Oleh: Dr. Adian Husaini
Warga negara Indonesia tidak sama dengan kambing dan monyet, yang alasan Hak Asasi Manusia, boleh bebas berzina dan kumpul kebo, ini sama saja menurunkan derajat manusia ke derajat monyet
Hidayatullah.com | LAMAN liputan6.com, pada 12 Juli 2022 lalu, menurunkan berita berjudul: “Denny JA Soroti Pasal Kontroversial RKUHP: Berpotensi Melangar HAM.” Disebutkan, bahwa pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyoroti beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas DPR dan pemerintah.
Pemerintah RI telah menyerahkan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ke DPR RI pada Rabu, 6 Juli 2022. “Presiden Jokowi, pimpinan Partai PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, Nasdem dan lain- lain, perlu mempertimbangkan kembali RUU KUHP, terutama pasal yang menyangkut consensual sex, Perzinahan, Kumpul Kebo, pasal 415, 416,” kata Denny JA, Senin, 11 Juli 2022.
Menurut Denny JA, hal tersebut penting sebelum RUU KUHP ini terlanjur disahkan menjadi UU. Jika disahkan maka menjadi sorotan negatif dunia internasional karena bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
“Consensual sex between adults, hubungan seks orang dewasa atas dasar suka sama suka, walau tak terikat pernikahan, itu adalah bagian dari hak asasi, pilihan gaya hidup,” katanya.
Draf RKUHP mengatur hukuman bagi pelaku zina hingga kumpul kebo dengan ancaman hukuman berbeda-beda. Bagi orang yang melakukan perbuatan zina atau hubungan badan yang bukan suami istri, hukumannya diatur dalam Pasal 415 dengan ancaman hukuman 1 tahun penjara.
Pada Pasal 415 ayat 2 dijelaskan bahwa pihak yang bisa melaporkan perzinahan tersebut yakni suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau bisa juga orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Sementara itu, untuk hukuman pidana bagi pelaku kumpul kebo diatur dalam Pasal 416 yang disebut bahwa setiap orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan terancam pidana selama 6 bulan.
Pihak yang bisa melaporkan kumpul kebo tersebut yakni suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau bisa juga orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Meski demikian kata Denny JA, perbuatan tersebut tetap berdosa menurut banyak agama.
Namun, yang berdosa itu tak semuanya juga yang kriminal. Denny JA berpandangan consensual sex adalah masalah moral, bukan tindakan kriminal.
“Para pembuat undang- undang harus menyadari. Bahwa kini kita hidup di era global yang menghargai Right to Privacy. Individu harus dibolehkan memilih gaya hidupnya sendiri, sejauh mereka tidak melakukan kekerasan dan pemaksaan,” sambungnya.
“Negara harus melindungi warga negaranya secara setara. Termasuk melindungi warga negaranya yang percaya hak asasi manusia, yang percaya Right to Sexuality, yang percaya consensual sex between adults,” ujarnya.
Denny juga mengutip ucapan seorang pengacara. Bahwa anggota DPR yang mengesahkan RUU ini akan terkena senjata makan tuan. Praktik consensual sex between adults di luar pernikahan juga diduga menjadi hal yang umum terjadi di kalangan politisi dan pengacara. “Akan bertambah penuh lagi penjara di Indonesia jika RUU ini disahkan,” katanya.
Denny juga menilai hidup bersama dua orang dewasa yang memilih tidak menikah, itu pilihan hak asasi warga negara. Tentu saja itu berdosa bagi banyak agama. Tapi tak semua yang berdosa adalah kriminal. Itu pilihan moral warga negara.
“Semua tindakan yang diakui sebagai bagian hak asasi manusia oleh PBB, di mana Indonesia juga anggota PBB, bukan wilayah hukum kriminal. Prinsip ini basis negara modern yang harus menjadi rujukan para politisi dan pemimpin nasional,” ucapnya.
Denny JA berharap Presiden Jokowi dan pimpinan partai besar di DPR mengkaji kembali RUU KUHP pasal soal consensual sex itu.
***
Begitulah berita tentang penolakan terhadap pasal zina dan kumpul kebo dalam RKUHP. Tentu pertanyaannya, benarkah zina dan kumpul kebo merupakan Hak Asasi Manusia? Sebagai sebuah negeri Muslim terbesar di dunia, umat Islam Indonesia kini menjadi sasaran paham dan gerakan liberalisasi secara besar-besaran.
Pada 6-9 November 2006, berkumpullah 29 pakar HAM terkemuka yang berasal dari 25 negara. Mereka berhasil merumuskan ”The Yogyakarta Principles”, yang kemudian diundangkan secara internasional di muka sidang Human Rights Council’s PBB di Genewa, 26 Maret 2007.
Bagi para pejuang legalisasi homoseksual, prinsip-prinsip Yogyakarta ini dianggap sebagai tonggak sejarah (milestone) perlindungan hak-hak bagi lesbian, gay, biseksual dan transgender. Jadi, selama ini para pendukung “perzinahan bebas” senantiasa mengkaitkannya dengan HAM.
Padahal, UUD 1945 sudah memberikan penjelasan tentang kebebasan warga negara. Bahwa, kebebasan itu ada batasnya. Pembatasan dalam pelaksanaan HAM di Indonesia, telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28J ayat 1 dan 2.
Pasal 28J ayat (1) berbunyi, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Sedangkan Pasal 28J ayat (2) berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Indonesia adalah negara yang dengan tegas menyatakan “berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jika zina dan “kumpul kebo” disebut sebagai Hak Asasi Manusia, lalu dimana Tuhan Yang Maha Esa itu diletakkan? Apakah pemerintah dan DPR berani memutuskan bahwa warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk berzina dan kumpul kebo?
Warga negara Indonesia itu manusia yang merupakan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Apakah Tuhan pernah memberikan kebebasan kepada manusia untuk melakukan perzinahan? Jika yang dijadikan dasar adalah saling suka dan tidak mengganggu pihak lain, maka negara juga tidak boleh melarang warganya yang kawin dengan anjing atau monyet, sebab mereka juga kawin atas dasar kesepakatan.
Sebagai hamba Allah, kita memang tidak bisa melarang jika kambing atau sapi “berzina”, dan kumpul kebo. Tapi, warga negara Indonesia itu bukan kambing dan sapi; bukan pula monyet.
Di kalangan hewan memang tidak ada istilah perzinahan. Pemerintah tidak perlu membuat UU yang melarang kambing dan monyet berzina. Sebab, berzina itu adalah Hak Asasi Monyet!
Tetapi, sekali lagi, warga negara Indonesia itu tidak sama dengan kambing dan monyet. Maka, janganlah dengan alasan HAM, lalu pemerintah tidak boleh menghukum pelaku zina. Itu sama saja menurunkan derajat manusia ke derajat monyet. (Depok, 4 Agustus 2022).*
Penulis adalah guru di PP Attaqwa Depok (ATCO). Arsip Catatan Akhir Pekan bisa diklik DI SINI atau www.adianhusaini.id