejarah
Apa yang dilakukan Machiaveli yang kemudian disebut sebagai “politik modern” tentu saja tak lepas dari arus besar renaissance (kelahiran kembali) masyarakat Eropa, yang selama hampir 1.000 tahun hidup di bawah sistem politik teokrasi (kekuasaan Tuhan). Tuhan – melalui wakilnya di bumi – mendominasi segala aspek kehidupan, termasuk politik. Pemerintahan dianggap tidak sah, jika tidak disahkan oleh wakil Tuhan.
Contoh yang menarik terjadi pada konflik antara Paus Gregory VII dan Raja Henry IV pada paruh abad ke-11. Konflik bermula ketika Gregory melarang keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat gereja.
Pada akhir pertarungan, Henry IV takluk dan dipaksa menemui Gregory di Canossa pada 1077. Paus kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya.
Kasus ini menunjukkan keefektivan kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap Raja yang sangat besar kekuasaannya di Eropa.
Berbagai penyimpangan sistem teokrasi kemudian melahirkan semangat pemberontakan terhadap agama. Revolusi Perancis (1789) yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”, secara terbuka menyingkirkan – bukan hanya sistem monarkhi – tetapi juga dominasi kaum agamawan dalam politik.
Sebelumnya, para agamawan (clergy) di Prancis menempati kelas istimewa bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa, termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Perancis.
Kekeliruan sebagian tokoh agama dalam politik yang menindas rakyat akhirnya memunculkan trauma masyarakat Barat terhadap peran agama dalam politik. Bahkan, kemudian muncul fenomena “anti-clericalism” di Eropa pada abad ke-18.
Sebuah ungkapan populer ketika itu: “Berhati-hatilah, jika anda berada didepan wanita, hatilah-hatilah anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau di belakang pendeta.” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975)).
Trauma pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama itulah yang memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci sdangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Tradisi Islam
Di Eropa, trauma sistem teokrasi kemudian memunculkan tradisi politik sekular-liberal. Fenomena ini sebenarnya tidak terjadi dalam dunia Islam. Kaum Muslim selalu melihat politik sebagai bagian dari agama. Politik adalah ibadah.
Tujuan utama politik adalah untuk menyebarkan kebenaran, dan menjaga agama melalui kekuasaan. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus mulia pula. Tujuan tidak menghalalkan segala cara.
Pengalaman sejarah dan trauma Barat terhadap hegemoni sistem teokrasi mengharuskan dilakukannya sekularisasi di Barat. Tetapi, Islam tidak mengalami hal semacam itu. Islam tidak mengenal sistem teokrasi dan tradisi Inquisisi.
Bernard Lewis, professor di Princeton University mengakui, bahwa kaum Muslim memang tidak mengembangkan tradisi sekular dalam sejarah mereka. Bahkan, kaum Muslim akan selalu menentang keras tradisi sekular tersebut. Ini berbeda dengan tradisi Kristen di Barat. “From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction,” tulis Lewis dalam bukunya, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).
Karena itu, sejatinya, konsep politik sekular dan liberal, apalagi politik ‘machiavellis’ TIDAK DIKENAL dalam tradisi Islam. Namun, pada akhirnya, para politisi Muslim sendiri yang harus membuktikan, bahwa politik mereka memang bertujuan untuk ibadah dan menyebarkan rahmat bagi masyarakat; bukan refleksi dari syahwat mencintai dunia (hubbud-dunya). Wallaahu A’lam bish-shawab.*
Penulis Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Zaman Revolusi Media | Media lemah, da’wah lemah, ummat ikut lemah. Media kuat, da’wah kuat dan ummat ikut kuat
Langkah Nyata | Waqafkan sebagian harta kita untuk media, demi menjernihkan akal dan hati manusia
Yuk Ikut.. Waqaf Dakwah Media
Rekening Waqaf Media Hidayatullah:
BCA 128072.0000 Yayasan Baitul Maal Hidayatullah
BSI (Kode 451) 717.8181.879 Dompet Dakwah Media