Bartolome de Las Casas (1474-1567), seorang pastor Ordo Dominican, menceritakan perilaku penjajah Kristen Spanyol terhadap penduduk asli Amerika, saat mereka menjajah wilayah itu. Kata de Las Casas, mereka membantai dengan sangat sadis siapa saja yang ditemui, tanpa peduli apakah penduduk itu wanita hamil, anak-anak atau orang tua. Para penjajah itu juga membuat aturan, jika ada seorang penjajah Kristen terbunuh, maka sebagai balasannya, 100 orang Indian juga harus dibunuh. (The Christians, with their horses and swords and lances, began to slaughter and practice strange cruelties among them. They penetrated into the country and spared neither children nor the aged, nor pregnant women, nor those in childbirth, all of whom they ran through the body and lacerated, as though they were assaulting so many lambs herded into the sheepfold… and because sometimes, though rarely, the Indians killed a few Christians for just cause, they made a law among themselves that for one Christian whom the Indians might kill, the Christians should kill a hundred Indians). (Lihat, Philip J. Adler, World Civilization, hal 311).
Betapa mahalnya, harga nyawa seorang Kristen dibandingkan dengan harga nyawa orang Indian. Satu nyawa orang Kristen, harus dibalas dengan 100 nyawa orang Indian. Tetapi, hal itu bukan hanya terjadi pada nyawa orang Indian. Nyawa orang-orang Aborigin, penduduk asli Australia, dan juga orang-orang Afrika juga diperlakukan sama. Murah harganya dimata para penjajah. Sejarah perdagangan budak-budak Afrika sangat mengenaskan. Dalam lintasan sejarah Afrika, tidak ada yang lebih kontroversial selain kasus perdagangan budak trans-atlantik dari Afrika ke Barat.
J.D. Fage, dalam bukunya, A History of Africa (1988), menyebutkan, bahwa dalam tempo 220 tahun (1650-1870), sekitar 10 juta manusia, diekspor sebagai budak dari Afrika ke ‘Dunia Baru’.
Bagaimana sekarang? Apakah logika kaum kolonial Kristen Spanyol itu masih diterapkan di muka bumi?
Pada 8 September 2004, Kantor Berita Associated Press (AP) mengumumkan bahwa jumlah tentara AS yang mati di Iraq sudah mencapai 1.003 orang, sejak Perang itu dilancarkan Maret tahun 2003. Jumlah itu sudah termasuk 3 warga sipil AS yang bekerja untuk tentara AS. Segera setelah itu, Menteri Pertahanan AS, Donald H. Rumsfeld mengingatkan, agar ‘musuh-musuh AS’ tidak ‘underestimate’ terhadap kemauan bangsa AS dan sekutu-sekutunya untuk menimbulkan penderitaan di Iraq atau di mana saja. Ia memperingatkan, bahwa musuh-musuh AS terlalu memandang rendah bangsa AS dan sekutu-sekutunya. Kata Rumsfeld: “The progress has prompted a backlash, in effect, from those who hope that at some point we might conclude that the pain and the cost of this fight isn’t worth it. Well, our enemies have underestimated our country, our coalition. They have failed to understand the character of our people.”
Pemerintahan Bush, menurut AP, telah lama mengkaitkan konflik di Iraq dengan peperangan melawan terorisme. Padahal, Komisi penyelidik peristiwa 11 September 2001, telah menyimpulkan, bahwa antara Iraq dan al-Qaeda tidak mempunyai hubungan kolaboratif sebelum 11 September 2001. Apapun, setelah itu, tentara-tentara AS di Iraq terus melakukan serbuan-serbuan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap rakyat Iraq. Dan pada 9 September 2004, AP melaporkan, bahwa jumlah penduduk Iraq yang mati diperkirakan antara 10.000-30.000 orang, sejak invasi AS ke Iraq tahun lalu.
Inilah yang barangkali dikatakan Rumsfeld, musuh-musuh AS gagal memahami bangsa AS, bahwa jika satu nyawa orang AS mati, maka harus dibalas dengan tebusan berpuluh kali lipat. Tidak berbeda filosofinya dengan apa yang dilakukan penjajah Kristen Spanyol terhadap kaum Indian dulu. Pesan Rumsfeld sangat jelas, jangan coba-coba melawan kehendak dan titah negara adikuasa itu.
Cara berpikir serupa bisa disimak dalam kasus pembunuhan terhadap rakyat Palestina, dimana AS masih terus memperlakukan Israel anak emasnya. Sejak meletusnya intifadah ke-2, pada 28 September 2000, jumlah warga Palestina yang terkorban sudah mencapai 3250 orang. Sementara jumlah kaum Yahudi yang mati sekitar 800 orang. Jika berlaku aksi serangan terhadap warga Yahudi, maka Israel akan melakukan serangan balasan yang membunuh berkali-kali lipat jumlah warga Yahudi yang terbunuh. Sebuah pola pikir yang juga sama dengan yang digunakan penjajah Kristen Spanyol terhadap kaum Indian.
Kasus Iraq, yang diawali invasi AS pada Maret 2003 sudah berlangsung hampir dua tahun. Pada 11 September 2004 ini, peristiwa WTC juga sudah memasuki tahun ketiga. Pada kasus WTC, logika kolonial juga diberlakukan. Untuk nyawa sekitar 2.700 orang AS, maka harus ditebus dengan puluhan ribu nyawa orang Afghanistan dan Iraq.
Koran Tempo (12 November 2001), menurunkan berita berjudul “Noam Chomsky: Lebih Jahat dari Serangan Teroris”. Profesor linguistik di MIT itu menyimpukan: “Pengeboman Afghanistan adalah kejahatan yang lebih besar dari pada teror 11 September.”
Dalam Perang Vietnam, logika kolonial Kristen Spanyol juga diterapkan. Jeremy Isaacs dan Taylor Downing, dalam buku ‘Cold War’ menceritakan, menyusul terbunuhnya beberapa tentara AS di Vietnam pada 7 Februari 1965, Presiden AS segera memerintahkan aksi serangan balasan yang sangat dahsyat. Senjata kimia dan pemusnah massal yang luar biasa ganasnya terhadap manusia dan alam digunakan untuk mengalahkan musuh.
Dalam upaya untuk memaksa Vietnam Utara duduk di meja perundingan, AS menggunakan bahan peledak berkekuatan tinggi, bom napalm, dan cluster bombs. AS juga menjatuhkan 18 juta gallon herbisida yang menghancurkan hutan tropis dan area persawahan. Tak hanya itu, senjata kimia yang sangat beracun, bernama Agent Orange, pun digunakan. Tanpa peduli, kota-kota dan hutan dihancurkan untuk meraih kemenangan. Tentang hal ini, seorang pejabat AS menyatakan: “We had to destroy the town in order to save it.” (Kita harus menghancurkan kota ini untuk menyelamatkannya).
Masalah Perang Vietnam juga menyaksikan satu tragedi dalam sejarah AS, yaitu terbunuhnya Presiden John F. Kennedy pada 22 November 1963. Robert Mc Namara dalam memoarnya percaya bahwa jika Kennedy tidak dibunuh, maka AS tidak akan terlibat dalam Perang Vietnam. Fim JFK garapan Oliver Stone juga menggambarkan kaitan antara pembunuhan Kennedy dengan penolakannya terhadap keterlibatan AS dalam Perang Vietnam.
Murahnya harga nyawa penduduk jajahan bisa disimak dalam berbagai kasus. Di Afghanistan, pada Juli 2002, 48 warga sipil mati dan 117 luka-luka, akibat serangan bom pesawat tempur AS. Ketika itu, warga sipil Afghan tersebut sedang mengadakan pesta perkawinan. Pada Mei 2004, peristiwa serupa terjadi lagi di Iraq. Lebih dari 40 warga sipil yang sedang mengadakan pesta perkawinan dihujani bom oleh pesawat AS. Tidak ada pertanggungjawaban apa-apa atas peristiwa itu. Dan AS dengan entengnya menyatakan, bahwa tindakan pembunuhan itu dilakukan sebagai serangan balasan, karena pesawat AS dihujani tembakan.
Namun, dalam dunia mafia, tindakan balas dendam yang lebih dahsyat itu sebenarnya bukan hal aneh. Tindakan itu dilakukan untuk membuat kapok, agar lawan tidak coba-coba untuk melawan lagi. Dalam bukunya, Rouge State: A Guide to the World’s Only Superpower, Mantan Pejabat Deplu AS, William Blum mengungkap studi internal “US Strategic Command” tentang “Essentials of Post-Cold War Deterrence”. Dikatakan, bahwa tindakan AS yang kadang kelihatan ‘out of control’, irasional, dan pendendam, bisa jadi menguntungkan untuk menciptakan rasa takut dan keraguan pada musuh-musuhnya. (That the US may become irrational and vindictive if its vital interests are attacked should be a part of national persona we project to all adversaries).
Seperti diketahui, kasus Iraq yang terus berlarut-larut merupakan salah satu peristiwa yang begitu banyak memunculkan protes di seluruh penjuru dunia. Jutaan manusia di negara-negara Barat sendiri bangkit menentang penyerbuan dan pendudukan AS terhadap Iraq. Tanpa menafikan, bahwa Saddam Hussein juga telah melakukan kekejaman yang luar biasa terhadap rakyatnya, maka serbuan dan pendudukan AS terhadap Iraq merupakan akhir dari era ‘Pax Americana’. Tatanan dunia yang diatur oleh negara-negara Barat itu sendiri melalui PBB dan hukum internasional telah dihancurkan sendiri oleh AS.
Skenario Huntington
Jika kita merenungkan kembali apa yang terjadi sekarang ini di berbagai belahan dunia – di Palestina, Chechnya, Rusia, Filipina Selatan, Iraq, Arab Saudi, Indonesia, dan sebagainya – ternyata mirip sekali dengan apa yang berulangkali dinyatakan oleh Samuel P. Huntington dalam berbagai tulisannya. Juga, sebuah analisis yang dibuat oleh Michele Steinberg, pada 26 Oktober 2001, berjudul ‘Wolfowitz Cabal’ is an Enemy Within U.S. di “Executive Intelligence Review”, yang menganalisis, Perang Iraq adalah batu skenario menuju ‘Perang Global’ yang menghadapkan ‘Islam dengan Barat’. (“But Iraq is just another stepping stone to turning the anti-terrorist ‘war’ into a full-blown ‘clash of civilizations’, where the Islamic religion would become the enemy image in a New Cold War“).
Apa yang terjadi sekarang adalah sebuah ‘skenario’ yang menyeret dunia pada dua kutub yang berhadapan: Barat dengan Islam. Kaum Muslim perlu memahami dan menyadari situasi dan pola baru dalam hubungan internasional. Kaum Muslim sangat perlu berhati-hati untuk tidak terjebak dalam skenario ini. Kita perlu memahami, bagaimana dampak Tragedi WTC dan Bom Bali terhadap kaum Muslim di Palestina, Kashmir, Chechnya, Moro, Indonesia, Malaysia, dan sebagainya. Aksi-aksi pengeboman yang memakan korban rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa – jika benar dilakukan sebagian elemen Muslim – terbukti justru menyulitkan posisi kaum Muslim dalam perjuangan melawan pemurtadan dan kezaliman global. Memang, dalam soal pandangan hidup, secara konsepsual, terjadi perbedaan fundamental antara peradaban Islam dengan peradaban Barat, tetapi hal ini bukan berarti lalu kaum Muslim boleh malakukan aksi fisik kapan saja terhadap Barat.
Dunia Islam, misalnya, hingga kini menolak tekanan Barat untuk memasukkan para pejuang Palestina ke dalam daftar teroris. Sebab, faktanya, mereka merupakan korban terorisme Zionis Israel. Ketika penjajah Belanda menduduki Indonesia, para ulama bersepakat mengeluarkan Resolusi Jihad dan Soekarno membentuk ‘kamp kaum radikal’. Kaum Muslim Indonesia, misalnya, saat ini menghadapi imperialisme budaya, ekonomi, politik, dan pemikiran yang sangat dahsyat. Maka, jalan perjuangan yang terbaik untuk memerdekakan negeri Muslim terbesar ini adalah melalui perjuangan ilmu, budaya, ekonomi, dan politik. Kecuali, jika kaum Muslim diserang secara fisik seperti di Maluku dan Poso.
Memahami kondisi dan situasi memerlukan pengorbanan yang besar. Itulah perjuangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Itulah yang dilakukan oleh Barat dalam menyusun skenario tata dunia baru pasca Perang Dingin. Mereka berjuang dengan ilmu. Mereka kerahkan ilmuwan-ilmuwan untuk memasuki babak baru dalam situasi baru pasca Perang Dingin.
Huntington, misalnya, disamping seorang guru besar ilmu politik di Harvard University, Huntington juga merupakan penasehat kawakan dalam politik luar negeri AS. Dalam tahun 1977-1978 ia menjabat sebagai koordinator Perencanaan Keamanan untuk Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) di Gedung Putih. Diantara buku-bukunya adalah The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations (1957), The Common Defense: Strategic Programs in National Politics (1961), Political Order in Changing Societies (1968), American Politics: The Promise of Disharmony (1981), The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991), The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996), dan Who Are We? The Challenges to America’s National Identity (2004).
Bukunya yang sangat terkenal dan kontroversial adalah The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Buku ini sudah mengarah untuk menempatkan Islam sebagai tantangan terpenting bagi peradaban Barat, pasca runtuhnya komunisme. Hal itu ditekankan lagi saat berdialog dengan Anthony Giddden, pada akhir musim semi tahun 2003, bahwa militan Islam adalah ancaman terhadap Barat. (We must distinguish between militant Islam and Islam in general, but militant Islam is clearly a threat to the West-through terrorists and rogue states that are trying to develop nuclear weapons, and through a variety of other ways).
Dalam menghadapi apa yang disebut sebagai ‘militan Islam’ itu, Huntington mendukung langkah dilakukannya tindakan ‘preemptive strike’ oleh AS dan Barat. Ia menekankan lagi, bahwa musuh utama Barat adalah Islam militant. (I would add that a strategy which allows for preemptive war against urgent, immediate and serious threats is absolutely essential for the US and other Western powers in this period. Our enemies-primarily the militant Islam, but also other groups-cannot be deterred, that much is obvious, so it is essential-if they are preparing an attack against us-that we attack first).
Nasehat Huntington itu terbukti efektif, dan telah diaplikasikan oleh pemerintah AS. Pada awal Juni 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola “peperangan” melawan “musuh”. Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh baru – yang diberi nama teroris – AS menggunakan pola preemptive strike dan defensive intervention. Jadi, dalam menghadapi ‘militan Islam’, atau negara-negara musuh, yang memiliki senjata kimia, biologis, dan nuklir, AS akan merasa leluasa menyerang mereka.
Dari kasus doktrin ‘preemptive strike’ ini tampak bagaimana pola pikir ‘bahaya Islam’ yang dikembangkan ilmuwan – dan sekaligus penasehat politik Barat – seperti Huntington, berjalan cukup efektif. Dengan doktrin itu, AS dapat melakukan berbagai serangan ke sasaran langsung, yang dikehendaki, meskipun tanpa melalui persetujuan atau mandat PBB. Pola pikir Huntington, bahwa ‘Islam’ lebih berbahaya dari ‘komunis’ juga tampak mewarnai kebijakan politik dan militer AS tersebut. Padahal, jika dipikirkan dengan serius, manakah yang lebih hebat kekuatannya, apakah Usamah bin Ladin atau Uni Soviet? Mengapa untuk menghadapi negara adikuasa yang memiliki kekuatan persenjataan hebat setanding dengan AS, hanya digunakan kebijakan ‘containtment’ dan ‘deterrence’, sedangkan untuk menghadapi ‘militan Islam’ harus digunakan strategi ‘preemptive strike’?
Di Majalah Newsweek, Special Davos Edition, December 2001-February 2002, Francis Fukuyama juga mencatat: “Radical Islamist, intolerant of all diversity and dissent, have become the fascists of our day. That is what we are fighting against.”
Jika “militan Islam”, “fundamentalis Islam” dan “radikal Islam” ditempatkan sebagai musuh Barat yang paling utama saat ini, sehingga dikatakan Fukuyama, mereka harus diperangi, maka tentunya perlu didefinisikan terlebih dahulu, siapakah yang disebut sebagai “militan”, “fundamentalis” atau “radikal” itu? Dan apakah dunia bisa secara fair dan adil menerapkan definisi itu untuk semua jenis manusia, bangsa, agama, dan negara? Bahwa, semua yang radikal, baik Kristen, Yahudi, Hindu, atau Islam, harus ditumpas. Apakah begitu keadaannya? Mengapa sekarang hanya Islam yang diperangi? Mengapa kaum fundamentalis Kristen yang merajalela di AS tidak ditumpas?
Bernard Lewis dalam bukunya The Crisis of Islam menyatakan, bahwa fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya: “Islam as such is not enemy of the West… But a significant sumber of Muslims – notably but not exclusively those whom we call fundamentalists – are hostile and dangerous, not because we need enemy but because they do. Lalu ia, bahwa fundamentalis Islam adalah mereka yang anti-Barat dan memandang Barat sebagai sumber kejahatan yang merusak masyarakat Muslim. “Fundamentalists are anti-Western in the sense that they regard the West as the source of the evil that is corroding Muslim society.”
Definisi Lewis ini tentu saja sangat bias dan fleksibel untuk diterapkan bagi siapa saja yang mengkritik Barat. Padahal, faktanya, Barat memang banyak terlibat dalam berbagai aksi kekerasan dan teror serta memberikan dukungan terhadap rezim-rezim represif dan otoriter di berbagai negara. Begitu banyak cendekiawan yang mengkritik sejarah peradaban dan politik Barat. Mengapa hingga kini, Barat tidak mau menyelesaikan masalah Palestina? Bukankah secara jelas, Israel berulangkali melanggar hukum internasional? Bukankah sumber dari masalah di Iraq saat ini adalah serangan dan pendudukan AS? Karena itu, William Blum, memberi nasehat kepada pemerintah AS, jika ingin menghentikan kemelut di dunia internasional.
Kata Blum, jika ia menjadi Presiden AS, ia sanggup menghentikan aksi terorisme terhadap AS hanya dalam beberapa hari. Dan itu bersifat permanen. Caranya, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS telah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51.
Lalu, Blum – andai jadi Presiden AS – akan memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 milyar USD per tahun. Itulah yang akan dikerjakan Blum pada tiga hari pertamanya di Gedung Putih. Tapi, katanya, pada hari keempat, ia akan dibunuh. ”On the fourth day, I’d be assassinated.” Wallahu a’lam. (KL, 9 September 2004)