Oleh: Dr. Adian Husaini
MULAI tahun 2015 ini, bersama sejumlah calon doktor pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, kami menyelenggarakan suatu pendidikan pesantren tingkat SMP, yang kami beri nama Pesantren Shoul Līn. Pesantren ini bernaung di bawah Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) at-Taqwa Depok, yang selama ini sudah menyelenggarakan pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
Pesantren Shoul Līn hanyalah satu usaha kecil untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak kami sendiri yang mulai memasuki usia sekitar 12 atau 13 tahun. Tidak ada lahan atau sarana gedung yang kami miliki. Bermodal konsep pendidikan yang kami yakini dan guru-guru yang mencintai pendidikan, kami menyewa sebuah gedung kecil berlantai tiga di kawasan Depok. Santri-santri awal kali ini adalah para anak-anak kami sendiri. Begitu juga guru-gurunya.
Nama “Shaolin” selama ini dikenal sebagai nama satu perguruan silat terkenal di China. Semula, nama itu kami ambil dengan menambahkan kata al-Islami, dengan harapan, para santri di pesantren ini memiliki tingkat ketrampilan dan kedisiplinan yang tinggi dalam olah jiwa dan olah raga, sehingga mereka menjadi manusia-manusia yang bermanfaat bagi diri dan sesama, sesuai dengan kadar dan potensi yang dikaruniakan Allah Subhanahu Wata’ala.
“Disiplin” adalah kata kunci bagi suatu keberhasilan. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam konferensi internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah, tahun 1977, sudah mengemukakan satu teori penting, bahwa akar masalah yang paling mendasar dari umat Islam saat ini adalah “loss of adab” atau hilang adab. Prof. Naquib al-Attas adalah ilmuwan Muslim kontemporer yang dikenal sebagai perumus konsep adab dan ta’dib di dunia Islam. Dalam pengantarnya untuk buku Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), al-Attas menjelaskan, bahwa yang ia maksud sebagai “loss of adab” adalah: “lost of discipline – the discipline of body, mind, and soul.”
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Dalam beberapa hadits Nabi Shallallahu ’Alaihi Wassallam, disebutkan, bahwa tanggung jawab utama orang tua pada anak-anaknya adalah menanamkan adab dalam diri mereka.
Ibnu Abbas r.a. menjelaskan makna perintah Allah, agar kita menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka, adalah bahwa kita harus mendidik keluarga kita dengan adab dan ilmu: (addibuuhum wa-’allimuuhum). Karena itu, pendidikan adab haruslah dimulai dari keluarga. Dan itu sepatutnya dimulai dari pendidikan orang tua, agar memahami masalah adab dan mampu menanamkan adab pada diri dan keluarganya.
Sebelum anaknya dididik orang atau lembaga pendidikan lain, orang tua-lah yang wajib mencari ilmu tentang adab itu. Jangan sampai di akhirat nanti, orang tua menyesal, karena digugat anak-anaknya, yang selama di dunia tidak pernah dididik adab, sehingga menjadi orang-orang tidak beradab. Di Pesantren Shoul Lin, para santri dikembalikan kepada orang tuanya pada hari Sabtu dan Ahad, agar mereka juga berbagi tanggung jawab dalam mendidik adab dan ilmu pada anak-anaknya.
Lompatan halus
Sebenarnya, kata “Shoul Līn” dalam bahasa Arab memiliki makna “lompatan yang halus”. Dengan nama itu diharapkan, guru dan santri Pesantren Shoul Līn dapat bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan berbagai ibadah, sehingga seperti layaknya “melompat”, bukan sekedar berjalan atau berlari kecil. Dalam sebuah hadits Qudsy disebutkan, bahwa Allah akan mendekat kepada hamba-Nya, lebih cepat dari proses pendekatan seorang manusia kepada Sang Khaliq.
Lompatan halus menuju kepada al-Khaliq inilah yang sepatutnya menjadi program pendidikan kita. Itulah makna kemajuan dalam Islam. “Maju” adalah kondisi yang semakin dekat dengan Allah. Jika hidup kita dari kehari tidak bergerak menuju kedekatan dengan Allah, itu artinya kita tidak maju. Maka, rugilah kita, jika umur kita bertambah, tapi ilmu dan amal ibadah kita tidak bertambah, sehingga kita tidak semakin dekat dengan Allah Subhanahu Wata’ala. Lebih rugi lagi, jika umur dan ilmu bertambah, tetapi semakin jauh dari Allah. Itulah kondisi ilmu yang tidak bermanfaat.
Maka, filosofi pendidikan di Pesantren “Shoul Lin”, adalah bagaimana guru dan santri berusaha bersamaa-sama mendidik diri mereka, agar semakin dekat dengan Allah Subhanahu Wata’ala. Tugas guru bukan hanya mengajarkan aqidah Islam, tetapi menanamkan dalam diri dan santrinya agar memiliki aqidah yang kokoh. Guru bukan hanya mengajarkan tata cara shalat yang benar, tetapi mencontohkan bagaimana shalat yang benar, agar santrinya mencintai shalat. Guru aqidah sebaiknya hadir bersama santri-santrinya saat shalat tahajjud, lalu menanamkan aqidah pada saat yang tepat. Tentu, ini tidak mudah. Itulah makna mujahadah, berjuang keras meraih kebaikan.
Jadi, manusia yang maju adalah manusia yang semakin bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Begitu juga, yang dikatakan sebagai “negara maju” adalah negara taqwa, sebagaimana dijelaskan dalam QS al-A’raf:96. Konsep manusia dan negara maju dalam Islam ini penting dipahami sebab saat ini, anak-anak kita dicekoki dengan gagasan konsep kemajuan yang sekuler dan materialistis. Bahwa, manusia yang maju adalah yang berhasil meraih jabatan tinggi dan penghasilan yang melimpah secara materi. Tidak dilihat, apakah keimanan dan akhlaknya baik atau bejat. negara maju adalah negara yang pendapatan perkapitanya tinggi, tanpa dinilai, apakah negara itu mempedulikan masalah akhlak atau tidak.
Hingga kini, kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kita masih didominasi konsep kemajuan sekuler dan materialis seperti itu, yang bertentangan dengan konsep kemajuan dalam Islam. Islam sangat menekankan pentingnya kemajuan pada tataran jiwa dengan orientasi utama kehidupan akhirat. Tetapi, Islam juga tidak menafikan pentingnya kesejahtaraan materi, sebagai sarana untuk ibadah dan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kita berharap, keluarga dan lembaga-lembaga pendidikan kita dapat menjalankan fungsinya dengan benar, untuk menempa jiwa kita semua, sehingga menapaki tangga-tangga kebahagiaan yang hakiki. Untuk itu, lembaga pendidikan kita perlu berpijak di atas dasar konsep ilmu yang benar. Pesantren Shoul Līn menekankan perlunya pendidikan berbasis adab dengan memadukan secara proporsional ilmu-ilmu yang fardhu ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Juga, sangat ditekankan, agar santrinya mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Mereka harus memahami dan mau mengamalkan adab dalam mencari ilmu. Juga, bagian dari adab, adalah keseimbangan antara pengembangan jiwa dan raga.
Dalam al-Quran dikisahkan bahwa Luqman al-Hakim mengajarkan kepada anaknya agar mampu menegakkan shalat dan melaksanakan amar makruf nahi munkar (QS 31:17). Maka, kewajiban orang tua dan guru adalah mendidik agar anak-anaknya menegakkan shalat dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Jadi, sedini mungkin, anak-anak disiapkan agar mereka peduli dan berani dalam menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran. Usaha menegakkan amar makruf nahi munkar biasanya menghadapi tantangan yang berat. Apalagi, jika kemunkaran itu dilakukan oleh pihak yang berkuasa, dalam berbagai bidang. Sampai-sampai, Rasulullah saw menyampaikan, bahwa jihad yang utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran kepada penguasa yang zalim.
Karena itulah, di Pesantren Shoul Līn, santri ditekankan untuk memiliki kemampuan bela diri yang tinggi, disamping memiliki wawasan yang memadai tentang tantangan pemikiran-pemikiran kontemporer. Setiap hari, santri diwajibkan berlatih bela diri, shalat tahajjud, shalat berjamaah, menerapkan adab makan,tidur, adab belajar, dan adab-adab harian lainnya.
Sebagai aplikasi konsep adab dalam berbahasa, misalnya, santri Shoul Līn diwajibkan menguasai bahasa Arab dengan baik, sebelum menguasai bahasa asing. Sebab, bahasa Arab adalah bahasa yang dipilih oleh Allah sebagai bahasa wahyu terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wassallam. Sebagai orang Indonesia, santri wajib diberikan kemampuan berkomunikasi dengan baik, lisan maupun tulisan. Bahasa Inggris juga ditekankan untuk dikuasai, karena saat ini, selain sebagai bahasa pergaulan internasional, bahasa Inggris telah dipakai juga sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Dengan konsep asrama dan ditemani selama 24 jam oleh pengasuh yang mampu berbahasa Arab dengan baik, insyaAllah dalam waktu sesingkat-singkatnya para santri sudah mampu berbahasa Arab, secara lisan maupun membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Dengan kurikulum yang sederhana dan komprehensif, insyaAllah para santri tidak terbebani dengan aneka rupa pelajaran yang tidak terlalu penting untuk diajarkan.
Pesantren Shoul Līn mengambil jalur pendidikan non-formal setingkat SMP dimana santri akan mengambil jalur Ujian Nasional Paket-B untuk bisa melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selama ini, YLPI at-Taqwa sudah bekerjasama dengan PKBM Bina Insan Mandiri (Sekolah Masjid Terminal/Master Depok) dalam penyelenggaraan ujian paket.
Kami bersyukur bahwa mudir (direktur) Pesantren Shoul Līn adalah seorang yang memahami dan mencintai pendidikan dalam Islam, yaitu Muhammad Ardiansyah. Kandidat doktor pendidikan Islam UIKA ini juga mengajar sejumlah kitab kepada berbagai jamaah pengajian. Selain berpengalaman sebagai guru di sekolah internasional selama bertahun-tahun, ia yang juga penulis buku berjudul 10 Logika Liberal dan Jawabannya.
Pesantren Shoul Līn adalah upaya kecil untuk menerapkan model pendidikan ideal dalam Islam (ta’dib), dengan tujuan membentuk anak-anak yang memiliki adab yang baik, sesuai amanah Rasulullah saw, “Akrimuu aulaadakum wa-ahsinuu adabahum.” Kita diperintahkan untuk memuliakan anak-anak kita dan menjadikan mereka memiliki adab yang baik.
Kita bersyukur pula, UU Pendidikan Nasional kita memberikan peluang kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dengan bentuk non-formal, sehingga memungkinkan berbagai kreativitas sistem pendidikan dikembangkan. Tentu saja, masing-masing kita, sebagai orang tua, diwajibkan mengenali potensi anak-anak kita sendiri, sehingga bisa dikembangkan potensi mereka semaksimal mungkin, sesuai konsep ilmu dalam Islam. Pendidikan bukan hanya ditujukan untuk anak-anak pintar saja. Semakin tinggi potensi kecerdasamn seseorang, maka sepatutnya ia belajar ilmu lebih banyak daripada anak-anak yang potensi kecerdasan berada di bawahnya.
Pendidikan yang baik adalah yang menghasilkan manusia-manusia yang baik, yang bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya. Adalah sebuah kezaliman jika kurikulum untuk orang pintar dipaksakan kepada orang yang tidak pintar. Kurikulum disusun secara khusus, sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Yang penting, mereka menjadi manusia yang berguna.
Manusia, kata Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wassallam, adalah laksana barang tambang, seperti emas dan perak. Masing-masing potensi wajib dikembangkan, sehingga secara optimal ia menjadi manusia yang berguna. Semoga kita semua diberikan hikmah oleh Allah SWT, sehingga kita mampu mendidik anak-anak kita dengan sebaik-baiknya, sebagai pemenuhan kewajiban kita menjalankan amanah dari Allah Subhanahu Wata’ala. Amin.*
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com