Oleh: Dr. Adian Husaini
PADA Hari Jumat (26/5/2017), saya berkesempatan menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia. Diantara para jamaah yang hadir, ada Gubernur BI dan sejumlah anggota direksi BI. Hari itu bertepatan dengan tanggal 29 Sya’ban 1438 H, yang merupakan hari terakhir bulan Sya’ban. Esoknya, 27 Mei 2017, Indonesia sudah memasuki 1 Ramadhan 1438 H.
Seperti biasa, menjelang masuknya bulan Ramadhan, banyak ajakan yang diberikan kepada umat Islam untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya, agar meraih hasil ibadah Ramadhan yang optimal, yakni “menjadi manusia taqwa” (la’allakum tattaqūn). Jadi, ‘taqwa’ adalah status ideal seorang manusia. Sebab, memang, orang yang paling mulia adalah orang yang bertaqwa. (QS 49: 13).
Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa.” (QS 3:102). “Maka, bertaqwalah kepada Allah semampu kamu.” (QS 64:16). “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.” (QS 33:70). “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dan memberikan rizki dari arah yang tidak dia perhitungkan.” (QS 65:2-3).
Meraih derajat taqwa perlu usaha, termasuk berdoa. Rasulullah saw mengajarkan doa, agar kita menjadi orang taqwa: “Allahumma inni as-aluka al-huda, wat-tuqa, wal-‘afafa, wal-ghina.” (Ya, Allah aku memohon kepadamu akan petunjuk, ketaqwaan, kesucian dan kemuliaan diri, serta perasaan cukup). (HR Muslim).
Patut disyukuri, Indonesia adalah satu negara yang juga mengidolakan manusia taqwa. Pasal 31 ayat (c) UUD 1945 menyebutkan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003, tentang Ssistem Pendidikan Nasional, sangatlah jelas: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan, bahwa Pendidikan Tinggi bertujuan untuk mengembangkan potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa, dan seterusnya.
Jadi, dalam tataran konstitusi dan perundang-undangan, ada konsensus nasional yang menempatkan “manusia taqwa” sebagai sosok manusia Indonesia ideal. Logisnya, kemudian pemerintah merumuskan dan menjabarkan konsep “manusia taqwa” itu lebih terperinci dan operasional. Indah sekali jika kemudian pemerintah menetapkan: tujuan, kurikulum, program, dan evaluasi pendidikan ketaqwaan. Begitu juga dalam program pembangunan nasional, dibuat indikator-indikator untuk menentukan apakah sasaran-sasaran pembangunan ketaqwaan itu mencapai hasil yang baik atau tidak.
Tahun 2045
Tahun 2045, Indonesia akan memasuki usia kemerdekaan 100 tahun. Para elite bangsa Indonesia seyogyanya sudah punya rumusan yang jelas, bagaimana mewujudkan Indonesia menjadi bangsa yang mulia di tahun 2045. Bangsa yang mulia adalah bangsa yang bertaqwa; bangsa yang menang; bangsa yang kuat, hebat, dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Sebab, itulah janji Allah Subhanahu Wata’ala: “Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf: 96).
Jadi, ada dua pilihan bagi bangsa Indonesia, mendapat kucuran berkah dari Allah Subhanahu Wata’ala, karena beriman dan bertaqwa, atau mendapatkan azab dari Allah Subhanahu Wata’ala karena mendustakan ayat-ayat-Nya. Itulah tujuan utama ibadah di bulan Ramadhan, yakni menjadi manusia yang bertaqwa. Jika ketaqwaan itu diraih oleh para pemimpin bangsa, maka tentu dampaknya sangat besar untuk rakyat dan bangsa. Para pemimpin taqwa itu akan menjadi pemimpin yang adil, yang mencintai dan dicintai Allah.
Jika ingin mendapatkan berkah dari Allah Subhanahu Wata’ala, sepatutnyalah manusia mau mengikuti petunjuk dan bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam rangka mewujudkan terbentuknya negara ideal – yakni negara taqwa — pada 2045, maka para pemimpin muslim perlu merumuskan kriteria negara taqwa itu seperti apa. Setelah itu, disusun kurikulum dan program kerja untuk menuju kepada negara ideal tersebut.
Baca: Kurikulum Kehidupan
Semua itu diperlukan, sebab untuk meraih segala bentuk kesuksesan, apalagi menjadi manusia mulia – yakni manusia taqwa — dan mewujudkan negara taqwa tentu saja memerlukan perjuangan berat dan hebat. Jalan menuju ke sana mendaki dan tajam. Tetapi, waktu terus berjalan. Tidak ada pilihan, kecuali mendaki jalan yang terjal itu. Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam Kitab Minhajul Abidin:
“Pendeknya siapa yang sigap, dialah yang beruntung. Bahagia selama-lamanya dan sekekal-kekalnya. Tetapi siapa yang terlewat, maka rugi dan celakalah dia. Kalau begitu, Demi Allah, perkara ini sulit dan bahayanya besar. Karena itu makin jarang saja yang memilih jalan ini. Di antara yang telah memilihnya pun jarang sekali yang benar-benar menempuhnya. Dan diantara yang menempuhnya juga makin jarang pula yang sampai kepada tujuannya serta berhasil mencapai apa yang dikejarnya. Mereka yang berhasil itulah yang merupakan orang-orang yang dipilih Allah ‘Azza wa Jalla untuk ma’rifat dan mahabbah kepada-Nya. Diberi-Nya taufiq dan peliharaan terhadap mereka. Dan disampaikan-Nya dengan penuh karunia kepada keridhaan dan sorga-Nya. Kita mohon semoga Allah Subhanahu Wata’ala memasukkan kita ke dalam golongan yang beruntung memperoleh rahmat-Nya.” (Lihat, Imam al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, terjemah KH Abdullah bin Nuh, (Bogor: Yayasan Islamic Center al-Ghazaly, 2010). * klik>> (bersambung)