Oleh: Dr. Adian Husaini
RABU (29 Februari 2012) malam, di sebuah tempat di Jakarta, Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) menggelar acara tasyakkur telah memasuki usia ke-9 tahun. Acara berlangsung cukup semarak, dihadiri sejumlah ulama, tokoh, profesional, dan akademisi. Tampak hadir ketua MUI Pusat KH A. Cholil Ridwan, Ketua Umum Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB-PII) Sutrisno Bachir, Guru Besar IPB Prof. Dr. Rochmin Dahuri, Dirut Balai Pustaka Dr. Zaim Ukhrawi, dan sebagainya.
Sejumlah tamu khusus datang dari luar negeri dan dari beberapa daerah. Dari Malaysia, hadir Ketua Asosiasi Pengguna Muslim Malaysia Dato’ Makmur Osman, pakar Islamic Science Dr. Adia Setia, dan pakar pemikiran Islam Dr. Syamsuddin Arif. Dari Singapura, hadir seorang pilot Singapore Airline yang telah lama mengenal INSISTS. Dari Surabaya hadir dr. Abdul Ghofir Sp.PD dan seorang dokter spesialis lainnya.
Dari kalangan penerbit Islam, hadir Pemimpin Redaksi Harian Republika, Dirut Gema Insani Press (GIP) Umar Basyarahil dan Dirut Al-Kausar Tohir Bawazir. Ada juga seorang walikota dari Jakarta dan mantan walikota Jakarta Timur. Seorang tamu yang cukup mencolok adalah Fadlan Garamatan, dari Papua bersama kepala suku Asmat yang sudah menjadi muslim. Di akhir acara, sastrawan terkenal Taufik Ismail, membacakan lima buah puisinya yang sangat menarik dan menggugah semangat. Sebuah puisi Pak Taufik bercerita tentang kerancuan pola pikir pluralisme.
Walhasil, acara INSISTS malam itu memang cukup semarak. Mendikbud Muhammad Nuh yang berupaya untuk hadir dalam acara tersebut, akhirnya batal hadir karena ada janji pertemuan dengan sebuah lembaga internasional. Beliau hanya mengirimkan ucaan selamat Milad Insists ke-9.
Apa makna kehadiran INSISTS selama 9 tahun ini?
Bagi yang mengikuti perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, nama INSISTS mungkin sudah tidak asing lagi. INSISTS adalah sebuah lembaga nirlaba yang selama beberapa tahun belakangan ini gencar mempromosikan gagasan dan gerakan “membangun tradisi ilmu menuju Peradaban Islam”, melalui berbagai aktivitas workshop dan penerbitannya.
Mengapa tradisi ilmu? Sebab, memang tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Bangsa Yunani, Yahudi, bangsa-bangsa di Barat, Jepang, dan sebagainya, mengalami kebangkitan setelah berhasil menanamkan suatu Budaya Ilmu dalam kehidupan mereka. Tanpa kecuali, Peradaban Islam. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah memberikan teladan yang luar biasa dalam kebangkitan suatu peradaban. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi budaya ilmunya. Para sahabat Nabi dikenal sebagai orang-orang yang “haus ilmu”.
Bukan hanya itu, budaya ilmu yang dibangun oleh Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu ”generasi sahaby” yang oleh Nabi disebut sebagai ”khairun nâs, qarniy”. Prestasi Nabi Muhammad dalam mewujudkan manusia-manusia unggulan ini belum mampu dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah berhasil mengubah ”masyarakat ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan tradisi tulis. Salah satu kebijakan spektakuler Nabi saat itu adalah membebaskan tawanan perang yang bisa mengajar dan menulis dan membangun negara berdasarkan sebuah konstitusi tertulis. Bahkan, Piagam Madinah dikenal sebagai konstitusi negara tertulis di dunia.
Tradisi ilmu yang ditanamkan oleh Rasulullah saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler” hanya dalam tempo beberapa tahun saja; mengubah dari masyarakat yang hidup dalam permusuhan dan kebencian menjadi masyarakat berdasar cinta kasih dan saling koreksi dalam kebenaran dan kesabaran (tawashau bil-haqqi wa-tawashau bil-shabri).
Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Islam mengajarkan umatnya untuk menaklukkan dunia, tetapi bukan ”gila dunia” (hubbud-dunya). Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah.
Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu – yang meninggalkan dunia dan menyiksa diri untuk mendekati Tuhan mereka — Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah juga memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.”
Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, ”Budaya Ilmu” dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang telah membuang agama dan menyingkirkan Tuhan dalam kehidupan mereka. Dalam budaya keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu ’anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan Qadhi negara.
Karena itu, budaya ilmu yang dibangun Islam tidaklah sama dengan tradisi ilmu yang dibangun dalam peradaban Barat sekular. Menurut Prof. Naquib al-Attas, pendiri International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), justru konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia saat ini. Karena itu, saat menjadi Keynote Speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul ”The Dewesternization of Knowledge.” Dan langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah “Islamisasi Ilmu.”
Untuk membangun peradaban Islam, menurut al-Attas, mau tidak mau harus dilakukan melalui proses pendidikan, yang disebutnya sebagai “ta’dib”. Tujuan utamanya, membentuk manusia yang beradab, manusia yang mempunyai adab. Adab adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya.
Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah SWT dan ‘meletakkan’-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan. Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuklah satu peradaban yang dalam bahasa Melayu disebut ‘tamadun’, yang berbasiskan pada ‘ad-din’. Madinah adalah kota dimana ”ad-Din” diaplikasikan.
Seorang dapat menjadi manusia beradab jika memiliki ilmu (knowledge) yang benar. Karena itulah, suatu pendidikan pasti akan gagal mewujudkan tujuannya jika dibangun diatas konsep ilmu yang salah: yakni ilmu yang tidak mengantarkan seseorang kepada ketaqwaan dan kebahagiaan. Untuk itulah INSISTS berusaha turut andil dalam sebuah proses pembangunan peradaban Islam, dengan memulai menghidupkan budaya ilmu Islam dalam masyarakat Muslim di Indonesia.
Peradaban Islam mencakup aspek politik, ekonomi, budaya, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Seluruh sistem dalam peradaban Islam berdiri di atas landasan pemikiran Islam. Oleh sebab itu, Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) di Madinah bukan sekedar membangun sebuah negara, tetapi membangun sebuah peradaban. Yang dibangun adalah sebuah masyarakat dan negara yang beradab. Rasulullah SAW bukan sekedar merebut kekuasaan dari tangan kabilah-kabilah terkemukadi Yatsrib (Madinah). Tetapi, Rasulullah SAW berhasil membangun sebuah peradaban yang sangat tinggi, dimana segala sesuatu diletakkan pada tempatnya sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Apa yang dilakukan Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) sangat berbeda dengan cara Jengis Khan dalam membangun imperiumnya. Jengis Khan tidak membangun peradaban berbasis ilmu, tetapi membangun kekuasaan dengan tangan besi. Kader-kader Rasulullah SAW di Madinah adalah manusia-manusia terbaik di zamannya, yang kuat secara akal, fisik, dan akhlak sekaligus. Bisa saja suatu kekuasaan direbut secara politik, tetapi kekuasaan seperti ini tidak bertahan lama. Ia akan terserap ke dalam peradaban yang lebih agung, meskipun ia kuat secara militer. Itulah yang terjadi pada pasukanMongol yang menaklukkan Baghdad di zaman Islam. Secara ilmu pengetahuan, Islam jauh lebih unggul, tetapi lemah secara akhlak dan fisik. Namun, perlahan-lahan bangsa Mongol terserap ke dalam peradaban Islam.
Ini pula yang pernah terjadi dalam Perang Salib pada tahap-tahap awal. Meskipun secara ilmu pengetahuan duniawi kaum Muslim jauh lebih unggul, tetapi bangsa Barat berhasil menaklukkan kaum Muslim yang sedang mengalami kelemahan akhlak dan militer. Penyakit cinta dunia (hubbud-dunya) merajalela; perpecahan umat melanda, dan amar ma’ruf nahi munkar tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Aspek politik sangat penting dalam membangun sebuah peradaban. Tetapi politik bukan satu-satunya aspek. Kekuasaan politik bukan segala-galanya. Ada kalanya ada yang berlebihan dalam memandang aspek politik, sehingga menganggap, Islam tidak ada tanpa adanya suatu sistem politik Islam. Itu jelas keliru. Islam sudah ada sebelum Daulah Madinah berdiri; dan Islam tetap ada meskipun tidak ada satu pun pemerintahan yang layak dikategorikan sebagai sistem politik Islam yang sempurna. Bahkan, saat ini peradaban Islam masih tetap eksis, meskipun berada dalam kondisi yang lemah dalam berbagai aspeknya.
Jadi, tidak perlu dipertentangkan antara aspek politik dan peradaban. Sebab, politik Islam adalah bagian dari peradaban Islam. Tetapi, politik tidak akan banyak berarti jika dibangun oleh orang-orang yang tidak beradab yang tidak memiliki keilmuan yang benar. Rasulullah SAW berhasil menyiapkan kader-kader yang luar biasa yang sangat siap membangun sebuah peradaban saat mereka memegang tampuk kekuasaan. Jadi, bagaimana pun, budaya ilmu yang benar adalah tegaknya sebuah peradaban. Tanpa ilmu yang benar, penguasa tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan benar. Tanpa ilmu yang benar, para ekonom akan keliru melihat harta, karena menyangka penguasaan terhadap harta adalah tujuan utama. Karena itu, sekali lagi, ilmu yang benar adalah dasar untuk membangun sebuah peradaban Islam.
Sejarah dan Kiprah INSISTS
Sejarah INSISTS bermula sembilan tahun lalu, Muharram 1424 H (tahun 2003), di Desa Segambut, Kuala Lumpur, Malaysia. Sejarah berawal dari diskusi-diskusi kecil para mahasiswa ISTAC asal Indonesia dan sejumlah dosen di sana. Hampir setiap hari, kami berdiskusi tentang masalah-masalah pemikiran Islam. Dari diskusi-diskusi yang intensif dan bermakna itulah, kemudian muncul dorongan untuk mulai menyebarkan produk-produk pemikiran-pemikiran itu ke Tanah Air, Indonesia.
Ingat semboyan: berpikir besar, berbuatlah dari yang kecil! Sebagai mahasiswa yang hidupnya serba pas-pasan kami mulai meluncurkan buletin INSISTS. Buletin dicetak hanya sekitar 150 eksemplar, dengan tebal 10 halaman. Uangnya urunan. Edisi perdana (Maret 2003/Muharram 1424 H) menurunkan tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi berjudul ”Cengkeraman Barat dalam Pemikiran Islam”. Buletin ini kemudian diedarkan ke Indonesia. Infaq: Rp 2000. Edisi kedua (April 2003/Shafar 1424 H) menurunkan tulisan Syamsuddin Arif berjudul ”Jejak Kristen dalam Islamic Studies”. Sementara itu, diskusi dua mingguan untuk para mahasiswa di Kuala Lumpur, jalan terus. Yang presentasi makalah, bergantian.
Mulai tahun 2004, INSISTS menerbitkan majalah ISLAMIA. Naskah dan keredaksian disuplai oleh INSISTS. Seluruh redaksi bekerja secara sukarela. Urusan penerbitan dan pemasaran diserahkan kepada ahlinya. ISLAMIA sebenarnya sebuah jurnal ilmiah dalam bidang pemikiran Islam, yang diterbitkan dalam format majalah, untuk memudahkan pemasaran. Edisi pertama ISLAMIA langsung menggebrak dunia pemikiran Islam di Indonesia dengan mengangkat tema ”Tafsir versus Hermeneutika”. Melalui majalah ini, INSISTS mengeluarkan sikapnya yang jelas dan tegas: menolak penggunaan metode hermeneutika untuk penafsiran al-Quran. Pemikiran INSISTS ini kemudian menjadi arus baru dalam studi dan pemikiran Islam di Indonesia.
Kajian tentang hermeneutika di ISTAC sudah dilakukan sangat intensif. Sejumlah profesor didatangkan dari berbagai negara untuk mengajar soal hermeneutika dan tafsir. Prof. Al-Attas adalah ilmuwan Muslim kontemporer yang secara tegas membedakan antara Tafsir dan hermeneutika. Menurut al-Attas, Ilmu Tafsir tidak bisa digantikan dengan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Ironisnya, kini hermeneutika sudah dijadikan sebagai mata kuliah wajib di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Sejak didirikan, INSISTS telah melaksanakan ratusan kali seminar, workshop, pelatihan, dalam bidang pemikiran Islam, untuk para dosen, mahasiswa, pimpinan pesantren, kalangan profesional, dan sebagainya. Ribuan orang telah mengikuti workshop-workshop INSISTS di berbagai belahan dunia (Indonesia, Malaysia, Mesir, Saudi, Inggris). Kini, INSISTS masih menjalin kerjasama dengan sejumlah universitas untuk program pelatihan pemikiran Islam bagi para dosen dan mahasiswa. Pada bulan Maret 2007, INSISTS bekerjasama dengan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), memberikan pelatihan tentang pemikiran dan peradaban Islam selama satu tahun kepada para pimpinan Kampus dan dosen-dosennya.
Para peneliti INSISTS juga mengembangkan mata kuliah dan kursus-kursus Islamic Worldview di tengah umat Islam. Mata kuliah Islamic Worldview telah diajarkan di sejumlah program pasca sarjana studi Islam. Kini mata kuliah ini diajarkan di Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Islam az-Zahra, Pasca Sarjana Institut Studi Islam Darussalam Gontor, dan sebagainya.
Kursus dan kuliah ini sangat penting dalam memberikan wawasan mendasar tentang konsep-konsep pokok dalam Islam, sehingga seorang Muslim tidak mudah terjebak dan terombang-ambing dalam menghadapi serbuan paham-paham modern, seperti sekularisme, liberalisme, relativisme, pluralisme, multikulturalisme, kesetaraan gender, dan sebagainya.
Sebuah tahapan baru dalam pengembangan pemikiran Islam di Indonesia terjadi tahun 2009. Saat itu, INSISTS menandatangani kerjasama dengan Harian Umum Republika untuk menerbitkan Jurnal Pemikiran Islam – Islamia – versi koran, sebanyak 4 halaman setiap bulan. Jurnal Islamia-Republika ini telah terbit selama 3 tahun dan – Alhamdulillah – berdasarkan survei Litbang Harian Republika, Jurnal ini merupakan rubrik non-berita yang paling diminati pembaca Republika. Melalui kerjasama ini, INSISTS berkewajiban menulis artikel-artikel sebanyak 4 halaman setiap bulan, tanpa membayar atau pun dibayar. Peluang dan prestasi ini sangat patut disyukuri, sebab sandaikan INSISTS harus membayar untuk pemuatan Jurnal Pemkiran Islam ini, tentu dibutuhkan dana milyaran rupiah.
Selain itu, sejak 31 Mei 2005, INSISTS juga telah meluncurkan situs pemikiran Islam: www.insistnet.com. Saat ini, situs INSISTS juga memiliki rekor kunjungan yang cukup tinggi, untuk sebuah situs pemikiran Islam. Selama periode Maret 2011 sampai dengan Februari 2012, situs INSISTS telah dikunjungi 460.137 pengunjung, dengan hits 8.519.088. Ini menunjukkan, para pengunjung situs INSISTS peduli dan serius melayari situs INSISTS tersebut. InsyaAllah dengan berbagai perbaikan, pengunjung situs ini akan semakin bertambah.
Usia sembilan tahun tentu masih sangat dini untuk sebuah cita-cita besar: membangun peradaban berbasiskan budaya ilmu. Desember 2011 lalu, bertempat di Pacet, Jawa Timur, INSISTS melakukan koordinasi dan evaluasi bersama seluruh jaringan komunitas ”INSISTS-nerwork” di Indonesia. Hasilnya, INSISTS melakukan perombakan manajemen dan meneguhkan dirinya sebagai sebuah lembaga dakwah berbasis riset. Sejumlah kader-kader profesional melakukan penataan manajerial yang signifikan.
Walhasil sebagai salah satu pendiri INSISTS, saya bersama-sama para pengurus dan peneliti INSISTS memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT serta memohon doa, semoga Allah SWT senantiasa membimbing dan meridhoi perjuangan kita, bersama-sama dengan seluruh komponen umat lainnya. Tantangan dakwah umat terlalu besar untuk dipikul hanya oleh satu atau dua lembaga dakwah.*/Depok, 2 Maret 2012
Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com