Mana yang lebih tepat, pendidikan agama Islam berbasis multikulturalisme atau pendidikan agama Islam berbasis Tauhid, mau dibawa kemana pendidikan agama kita?
Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | SUATU saat datang kepada saya seorang mahasiswa dari Jawa Timur. Katanya, ia sedang menulis skripsi tentang multikulturalisme. Si mahasiswa ingin mewawancarai saya tentang multikulturalisme dan pandangan saya multikulturalisme.
Saya bertanya balik kepada si mahasiswa, apa makna multikulturalisme menurut Anda? Ternyata, ia tidak siap dengan jawaban. Ia balik bertanya lagi, apa pendapat saya dan saya jawab, “Saya tidak akan menilai suatu paham, sebelum jelas, apa makna paham itu. Akhirnya, wawancara pun batal!”
Memang, “multikulturalisme” adalah salah satu “istilah baru” yang banyak digunakan dalam wacana keagamaan saat ini. Sayangnya, jika ditelaah, makna istilah ini pun kabur dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam.
Misalnya, pernah terbit sebuah buku berjudul Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (2011). Buku ini diberi kata ‘Pengantar Ahli’ oleh seorang guru besar Pendidikan Islam. Sang guru besar menulis, bahwa saat ini sudah “mendesak sekali “membumikan” pendidikan Islam berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.” (hlm. xiv).
Buku bertema Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme semacam ini kini memang bermunculan. Tahun 2010, juga terbit buku berjudul: “Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK” (Penerbit: Kemenag, AGPAII, Yayasan Rahima, Tifa Foundation, 2010).
Saya pernah diundang untuk membahas buku ini dalam satu seminar bertema: “Kegiatan Multikultur, Penguatan Nilai-Nilai Kebangsaan, Pembelajaran PAI Berbasis Fitrah, dan Pemberdayaan Manajemen MGMP”.
Kasihan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) kita. Entah kenapa, tiba-tiba PAI seperti menjadi tertuduh, sebagai biang keladi, munculnya intoleransi beragama, sehingga harus mengambil paradigma baru “pluralisme” dan “multikulturalisme”.
Penggunaan istilah “multikulturalisme sebagai paradigma baru Pendidikan Islam” itu pun sudah bermasalah. Jika multikulturalisme adalah konsep yang baik sejak dulu, kenapa baru sekarang dijadikan paradigma bagi Pendidikan Agama Islam?
Apakah Pendidikan Agama Islam sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ tidak berbasis multikulturalisme? Selama ratusan tahun pesantren telah berdiri di Indonesia. Apakah mereka tidak berwawasan multikultural?
Mana yang lebih tepat: “Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme” atau “Pendidikan Agama Islam berbasis Tauhid”?
*****
Jika ditelaah dengan cermat, konsep Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme – yang ditawarkan berbagai pihak – masih sangat rancu. Buku yang berjudul “Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia” pun akhirnya terjebak pada konsep liberalisme.
Disebutkan, misalnya, bahwa diskursus pluralisme agama di Indonesia telah berkembang pesat. “Salah satu pertandanya adalah terbit buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (2004).” (hlm. 124).
Inilah keanehan buku tersebut. Sebab, buku Fiqih Lintas Agama itu berisikan pemikiran-pemikiran ekstrim liberalisme. Buku ini secara jelas mempromosikan pernikahan beda agama dan membongkar hukum Islam yang mengharamkan pernikahan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
Ditulis dalam buku Fiqih Lintas Agama:
“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), hlm. 164).
Bahkan, buku ini secara terang-terangan melecehkan Imam Syafii rahimahullah:
“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad.’’ (Ibid., hlm. 5).
Jika Imam Syafii yang agung dan sangat diakui keilmuannya oleh para ulama Islam sedunia dilecehkan dan direndahkan martabatnya semacam itu, tentu kita patut bertanya, sehebat apakah manusia-manusia yang mengagungkan konsep pluralisme dan multikulturalisme ini – yang akan dijadikan sebagai paradigma baru PAI kita?
Ada lagi sebuah buku berjudul, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, karya seorang dosen di universitas Islam di Solo. Buku ini juga diberi pengantar oleh seorang guru besar mantan rektor satu universitas Islam. Buku ini menerjemahkan QS 49: 13 sebagai berikut:
”Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling menghargai. Sesungguhnya orang yang paling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan di antara kamu.”
Sesuai ayat tersebut, umat Islam memahami bahwa orang yang paling mulia adalah yang yang paling bertaqwa. Entah dengan dasar apa, kata “taqwa” diartikan dengan “dapat memahami dan menghargai perbedaan”.
Inilah beberapa contoh penggunaan istilah ”multikulturalisme” yang ’aneh’, karena menyimpang dari ajaran Islam. Kita semua ingin kualitas PAI kita semakin baik.
Umat Islam berjuang keras selama puluhan tahun untuk menjadikan Pendidikan Agama sebagai pelajaran wajib di sekolah, sehingga masuk dalam UU Sisdiknas, yakni UU No 2 tahun 1989 dan UU No 20 tahun 2003. Sebagai rakyat, kita berharap, mohon amanah umat Islam dalam soal PAI itu jangan sampai disia-siakan!
Jangan sampai PAI dijadikan ajang proyek liberalisasi yang akhirnya justru menjauhkan para siswa dari tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. /Depok, 3 Desember 2019.*
Penulis guru Pondok Pesantren Attaqwa Depok, Jawa Barat