OLeh: Dr Adian Husaini
PADA hari Selasa (2 November 2011), saya bersama Dr Hamid Fahmy Zarkasyi diundang untuk membahas buku terbaru Prof. Dr. Muhammad Naquib al-Attas di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Buku yang berjudul Historical Fact and Fiction terbitan Universiti Teknologi Malaysia tersebut, baru saja diluncurkan pada 9 September 2011. Atas jasa baik dari Prof Wan Mohd Nor, buku itu saya terima pada awal September. Secara khusus, Jurnal Islamia-Republika edisi 20 Oktober sudah membahas buku ini.
Acara di IAIN Surabaya itu diselenggarakan oleh Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya dan Pusat Pengembangan Intelektual Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, di Gedung Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2 November 2011. Acara dimoderatori oleh seorang kyai muda dari Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jatim, yang juga mahasiswa S-2 di IAIN Sunan Ampel. Memberikan sambutan atas nama Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel diwakili Masdar Hilmy, Ph.D., salah satu Assisten Direktur-nya.
Bagi para peminat sejarah, khususnya sejarah Islam di Melayu-Indonesia, nama Prof. Muhammad Naquib al-Attas sudah kesohor sebagai salah satu “pendekarnya”. Selama berpuluh tahun, ia berusaha keras untuk meluruskan pendidikan sejarah yang selama ini didominasi oleh pemikiran orientalis. Sejak tahun 1980-an, bukunya, Islam and Secularism, sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa. Buku ini sudah memuat penjelasan proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Bukunya yang lain, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, juga mengklarifikasi dan mengkritik sejumlah pendapat para orientalis tentang perkembangan Islam di Nusantara.
Saat ini umur Prof. S.M. Naquib al-Attas sudah menginjak 80 tahun. Beliau lahir di Bogor, tahun 1931. S.M. Naquib al-Attas adalah cucu seorang ulama besar di Bogor, Abdullah bin Muhsin al-Attas, yang juga guru sejumlah ulama terkenal di Jabodetabek, seperti KH Abdullah Syafii, dan sebagainya. Tapi, di usianya yang sudah sangat lanjut itu, Prof al-Attas masih berhasil menerbitkan sebuah buku yang luar biasa, berjudul Historical Fact and Fiction. Hingga kini, buku ini tampaknya merupakan puncak karya Naquib al-Attas tentang sejarah Melayu selama ini. Sama dengan buku Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, seolah menegaskan pendapatnya selama ini, buku Historical Fact and Fiction ini pun bergambar sampul kaligrafi “ayam jago”, simbol awal kehidupan baru.
Buku ini memang fantastis, melihat ketajaman analisis dan kekayaan referensi yang digunakannya. Melalui buku ini, al-Attas berhasil membalik berbagai pandangan umum tentang sejarah Islam dan Melayu yang sudah dianggap mapan, sebagaimana yang selama ini diteorikan oleh sejarawan lain.
Al-Attas, misalnya, memperjelas kembali gambaran bagaimana keberhasilan para pendakwah Islam (digunakan istilah “misionaris Islam”) dalam mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu, sehingga berhasil menjadi bahasa persatuan di wilayah Nusantara.
Bahasa Melayu yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Sumatra, kemudian diangkat, di-Islamisasi, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah di wilayah Nusantara ini. Karena itulah, simpul al-Attas, bahasa Melayu dan agama Islam,merupakan dua faktor penting yang berjasa dalam upaya penciptaan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. (The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history. hal. xvi).
Analisis al-Attas itu menarik. Sebab, selama ini bangsa Indonesia sudah sangat akrab dengan satu “dogma” pelajaran sejarah, bahwa yang berjasa besar dalam penyatuan Nusantara adalah Kerajaan Hindu Majapahit, terutama di era pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Berbagai buku sejarah menulis, bahwa hanya pernah ada dua Kerajaan di Indonesia yang bersifat Nasional, yaitu Kerajaan Sriwijaya (Budha) dan Kerajaan Majapahit (Hindu). Islam belum pernah menyatukan Nusantara. Itulah informasi yang mudah kita jumpai di berbagai buku sejarah.
Tokoh Kristen di Indonesia, TB Simatupang, pernah menulis bahwa Indonesia tidak pernah mengalami sebuah kerajaan Islam yang mencakup seluruh Indonesia, seperti di zaman Mogul di India. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu, pernah mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara.
“Tetapi tidak pernah ada jaman Islam dalam arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri,” tulis TB Simatupang. Begitulah, lanjutnya, dalam arti tertentu, yang menggantikan Majapahit adalah pemerintahan kolonial Belanda dan yang menggantikan yang terakhir tersebut adalah pemerintahan Republik Indonesia. (Lihat, T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997). hal. 11).
Pendeta Dr. Eka Darmaputera, balam bukunya, mengakui, dibandingkan dengan kebudayaan asli dan Hindu, Islam jauh lebih berhasil menanamkan pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat. Ia berhasil mencapai rakyat biasa dan menjadi agama dari mayoritas penduduk Indonesia. “Namun demikian, ia tidak menciptakan suatu peradaban baru. Sebaliknya, dalam arti tertentu, ia harus menyesuaikan diri dengan peradaban yang telah ada,” tulis Eka Darmaputera. (Lihat, Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997), hal. 34).
Doktrin tentang “penyatuan Nusantara” oleh Kerajaan Budha dan Hindu seperti itulah yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah, bahkan kadangkala juga di berbagai pondok pesantren, melalui pengajaran Sejarah. Kita pernah mengungkap contoh, sebuah buku Sejarah untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), yang menulis, bahwa saat pelantikannya sebagai Patih Amangkubhumi Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil disatukan di bawah Panji Kerajaan Majapahit.
Ditulis: “Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan nasional setelah Kerajaan Sriwijaya. Selama hidupnya, Patih Gajah Mada menjalankan politik persatuan Nusantara. Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M.” (hal. 48).
Jadi, disimpulkan, bahwa Indonesia pernah jaya dan hebat di zaman Hindu. Kemudian, dikatakan, datanglah Islam, yakni Kerajaan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah, untuk menghancurkan kejayaan Indonesia itu. Jadi, Islam datang untuk menghancurkan kejayaan Indonesia. Logikanya, kalau mau mengalami kejayaan, Islam harus disingkirkan dari simbol-simbol dan lambang kenegaraan. Kembalilah ke Majapahit! Kembalilah ke Hindu, jika ingin meraih kejayaan! Islam ditempatkan sebagai “musuh persatuan”.
Raden Patah digambarkan sebagai penghancur prestasi Gajah Mada yang berhasil menyatukan Nusantara! Itulah yang ditulis oleh Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, bahwa bangsa Indonesia selama ini dididik untuk menjauhkan nasionalisme dengan Islam dan hendaklah bangsa ini lebih mkencintai Gajah Mada ketimbang Raden Patah. “Diajarkan secara halus apa yang dinamai Nasionalisme, dan hendaklah Nasionalisme diputuskan dengan Islam. Sebab itu bangsa Indonesia hendaklah lebih mencintai Gajah Mada daripada Raden Patah.” (Lihat, Hamka, Tafsir al-Azhar — Juzu’ VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 300.)
Cobalah tanyakan kepada siswa atau anak-anak kita, apakah mereka lebih kenal dan kagum pada Gajah Mada atau Raden Patah? Sekitar 50 tahun lalu, Buya Hamka sudah menulis dalam Tafsir al-Azhar-nya tentang fenomena pendidikan sejarah di Indonesia tersebut! Bagaimana agar anak-anak kita lebih mengenal dan mencintai Gajah Mada ketimbang Raden Patah, Sultan Agung, dan sebagainya!
Pada 29 Oktober 2011 lalu, kepada sekitar 1.000 mahasiswa peserta Sarasehan Nasional Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, saya tanyakan, mengapa kampus besar ini diberi nama “Universitas Gajah Mada” dan bukan “Universitas Sultan Agung”. Padahal, Raja Mataram Yogya tersebut memiliki prestasi besar dalam mengusir Penjajah Portugis dari Batavia! Kita bukan ingin mengecilkan Gajah Mada. Tetapi, sebagai Muslim, kita diajarkan untuk bersikap adil dan beradab, mampu memandang dan menempatkan segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT.
Karena opini tentang kehebatan Majapahit tersebut sudah begitu dominan, bisa dimaklumi, bahwa sebagian kaum Hindu di Indonesia berpikir, bahwa bangsa ini harus kembali menjadi Hindu, bila ingin menjadi bangsa besar. Majalah Media Hindu (edisi Oktober 2011), menurunkan laporan utama berjudul: “KEMBALI KE HINDU, BILA INDONESIA INGIN BERJAYA KEMBALI SEPERTI MAJAPAHIT”. Menurut majalah ini, agama Islam dianggap sebagai agama yang menggusur nilai-nilai budaya bangsa, sehingga menghambat kemajuan Indonesia. “Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila meyoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa.” Lalu, disimpulkan oleh Media Hindu: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”
Prof. Hamka pernah menulis sebuah artikel berjudul “Islam dan Majapahit”, yang dimuat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). Hamka menulis: “Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih! Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah seorang Raja Budha dari Sumatra yang pernah menduduki pulau Jawa… Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka Sitambo lamanya pula, menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada kstaria Jawa yang berani menangkapnya. Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.”
Begitulah imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang pengislaman Nusantara seyogyanya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memposisikan Islam sebagai agama yang “anti-budaya bangsa”, sebab budaya bangsa sudah dipersepsikan identik dengan ke-Hindu-an atau ke-Budha-an. Hukum adat dan warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan, masih saja berpikir, bahwa Islam bukanlah jatidiri bangsa Indonesia. Islam tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekular di luar agama.
Upaya untuk menjauhkan Islam dari kaum Muslim akan berujung kepada pengerdilan bangsa Indonesia sendiri. Itulah teori kaum orientalis, sebagaimana pernah ditulis oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. (Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), hal. 41.)
Jika nilai-nilai Islam disingkirkan, dan “nilai-nilai di luar Islam” ditempatkan sebagai jati diri dan simbol-simbol kebangsaan Indonesia, maka Muslim Indonesia didorong untuk tidak memiliki perasaan memiliki terhadap negeri ini. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Itulah yang – misalnya – selama ini terjadi dalam kasus Pancasila. Banyak kaum Muslim tidak merasa memiliki Pancasila karena Pancasila diajarkan di sekolah-sekolah dalam perspektif sekular untuk menggantikan Islam.
Tuhan Yang Maha Esa dalam Pancasila (dan Pembukaan UUD 1945) jelas-jelas bernama Allah SWT, dikaburkan makna dan nama-Nya, menjadi “Tuhan apa pun”. Padahal, Allah SWT adalah Tuhan kaum Muslim. Satu-satu-Nya kitab suci di Indonesia yang sejak awal hingga kini memuat nama Tuhan bernama Allah, hanya al-Quran. Kaum Kristen di Indonesia kemudian meminjam kata Allah itu untuk menyebut Tuhan mereka dengan Allah. Tetapi, Allah yang disebut kaum Kristen memiliki sifat yang sangat berbeda dengan Allah-nya orang Islam. Sebab, Allah dalam al-Quran tidak pernah mengangkat manusia menjadi Tuhan. Jadi, Tuhan yang resmi disebut nama-Nya dalam Kosntitusi UUD 1945 adalah Allah SWT.
Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin (alm.), dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal. 31). “Negara RI, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.” (hal. 34).
Penafsiran Pancasila seperti Prof. Hazairin tersebut sejalan dengan uraian Prof. al-Attas dalam kajiannya tentang sejarah Islam di wilayah Melayu, yang menempatkan Islam sebagai factor penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Kedatangan Islam-lah yang telah memberikan makna yang sangat tinggi bagi Melayu di wilayah Nusantara ini. “Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness. It is the logical conclusion of this process that created the evolution of the greater part of the Archipelago into the modern Indonesian nation with Malay as its national language… The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipelago” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 178)
Sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa Persatuan sempat ditolak oleh kaum Kristen. J.D. Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.” Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009).
Salah satu kesimpulan penting dari buku Historical Fact and Fiction adalah, bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara ini utamanya bukan dilakukan oleh pedagang, tarekat sufi, atau kaum Syiah, secara sambilan atau asal-asalan. Dengan bukti-bukti yang kuat dari karya para penulis Muslim klasik, sumber-cumber China dan Eropa, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa Islamisasi di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para misionaris Islam yang hebat. Islamisasi di wilayah seluas ini bukanlah pekerjaan sambilan dan asal-asalan: “the spread of Islam by these Arab missionaries in the Malay world was not a haphazard matter, a disorganized sporadic affair … It was a gradual process, but it was planned and organized and executed in accordance with timelines and situation.” (hal. 32).
Buku Historical Fact and Fiction ini diakui oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud sebagai salah satu karya besar dari al-Attas. Dengan karya ini, menurut Prof Wan Mohd Nor, al-Attas pantas disebut sebagai salah satu ahli falsafah sejarah di dunia Islam. Tokoh lain adalah Almarhum Malek Bennabi dari Aljazair (m. 1973). “Buku terbaru SMN al-Attas, Historical Fact and Fiction (HFF), meneguhkan kembali kepeloporan dan kependekaran beliau dalam masalah sejarah, khususnya sejarah di alam Melayu, yang dipeganginya selama lebih 40 tahun secara penuh istiqamah,” tulis Prof. Wan Mohd Nor (Republika, 20 Oktober 2011).
Melalui buku terbarunya, Prof. Naquib al-Attas kembali menegaskan bahwa jati diri bangsa Melayu-Indonesia sejatinya adalah Muslim. Mereka adalah bangsa Muslim. Identitas dan jati diri Melayu-Islam itu seharusnya dimanfaatkan oleh bangsa Melayu-Indonesia untuk membangun negeri mereka secara sungguh-sungguh sehingga mampu tampil sebagai salah satu peradaban yang kuat di muka bumi. Wallahu a’lam bil-shawab.*/Jakarta, 8 zulhijjah 1432/4 November 2011
Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor