Senin, 21 November 2005
Oleh: Adian Husaini
KTT Asia Pacific Council (APEC) di Busan, Korea Selatan, bulan ini mendapat tantangan keras dari para demonstran di Korea Selatan. Mereka meneriakkan semboyan “No APEC, No War, No Bush!” Para demonstran itu melihat APEC sebagai alat kekuatan neo-imperalisme dan neo-liberalisme untuk mengokohkan cengkeraman hegemoni mereka terhadap dunia ketiga.
Perdagangan bebas atau liberalisasi pasar bukannya semakin menyejahterakan negara-negara miskin, tetapi justru memperparah kondisi mereka. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan global yang dipimpin AS dan Bush melakukan berbagai upaya pengalihan perhatian dari masalah yang sebenarnya. Media massa pun asyik dengan berbagai isu tertentu dan melupakan isu-isu strategis lain yang berkaitan dengan eksistensi dan kemajuan bangsa. Termasuk di Indonesia.
Sejak lama, para aktivis anti-globalisasi dari berbagai belahan dunia sudah berusaha melawan kebijakan-kebijakan neo-liberal yang menyengsarakan sebagian besar umat manusia. Tahun 2002, misalnya, puluhan ribu aktivis LSM yang berkumpul di Porto Allegre, mengeluarkan pernyataan perang melawan “neo-liberalisme”, perang, dan militerisme untuk perdamaian dan keadilan sosial”. Kelompok-kelompok LSM ini antara lain menyatakan:
(*) Peristiwa 11 September telah melahirkan perubahan dramatis. Setelah serangan teroris, yang secara mutlak kami kutuk, seperti juga kutukan kami atas serangan terhadap waga sipil di seluruh dunia, pemerintah Amerika dan sekutunya melakukan operasi militer masif.
Serangan terhadap hak-hak sipil dan politik atas nama ‘perang melawan terorisme’ berlangsung di seluruh dunia. Perang melawan Afganistan, menggunakan metode yang sama dengan para teroris, yang dilakukan dalam front yang lebih luas. Ini adalah awal perang global permanen untuk meneguhkan dominasi pemerintah Amerika dan sekutunya.
Perang ini adalah wajah lain dari neo-liberalisme, dengan wajah yang lebih brutal dan dan tidak bisa diterima. Islam telah dipersetankan, sementara rasisme dan xenopobia dipropagandakan.
Media massa secara aktif mengambil bagian dalam perang kampanye yang membagi dunia, baik dan jahat. Oposisi terhadap perang adalah juga nurani gerakan kami.
(*) Situasi peperangan telah menimbulkan destabilitas di Timur Tengah, menciptakan alasan yang dicari-cari untuk merepresi rakyat Palestina. Tugas mendesak gerakan kami adalah membangun solidaritas untuk rakyat Palestina dan perjuangan mereka untuk berdaulat penuh seperti halnya perjuangan menghadapi kebrutalan Israel.
(*) Pemerintah Amerika Serikat, dalam upaya melindungi kepentingan perusahaan besar, secara arogan meninggalkan proses negosiasi pemanasan global, perjanjian rudal antibalistik, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konperensi PBB tentang rasisme dan intoleransi dan dialog untuk membatasi pasokan senjata ringan, membuktikan ketidakpedulian Amerika untuk menemukan solusi bersama untuk persoalan global.
Demikian sejumlah seruan yang disampaikan para aktivis anti-globalisasi. Di Indonesia, tema ketidakdilan global yang diusung oleh para aktivis LSM ini kurang begitu bergema. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi korban penjajahan paham ‘neo-liberalisme’ yang paling parah.
Dampaknya sudah begitu jelas. Jeratan utang luar negeri yang sangat besar telah membuat rakyat Indonesia kelabakan dan berkubang dalam kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan.
Kematian demi kematian terus bergelimpangan tiap hari. Deputi Menko Kesra Bidang penanggulangan Kemiskinan, Sujana Royat, pada acara seminar yang diselenggarakan oleh International NGO Forum on Indonesia Development (Infid) di Jakarta, 16 November 2005, mengungkapkan, bahwa di Indonesia setiap hari ada 10 hari orang miskin yang meninggal. (Republika, 18/11/2005)
Masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial dengan mudah bisa disaksikan setiap hari di berbagai pelosok kota besar. Sektor-sektor ekonomi rakyat biasa terus dibunuh dengan pembangunan pusat-pusat pembelanjaan raksasa dan jaringannya yang semakin tidak kenal batas wilayah.
Para elite negara (baik pemerintah atau lembaga legislatif) belum melakukan perubahan yang mendasar untuk mengubah kondisi yang sudah sangat parah saat ini. Pada saat yang sama, rakyat terus dihibur dan dilupakan masalahnya, melalui berbagai tayangan dan tontonan yang melenakan dan membangun khayal dan mimpi indah. Mungkin sulit mencari negara dengan tayangan infotainmen yang membludak seperti Indonesia.
Pada sisi lain, untuk mengalihkan perhatian, kalangan agamawan dan cendekiawan juga dijejali dengan isu-isu yang melenakan umat. Berbagai cendekiawan agama yang mengaku bagian dari arus liberalisme, tak segan-segan dan tak malu-malu mengkampanyekan paham liberalisme agama kepada masyarakat, seolah-olah akar masalah umat beragama adalah karena mereka tidak mau menjadi liberal dalam beragama. Pada perspektif inilah, sebagian kaum Muslim yang tidak sabar, tidak memahami masalah dengan baik, lalu terprovokasi melakukan tindakan bom bunuh diri di Indonesia, justru semakin menguntungkan eksistensi dan gerakan kaum liberal yang
didukung kekuatan global.
Bagaimana untuk mengubah ini semua? Sebenarnya sangat mudah, jika para elite Indonesia mau melakukannya.
Pertama, jadikan peradaban Islam sebagai asas kebangkitan peradaban Indonesia, yang jelas-jelas merupakan negeri mayoritas Muslim. Peradaban Islam sudah teruji dalam sejarah pernah melahirkan sebuah peradaban yang agung dan mampu memimpin dunia. Kaum Muslim, khususnya kaum elitenya, perlu melakukan kajian yang serius tentang masalah ini.
Peradaban-peradaban besar lainnya, seperti peradaban Cina, India, Jepang, Barat, dan lain-lain, saat ini dapat eksis dan berkembang pesat karena tidak terputus dari akar sejarah peradabannya sendiri. Dalam bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), Huntington sudah mengingatkan, bahwa Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menggoyahkan eksistensi Barat. Kata Huntington, “Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice”
Jika pihak Barat saja mengakui keunggulan dan potensi Islam yang begitu dasyat, seyogyanya kaum Muslim – terutama kaum elitenya – menyadari akan hal ini, dan segera melakukan kajian dan penggalian yang serius tentang nilai-nilai dan ajaran Islam yang mampu membangkitkan bangsa yang sedang terpuruk ini.
Semua ini harus dimulai dengan ilmu, dengan pengetahuan yang benar dan mendalam. Bukan sekedar semangat dan kebencian terhadap apa yang dianggap sebagai musuh.
Kedua, Indonesia harus berani keluar dari kerangka berpikir dan bertindak ‘klasik’ dalam berbagai bidang.
Salah satunya adalah pemikiran tentang sistem pemerintahan demokrasi. Euphoria demokrasi yang dilakukan dalam tahun-tahun terakhir ini terbukti telah menyedot energi yang sangat besar dari bangsa ini, baik pikiran maupun ekonomi. Biaya trilyunan rupiah yang digunakan untuk pemilihan presiden dan kepala daerah langsung, ternyata belum sejalan dengan hasil yang dicapai.
Pemerintahan yang terpilih secara langsung, ternyata kualitasnya tidak beda jauh dengan
pemerintah hasil pilihan anggota legislatif di masa lalu. Untuk Indonesia, menurut saya, yang lebih tepat adalah penggunaan sistem Presidium. Pekerjaan anggota DPR yang jumlahnya ratusan orang sebenarnya bisa dikerjakan hanya oleh 20 orang saja. Tidak perlu boros-boros menggaji orang yang tidak layak dan tidak mau bekerja dengan baik. Sistem pemilihan Presiden langsung, bisa diganti dengan sistem pemilihan tidak langsung yang melibatkan Presidium rakyat. Bentuk presidium bisa merupakan perwakilan kelompok-kelompok starategis di Indonesia.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sistem inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai sistem “aristokrasi”. Tentu saja, pemikiran ini bisa didiskusikan lebih jauh. Tetapi, intinya, dengan sistem demokrasi yang membagi kekuasaan terlalu luas, akan sulit bagi pemerintah melakukan konsolidasi dan menjalankan pemerintahan dengan efektif. Di negara mana pun.
Apalagi, dalam situasi krisis. Masalahnya, situasi krisis dan luar biasa itu tidak tampak disadari secara serius oleh kalangan elite negara. Lihat saja, bagaimana cara penggunaan uang rakyat melelalui APBN atau APBD.
Liberalisasi di berbagai bidang yang dipaksakan kepada semua negara melalui globalisasi, memang sesuatu yang sulit dihindarkan. Tetapi, masing-masing negara kemudian diuji ketahanannya. Beberapa aspek dari liberalisasi memberikan peluang usaha yang baik, jika mampu ditangkap. Jika tidak, maka seterusnya, Indonesia akan menjadi negara konsumen dan terus memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada negara lain.
Ketika Perang Dingin berakhir, para cendekiawan kelompok neo-konservatif di Barat segera merumuskan tantangan dan strategi baru dalam skala global. Mereka melakukan “redefinisi” tentang “siapa mereka” dan “siapa musuh mereka”. Kata Huntington, adalah
manusiawi untuk membenci. Untuk penentuan jati diri dan membangkitkan motivasi, masyarakat perlu musuh.
(It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics).
Berangkat dari pemahaman jati diri sendiri dan jati diri musuh strategi itulah, mereka mulai menyusun strategi baru di era pasca Perang Dingin.
Sayangnya, hingga hari ini, pemerintah dan elite negara kita masih belum tergerak untuk berpikir lebih mendasar tentang “siapa kita” dan “siapa musuh kita”. Jika suatu bangsa gagal melakukan identifikasi jati dirinya dan jati diri musuhnya, maka selamanya, bangsa itu tidak akan pernah menjadi bangsa besar. Wallahu a’lam. (Jakarta, 18 Novomber 2005/hidayatullah.com)
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com