Ahad, 18 September 2005
Oleh: Adian Husaini
Tampaknya, berbagai prosesi, upacara, pemberitaan media massa, seputar wafatnya Nurcholish Madjid pada 29 Agustus 2005 lalu, benar-benar dijadikan momentum untuk memberikan legitimasi terhadap pemikiran Nurcholish Madjid. Bahwa, Nurcholish Madjid adalah sosok pemikir hebat yang pemikiran-pemikirannya, termasuk pemikirannya di bidang keagamaan patut dijadikan sebagai rujukan dan panutan oleh umat Islam Indonesia.
Seorang murid Nurcholish menuliskan kekagumannya terhadap gurunya ini di sebuah majalah: “Untuk tahu kehebatan Cak Nur, kita perlu tahu pikiran-pikiran yang tersimpan dalam memori Cak Nur. Maka, direncanakanlah sebuah proyek besar mendokumentasikan pikirannya, yang kemudian menghasilkan ensiklopedi besar Nurcholish Madjid, setebal 3.600 halaman, dalam empat jilid, yang insya Allah akan diluncurkan pada peringatan 100 hari wafatnya.”
Jadi, tidak lama lagi, umat Islam Indonesia, dan juga bangsa Indonesia akan disuguhi sebuah buku tebal tentang Nurcholish Madjid. Untuk menyambut buku Ensiklopedi Nurcholish itu, dan juga mengimbangi berbagai pemikiran yang telah disebarkan oleh para pengagum Nurcholish Madjid, saya menulis sebuah buku berjudul “Nurcholish Madjid: Kontroversi Kematian dan Pemikirannya”. Buku ini diluncurkan pada 18 September 2005 di Pesantren Husnayain.
Ketika saya sampaikan rencana peluncuran buku ini, seorang tokoh Islam menyatakan, “Mengapa orang yang sudah mati kita bahas?” Ada lagi yang mengirim email kepada saya “aib saudara kita yang meninggal jangan diungkit-ungkit lagi”. Dan sebagainya.
Kita patut prihatin dengan komentar-komentar seperti itu, sebab itu menunjukkan kekacauan dan kerancuan dalam berpikir.
Tetapi, dalam kasus Nurcholish Madjid, kita bisa memahami mengapa hal itu dapat terjadi, karena begitu hebatnya rekayasa opini yang dibuat untuk memunculkan ketokohan Nurcholish Madjid –sebagaimana kasus meninggalnya Lady Diana, pada 31 Agustus 1997.
Ketika itu, umat manusia bagaikan tersihir dengan sosok Lady Di, karena adanya siaran
langsung kematian Lady Di selama 7 jam ke 187 negara.
Karena rekayasa opini itulah, sampai-sampai seorang khatib Jumat di salah satu Madjid di Rawamangun, pada 12 September 1997, memasukkan doa untuk Lady dalam khutbahnya.
Selain itu, memang jarang sekali orang yang mau membaca buku-buku yang memuat tulisan dan pemikiran Nurcholish Madjid. Kebanyakan hanya mengenal Nurcholish Madjid dari media massa atau cerita dari mulut ke mulut. Bahkan, ada yang enggan membaca jika ada kritik terhadap Nurcholish, karena sudah menganggap Nurcholish sebagai orang hebat tanpa cacat dalam pemikiran.
Kita berharap, “Ensiklopedi Nurcholish Madjid” yang akan diterbitkan itu bukan hanya berisi koor pujian-pujian dan kultus yang telah dikatakan oleh Nurcholish sendiri sebagai “sama bahayanya dengan narkotika”.
Ensiklopedi itu hendaklah memuat kritik-kritik dan dengan jujur berani membongkar kesalahan, kelemahan, dan kerusakan beberapa pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid.
Tujuannya tidak lain, agar Nurcholish Madjid kita tempatkan secara adil, sesuai dengan “maqamnya”, sesuai dengan tempat yang selayaknya. Kucing harus kita katakan sebagai kucing. Jangan dikatakan sebagai singa atau ayam.
Jika kita cermati beberapa pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid, kita akan menemukan sejumlah masalah yang serius dalam pemikiran Islam. Kita bisa membaca sebuah buku berjudul “Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat”. “Dekonstruksi”, dalam bahasa populer adalah “penghancuran”. Buku ini diberi kata pengantar oleh Dawam Rahardjo. Di sini ada tulisan Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan sebagainya.
Editornya menulis pengantar untuk buku ini: “Berkaitan dengan tulisan para intelektual Ciputat dalam buku ini, yang memberi nuansa baru dalam wacana Islam di Indonesia, bisa diatakan sebagai usaha pendekonstruksian – dalam arti yang lunak – wacana keislaman yang selama ini dianggap baku.
Namun, dekonstruksi yang dilakukan, sepertinya bukan untuk menihilkannya, melainkan untuk menuju apa yang disebut Komaruddin Hidayat sebagai rekonstruksi koseptual dan
pendakian rohani menuju Realitas Absolut. Dan gerbong yang menarik upaya pendekonstruksian dari barak Ciputat, lahir dari sosok intelektual yang benama Nurcholish Madjid.”
Bagian pertama buku ini menampilkan kembali makalah Nurcholish Madjid berjudul “Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang” yang dibacakan di TIM, 21 Oktober 1992.
Jika dicermati, melalui makalah ini, Nurcholish memang melakukan dekonstruksi terhadap istilah-istilah kunci dalam Islam, seperti makna “Islam”, “Ahlul Kitab”, dan sebagainya. Makna “Islam”, oleh Nurcholish dibawa ke makna generik sebagai “sikap pasrah”.
Ditulisnya: “Pencarian Kebenaran secara murni dan tulus akan dengan sendirinya menghasilkan sikap pasrah (perkataan Arab Islam dalam makna generiknya) kepada Kebenaran itu. Tanpa sikap pasrah itu maka pencarian Kebenaran dan orientasi kepadanya akan tidak memiliki kesejatian dan otentisitasnya, dan tidak pula akan membawa kebahagiaan yang dicari.
Sehingga, sebagai pandangan hidup, mencari Kebenaran tanpa kesediaan pasrah kepada-Nya juga bersifat palsu, dan ditolak oleh Kebenaran itu sendiri. Karena itu ditegaskan bahwa sikap tunduk yang benar (perkataan Arab din dalam makna generiknya) yang diakui Yang Maha Benar, yaitu Tuhan, ialah sikap pasrah kepada Kebenaran itu. Dan karena itu pula ditegaskan, bahwa barangsiapa mencari, sebagai sikap ketundukan, selain daripada sikap pasrah kepada Kebenaran itu, maka pencariannya itu tidak akan berhasil, dan tidak akan membawa kebahagiaan abadi yang dikehendakinya.”
Pada kutipan tersebut, Nurcholish tampak berupaya melakukan dekonstruksi terhadap makna “Islam” sebagai satu “nama agama”, dan menerjemahkan QS Ali Imran ayat 19 dan 85 dengan makna “generik”, yakni sikap pasrah atau tunduk kepada Tuhan. Sikap Nurcholish yang hanya berkutat pada makna generik dari kata “Islam”, adalah hal yang keliru. Sebab, “Islam” disamping memiliki makna bahasa (generik), juga memiliki makna khusus (ishtilahy) sebagai nama satu agama, yakni agama terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Ayat 19 dan 85 surat Ali Imran jelas-jelas menunjuk pada nama satu agama, yaitu agama Islam, bukan menunjuk pada “sikap pasrah”.
Makna “Islam” itu sendiri digambarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai sabda beliau. Misalnya: “Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam pertimbangan untuk fatwa tentang “sipilis” (Sekularisme, Pluralisme Agama, dan Liberalisme), MUI juga mencantumkan sebuah hadits Nabi saw: “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim)
Selama beratus tahun, kaum Muslim sangat mafhum, bahwa kaum di luar Islam, adalah kaum kafir. Untuk mereka ada berbagai status, seperti dhimmi, harbi, musta’man, atau mu’ahad. Al-Quran pun menggunakan sebutan “kafir ahl-Kitab” dan “kafir musyrik” (QS 98).
Status mereka memang kafir, tetapi mereka tidak boleh dibunuh karena kekafirannya –sebagaimana dilakukan kaum Kristen Eropa terhadap kaum heretics – atau dipaksa memeluk Islam. Jadi, bangunan dan sistem Islam itu begitu jelas, bukan hanya dalam konsepsi teologis, tetapi juga konsepsi sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, peradaban, dan sebagainya. Misalnya, dalam hukum bidang perkawinan, sudah jelas, bahwa laki-laki kafir (non-Muslim) haram hukumnya dinikahkan dengan wanita muslimah. (QS 60:10).
Ide dekonstruksi makna Islam ini sebenarnya bukan ide asli Nurcholish Madjid, tetapi merupakan jiplakan dari gagasan Wilfred Cantwell Smith, yang menulis buku The Meaning and End of Religion (Minneapolis: Fortress Press, 1991).
Jawaban yang bagus terhadap konsepsi Islam versi Nurcholish Madjid juga sudah ditulis oleh Ahmad Husnan dalam bukunya Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, Solo: Ulul Albab Press, 1993).
Hujjah-hujjah yang dibangun Husnan sangat meyakinkan, bahwa kata “Islam” dalam QS Al-Maidah:3, Ali Imran: 19 dan 85, adalah dalam makna khusus (istilahy), yakni ‘Islam sebagai nama agama’ yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw. Tidak dapat dimaknai dengan makna etimologis, atau makna generik saja. Sayangnya, argumen-argumen yang bagus dari para pengritik ini tidak mendapat tanggapan dari Nurcholish Madjid.
Mengubah konsep dasar Islam (dekontsruksi makna Islam) menjadi sekedar “sikap pasrah”, bisa dikatakan sebuah korupsi yang serius. Bukan hanya korupsi harta, tetapi korupsi ilmu dan kebenaran. Korupsi agama, dalam pandangan Islam, merupakan pelanggaran berat.
Korupsi agama bermakna merusak konsep-konsep dasar agama, yang akhirnya berdampak pada kekeliruan dan kesesatan banyak orang.
Dalam soal korupsi harta milik negara/masyarakat, Rasulullah saw dikenal sangat tegas. Bahkan, untuk orang yang sudah meninggal dunia sekali pun, kejahatannya dibongkar oleh Rasulullah saw.
Lazimnya, orang yang meninggal ditutupi aibnya. Tetapi, pelaku kejahatan seperti ini dikecualikan. Meskipun hanya sedikit sekali jumlah harta yang dikorupsi.
Dalam bukunya, Fiqih Prioritas, Yusuf Qaradhawi menceritakan kisah seorang bernama Karkarah yang meninggal dalam jihad fi sabilillah. Rasulullah saw mengatakan, “Dia masuk neraka.”
Setelah diteliti, ternyata Karkarah menyembunyikan baju mantel yang diambilnya dengan
curang.
Kisah lain juga terjadi pada seorang muslim yang meninggal dalam Perang Khaibar. Rasulullah saw menolak menshalatkan jenazahnya, dan mengatakan kepada para sahabat: “Shalatilah temanmu, sesungguhnya temanmu itu curang, mengambil harta hasil perang untuk dirinya sendiri, dalam perang fi sabilillah.” Setelah diperiksa jenazahnya, ternyata ia menyembunyikan barang perhiasan milik orang Yahudi yang nilainya tidak mencapai dua dirham.
Jika dalam soal korupsi harta ditegakkan hukum yang begitu tegas, maka Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya juga tidak main-main dan bersikap sangat tegas dalam menegakkan urusan agama.
Masalah agama menyangkut dunia dan akhirat, bukan hanya masalah dunia saja. Karena itu, Rasulullah saw tidak mentolerir penyimpangan atau korupsi dalam bidang aqidah dan syariah.
Ketika delegasi Tsaqif dari Thaif datang kepada Nabi saw dan menyatakan bersedia masuk Islam, dengan syarat, dibebaskan dari kewajiban shalat, maka dengan tegas Nabi saw menolaknya.
Sabda beliau saw, “Sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi agama yang tidak disertai shalat.” Jadi, tidak ada diskon dalam agama, tidak boleh ada korupsi, untuk
masalah pokok seperti shalat.
Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq yang dikenal sebagai orang yang berhati sangat lembut, tidak ragu-ragu sedikit pun untuk memerangi pembangkang zakat. Begitu juga beliau tanpa ragu sedikit pun mengambil tindakan tegas terhadap nabi palsu Musailimah al-Kadzab.
Ketika delegasi sejumlah kabilah di sekitar Madinah datang kepada Abu Bakar r.a., dengan menyatakan, bahwa mereka akan menunaikan shalat tetapi tidak membayar zakat, maka Abu Bakar r.a. menjawab, “Demi Allah, orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, akan kuperangi.”
Para ulama Islam sepanjang sejarah juga terus-menerus berusaha memerangi korupsi agama ini.
Dalam bidang hadits, hal ini tampak sekali, bagaimana para ulama tanpa segan-segan mengungkapkan aib dan kelemahan para perawi hadits. Secara umum, umat Islam diperintahkan agar menjaga dan menutup aib saudaranya.
Tetapi, demi menjaga kemurnian hadits Nabi Muhammad saw, ada pengecualian untuk mengungkap kelemahan para rawi.
Bahkan, semua ulama bersepakat tentang wajibnya mengungkap sifat para perawi, sifat baik atau sifat buruk.
Karena itu, dalam kitab-kitab “Jarh wa Ta’dil” kita dapatkan penggambaran sifat-sifat buruk perawi-perawi tertentu, seperti “tukang fitnah”, “jorok”, “pendusta”, “orang ini tidak perlu didengar ucapannya,” dan sebagainya. Nama-nama perawi tertentu beserta sifat buruknya itu akan terus dibaca oleh umat Islam dari generasi ke generasi, meskipun para perawi itu sudah meninggal dunia.
Sikap yang tegas seperti itu dilakukan oleh Rasulullah saw, para sahabat, para ulama, sepanjang zaman, untuk melindungi agama Islam dari korupsi ilmu.
Tujuannya tidak lain agar konsep-konsep dasar agama ini tetap terpelihara dengan selamat. Sekali konsep-konsep dasar itu diubah, maka generasi berikutnya akan kehilangan jejak kebenaran dan keotentikan Islam.
Karena itu, menghadapi tantangan pemikiran yang hebat seperti sekarang ini, umat Islam – khususnya para cendekiawan dan ulamanya, perlu melakukan peningkatan kualitas pemikiran, sehingga mampu menjelaskan kepada masyarakat, mana pemikiran yang salah, dan mana yang benar; mana yang palsu dan mana yang asli; mana yang jujur dan mana yang korupsi. Wallahu a’lam. (Jakarta, 16 September 2005).
Catatan Akhir Pekan Adian Husaini adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com