Ketika akan bergabung dengan kubu Megawati-Hasyim Muzadi, Partai Damai Sejahtera (PDS) mengajukan sejumlah syarat, antara lain pencabutan SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 dan UU Sisdiknas. SKB 1/1969 ini berisi antara lain: setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Sedangkan UU Sistem Pendidikan Nasional berisi antara lain kewajiban sekolah untuk menyediakan guru agama sesuai dengan agama siswa.
Dengan dua juta suara pendukung, PDS secara tegas berusaha menyuarakan aspirasi kelompoknya. Tuntutan PDS itu diterima Megawati-Hasyim, sehingga para pendeta beramai-ramai mulai berkampanye unsuk suksesnya pasangan tersebut. Mengapa kelompok Kristen begitu alergi terhadap SKB 1/1969 tersebut? Mereka selalu beralasan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, itu adalah “bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Tap MPRS No XX/MPRS/1966, Hak Asasi Manusia untuk beribadah, menafikan kebebasan beribadah umat Kristen dan Katolik di Indonesia, serta menumbuhkan fanatisme sempit pada umat beragama lain.”
Tuntutan pencabutan SKB 1/1969 juga sempat muncul ke pemrukaaan, menyusul penyerbuan Komplek Kristen Doulos, tahun 1999, yang ketika itu dipimpin oleh Pendeta Ruyandi Hutasoit, presiden PDS.
Sejak lahirnya, SKB No 1 tahun 1969 sudah menjadi bulan-bulanan pihak Kristen, seperti halnya SK Menteri Agama No 70 tahun 1978 yang mengatur tentang Pedoman Penyiaran Agama. SK Menteri Agama No 70 itu misalnya menetapkan, bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan untuk (1) ditujukan terhadap orang-orang yang telah memeluk agama lain, (2) dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik memeluk sesuatu agama, (3) dilakukan dengan cara-cara penyebaran panflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah/ di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain, (4) dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apa pun.
Tentu saja SK Menteri Agama No 70/1978 itu ditolakc mentah-mentah oleh kalangan Kristen. Sebab bunyi SK Menteri Agama itu sejalan dengan klausul yang ditolak oleh kaum Kristen dalam Musyawarah Antar Golongan Agama pada 30 November 1967, yaitu “tidak menjadikan umat yang telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing”.
SKB No 01/BER/MDN-MAG/1969 itu adalah SKB tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya”. SKB No 1/1969 ditetapkan tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh Menteri Agama KH Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud.
Soal yang berkaitan dengan pembangunan gereja diatur dalam pasal 4 SKB tersebut.
(1) Setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari Kepala daerah atau Pejabat Pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu.
(2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan (a) pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi (c) kondisi dan keadaaan setempat.
(3) Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.
Gugatan keras terhadap SKB 1/1969 misalnya pernah datang dari JE Sahetapy, seorang tokoh PDIP. Tokoh Kristen yang juga pakar hukum dari Unair Surabaya ini mengaitkan maraknya aksi pembakaran dan perusakan gereja dengan keberadaan SKB No 1/1969. JE Sahetapy menulis soal ini, “… sejak tahun 1969 umat Kristiani telah diviktimisasi, antara lain, melalui SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, dan yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai surat instruksi dan surat radiogram, yang pada intinya, bagaimana mendiskreditkan dan memojokkan kehidupan beragama/bergereja umat Kristiani.”
SKB 1/1969 dikatakan Sahetapy telah memasung kebebasan HAM. Berdasarkan pasal 29 UUD 1945 dan penjelasannya, Sahetapy menyimpulkan, secara legalistik positivistik, maka tidak mungkin kebebasan beragama secara diskriminatif dipasung dengan suatu produk hukum yang tidak dikenal dan tidak berjiwa Pancasila dan serta tidak sesuai dengan Tap MPRS No XX Tahun 1966.
Pancasila tidak boleh dalam keadaan apa pun dan yang bagaimana pun mendiskriminasikan dan meminoritaskan agama manapun dengan cara terselubung dalam bentuk dan dengan sifat apa pun. Jadi, dengan kata lain, tegas Sahetapy, SKB Menag dan Mendagri Nomor 1 tahun 1969 adalah “van rechtswege nietig” atau “batal dengan sendirinya berdasarkan hukum”.
SKB Nomor 1 tahun 1969 juga disebut Sahetapy sebagai bentuk “penjajahan terselubung” yang bertentangan dengan makna “kemerdekaan” sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Dari uraian panjang lebar Sahetapy dapat disimpulkan betapa jengkelnya kaum Kristen dengan keberadaan SKB No 1 tahun 1969 tersebut. Bahkan, Sahetapy dengan tegas menyatakan, SKB itu dengan sendirinya batal hukum. Artinya, sesuai pandangan Sahetapy dan berbagai kelompok Kristen lainnya, SKB yang sudah berumur 30 tahun itu dianggap tidak ada oleh kaum Kristen di Indonesia. Apa artinya? Tidak lain, kecuali, kaum Kristen enggan menerima aturan-aturan yang “mengatur” soal pembangunan gereja.
Mereka mau jalan sendiri, tanpa aturan, dengan alasan kebebasan dan HAM. Mungkin, karena menganggap sepi SKB Nomor 1 tahun 1969 itulah, maka persoalan gereja di Indonesia tidak pernah tuntas. Sebab, pihak Kristen menganggap, untuk membangun gereja tidak perlu melalui prosedur izin sesuai SKB Nomor 1 tahun 1969. Sementara pemerintah dan kaum Muslim Indonesia menilai SKB itu adalah peraturan yang sah dan berlaku di negara hukum Indonesia.
Jika logika dan pendapat Sahetapy soal SKB Nomor 1 tahun 1969 tetap dipegang teguh oleh kaum Kristen Indonesia, sementara pihak Muslim dan pemerintah RI tetap berpegang teguh pada SKB Nomor 1 tahun 1969 itu, maka “sudah sewajarnya” jika konflik antara kaum Muslim dan kaum Kristen dalam soal gereja akan terus berlangsung dan tidak pernah berakhir.
Tuntutan pihak Kristen untuk mencabut SKB No 1/1969 dengan alasan HAM sangatlah tidak masuk akal. Di belahan mana pun di dunia ini, masalah pembangunan rumah ibadah pasti mendapat perhatian dan aturan serius. Kaum Muslim juga harus berjuang keras melalui berbagai persyaratan administrasi yang berat, ketika hendak mendirikan masjid di negara-negara Kristen Eropa. Tidak mungkin, dengan alasan HAM dan kebebasan, maka kaum Muslim bebas begitu saja mendirikan masjid.
Kaum Muslim di Roma, misalnya, harus berjuang puluhan tahun untuk dapat mendirikan sebuah masjid. Pada dekade 1930, kaum Muslim pernah meminta ijin kepada Mussolini untuk mendirikan Masjid, tetapi dijawab Mussolini: “No! When we can build a Roman Catholic church in Mecca, you can build a mosque in Roma.”
Permintaan Mussolini tentu mustahil dipenuhi kaum Muslim, sebab Kota Suci Mekkah memang hanya dikhususkan untuk dihuni oleh kaum Muslim.
Kini, jika SKB 1/1969 itu dicabut, kita bertanya kepada pihak Kristen, apakah mereka akan dengan seenaknya sendiri mendirikan gereja di mana-mana? Bukankah hal ini akan semakin memperkeruh situasi hubungan antar agama di Indonesia? Inikah yang diinginkan PDS dan kelompok-kelompok Kristen lain di Indonesia?
Kaum Muslim Indonesia telah terbukti memberikan sikap toleransi yang tinggi terhadap kehidupan keagamaan kaum Kristen. Ratusan, bahkan ribuan Gereja berdiri di mana-mana, dengan atau tanpa ijin.
Kadangkala, Gereja itu sengaja didirikan dengan sangat mencolok di tengah komunitas Muslim. Tengoklah, misalnya, sebuah Gereja yang amat sangat megah dan mewah yang dibangun di depan Komplek Kopassus AD, Cijantung. Di tengah penderitaan bangsa Indonesia, kelompok Kristen justru membangun sebuah Menara Doa Jakarta senilai Rp 2,5 trilyun. Itu semua didirikan ketika SKB 1/1969 masih berlaku. Bagaimana jika nanti SKB tersebut dicabut oleh pemerintahan Megawati-Hasyim Muzadi? Tentulah, perjanjian antara PDS dan Megawati-Hasyim Muzadi itu sangat disesalkan. Keputusan itu harusnya dipertimbangkan dengan seksama.
SKB No 1/1969 sebenarnya masih ideal. Itu bukan hanya berlaku untuk kaum Kristen, tetapi juga untuk kaum Muslim yang tinggal di daerah mayoritas Kristen seperti NTT, dan sebagainya. Aturan semacam ini sangat diperlukan untuk mencegah semakin memburuknya hubungan antar-agama, karena sikap agresif sebagian kaum Kristen dalam menyebarkan agamanya terhadap kaum Muslim di Indonesia. Kaum Kristen tidak dilarang membangun Gereja, tetapi perlu dicermati, apakah Gereja itu dibangun untuk keperluan ibadah mereka atau berfungsi sebagai pusat dan alat misi Kristen untuk memurtadkan kaum Muslim.
PDS adalah kelompok Kristen yang dipimpin oleh seorang pendeta misionaris fanatik Kristen. Ketika memimpin Doulos, Ruyandi Hutasoit mempunyai ambisi untuk meng-Kristenkan Indonesia. Tabloid Tekad No 8/Tahun II/20-26 Desember 1999, mengungkap misi Doulos World Mission, yaitu “Mengkristenkan 125 “suku terasing” di Indonesia, yang jumlahnya 160 juta jiwa. Tentu, maksudnya, adalah kaum Muslimin Indonesia.
Mereka mentargetkan, sebelum tahun 2000 usai, semua “suku terasing” itu harus mendengar Injil, karena mereka adalah suku yang terabaikan oleh Kristus.
Melalui Departemen Misinya, Doulos mengkader para penginjil militan yang dididik di Sekolah Tinggi Teologia mereka.
Soal fanatisme kelompok Dolulos/PDS ini adalah hak mereka. Yang perlu menjadi pelajaran bagi kaum Muslim ialah, betapa “percaya dirinya” kelompok kecil ini.
Ini bisa dibandingkan dengan sikap banyak tokoh dan politisi Muslim, yang mungkin karena ingin dicap sebagai “nasionalis”, “toleran”, dan sebagainya, mereka berlomba-lomba memasang calon legislatif atau pengurus partainya dari kalangan Kristen. Seolah-olah, dengan itu, mereka lalu mendapatkan dukungan dari kelompok Kristen, atau tidak dicap lagi sebagai kelompok Islam yang fanatik, dan sebagainya. PAN, PKB, PBB, tercatat sebagai partai-partai Islam atau partai berbasis Muslim yang memasang caleg-caleg non-Muslim. PKS juga mengangkat pengurus Kristen. Dalam buku “Penegakan Syariat Islam menurut Partai Keadilan” (2004:133-134), misalnya, tertulis: “… Dimana beberapa pengurus PK wilayah Irian Jaya, khususnya DPD Jayawijaya dari 30 nama pengurus DPD, hanya 9 orang yang beragama Islam. Selebihnya adalah penganut Kristen yang diwakili marga Hilapok dan Itlay yang beragama Kristen.”
Kita berprasangka baik terhadap saudara-saudara kita dari kalangan partai politik, bahwa mereka mempunyai pertimbangan sendiri dalam mengangkat pengurus atau calon legislatif dari kalangan Kristen. Kita sekedar membandingkan, sikap kalangan Kristen seperti PDS, yang memiliki pandangan dan sikap tersendiri dalam menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi keagamaan mereka.
Kita sungguh patut memberi acungan jempol kepada kalangan Kristen seperti PDS ini, yang begitu gigih memperjuangkan aspirasi Kristen. Mereka juga tidak berpikir, untuk meraih dukungan suara, maka diangkatlah pengurus atau calon anggota legislatifnya dari kaum Muslim, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Mereka tidak gentar, meskipun jumlahnya kecil. Dalam soal penegakan syariat Islam, sejak tahun 1945, dalam Sidang-sidang BPUPKI, sikap kelompok Kristen tidak pernah bergeser: “Tolak penerapan syariat Islam di Indonesia!”
Sekarang, di website majalah Kristen BAHANA, Juni 2004, terpampang sebuah judul tulisan: “KH Hasyim Muzadi: Syariat Islam Tidak Relevan Lagi.” Apakah yang terbayang di benak masyarakat, jika ada seorang Kyai membuat statemen seperti itu? Syariat Islam, yang hingga kini, masih tetap menjadi pegangan kaum Muslim, bahkan warga Nahdhiyin, dikatakan sudah tidak relevan lagi. Di kalangan NU, masih tetap ada forum “bahtsul Masail” yang merupakan forum kajian hukum Islam.
Artinya, NU sendiri tetap memandang, syariat Islam sebagai hal yang tetap relevan. Jika syariat Islam dikatakan sudah tidak relevan lagi, lalu dengan syariat apakah kaum Muslim melaksanakan aktivitas perkawinan, pemakaman, kelahiran bayi, berpakaian, dan sebagainya? Kita berharap, KH Hasyim Muzadi meralat ucapannya tersebut, atau semoga Majalah Kristen tersebut salah kutip. Sungguh merupakan fitnah dan bencana yang besar, jika seorang yang dipandang ulama, benar-benar membuat ucapan seperti itu.
Jika untuk urusan kepentingan politik, kaum Muslim diminta untuk melepaskan tuntutan pelaksanaan aqidah dan syariah Islam, maukah pihak Kristen diminta melepaskan kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yesus dan Bible? Tentu mereka tidak mau, meskipun dasar pijakan kepercayaan itu semakin banyak digugat oleh kalangan Kristen sendiri.
Apapun sikap PDS dan kelompok-kelompok Kristen lainnya, kaum Muslim perlu terus-menerus melakukan introspeksi, agar tidak terus-menerus dipecundangi.
Wallahu a’lam. (KL, 10 Juni 2004)