oleh: Muhaimin Iqbal
AWAL tahun ini media-media di Indonesia diramaikan oleh isu kebohongan publik tentang data-data kemiskinan di negeri ini, sampai-sampai kini bermunculan rumah (anti) kebohongan di berbagai kota.
Di tengah masih hangatnya isu ini, beberapa saat lalu, pemerintah melalui Biro Pusat Statistik (BPS) menyajikan data keberhasilan yang nampak mencengangkan – yaitu PDB per kapita kita yang mencapai Rp 27 juta pada tahun 2010 atau naik 13 % dari tahun sebelumnya yang berada di angka Rp 23.9 juta. Apa yang secara implicit hendak disampaikan pemerintah dengan angka-angka ini nampaknya adalah bahwa proses peningkatan kemakmuran telah terjadi. Betul-kah demikian ?.
Saya tidak ingin berpihak dalam polemik ini, namun saya ingin memberikan kontribusi dalam memahami angka-angka kemakmuran yang direpresentasikan oleh PDB tersebut. Untuk ini saya gunakan dua tools yaitu Pareto Principle dan Nishab Zakat. Pareto Principle yang diperkenalkan oleh ekonom Italia Vilfredo Pareto ini menyatakan bahwa secara kasar 80% akibat dihasilkan oleh 20% sebab.
Dalam hal kemakmuran misalnya, teori ini terbukti relatif dekat dengan realita seperti yang terungkap dari Human Development Report 1992 yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Dalam report tersebut misalnya dinyatakan bahwa pada tahun 1989, 20% orang terkaya dunia mengantongi porsi 82.70% income dunia.
Dengan asumsi Pareto Principle tersebut relatif dekat juga dengan realita yang kita miliki, maka PDB per kapita 2010 di Indonesia dapat kita dekati ulang perhitungannya menjadi sebagai berikut :
-Dari PDB nasional Indonesia tahun 2010 sebesar Rp 6,422.9 trilyun, kita asumsikan menyebar 80% di 20 % penduduk Indonesia (47.6 juta jiwa ) atau Rp 5,154.32 trilyun. Sisanya yang 20% atau Rp 1,284.58 trilyun untuk 80% penduduk Indonesia (190.3 juta jiwa).
-Dengan sebaran tersebut, maka kurang lebih 20% penduduk terkaya negeri ini memiliki PDB per kapita sebesar Rp 108.3 juta per tahun, sedangkan sisanya 80% penduduk Indonesia hanya memiliki PDB rata-rata per kapita di angka Rp 6.75 juta per tahun.
Make sense kah angka-angka yang didekati dengan Pareto Principle ini?. menurut saya sendiri sangat make sense oleh setidaknya dua bukti berikut :
-Menurut pengakuan Wali Kota Depok bapak Dr. Ir. Nur Mahmudi Ismail, MSc. Pendapatan perkapita penduduk Depok berada di kisaran Rp 8.2 juta.
-Berdasarkan standar moderate proverty-nya World Bank yang berada di US$ 2 /hari; orang dengan daya beli US$ 2 / hari atau lebih sudah tidak dikategorikan miskin. Dengan asumsi kurs Rp 9,000/US$, maka orang dengan penghasilan Rp 6,570,000/ tahun atau lebih (US$ 2/hari x 365 hari/tahun x Rp 9,000/US$ ), sudah tidak lagi dikategorikan miskin.
Jadi bila standard world bank yang kita gunakan, 80% penduduk Indonesia dengan berpenghasilan Rp 6.75 juta per tahun yang kita hitung berdasarkan Pareto Principle tersebut memang sudah tidak lagi tergategorikan sebagai penduduk miskin.
Masalahnya adalah uang kertas seperti Rupiah dan Dollar daya belinya terus menurun sehingga dia tidak bisa menjadi timbangan yang adil untuk mengukur kemakmuran. Islam memiliki standar baku yang valid sepanjang zaman sampai hari kiamat untuk mengukur batas antara yang miskin dan yang kaya ini, yaitu nishab zakat.
Bila nishab zakat 20 Dinar yang kita gunakan atau Rp 34 juta, 80 % penduduk Indonesia dengan penghasilan rata-rata Rp 6.75 juta tersebut diatas – hanya setara dengan penghasilan kurang lebih 20% dari nishab zakat. Maka dari kacamata nishab zakat tersebut kita bisa melihat bahwa 80% penduduk Indonesia sejatinya masih sangat miskin, meskipun bank dunia mengatakan bahwa kita sudah kaya !.
Lantas siapa yang berbohong?, menurut saya sendiri –-kemungkinan besar tidak ada yang (sengaja) berbohong. Kemungkinan yang terjadi adalah penggunaan data rata-rata per kapita yang tidak mewakili kondisi yang sesungguhnya dan penggunaan timbangan uang kertas yang tidak adil. Untuk menghindari polemik antara para pemuka agama yang mewakili para umatnya dengan pemerintah dalam hal data kemiskinan misalnya, ada dua hal yang menurut saya bisa dilakukan dengan adil dan elegan kedepan.
Pertama adalah setiap angka rata-rata seperti PDB per kapita Rp 27 juta tersebut diatas, harus pula dijelaskan sebarannya. Hanya dengan menggunakan teori sederhana seperti Pareto Principle saja kita sudah bisa melihat masalahnya secara lebih jernih, apalagi bila didukung dengan data detil yang actual di lapangan.
Kedua, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, maka tidak ada salahnya kemampuan untuk melewati nishab zakat menjadi benchmark target batas kemakmuran yang harus dikejar oleh siapapun pemerintah negeri ini. Rezim yang mampu mengajak rakyatnya secara mayoritas melampaui nishab zakat adalah rezim yang bisa memakmurkan bangsanya – dan juga sebaliknya.
Karena besaran nishab zakat (20 Dinar atau sekitar Rp 34 juta) untuk saat ini lebih dari 5 kali standar batas kemiskinan menurut bank dunia yang US$ 2 /hari (Rp 6.57 juta/tahun), maka umat agama lain pun pasti tidak ada yang keberatan dengan target kemakmuran versi nishab zakat tersebut. Justru disinilah rahmatan lil ‘alamin-nya Islam akan betul-betul juga dirasakan oleh penduduk negeri yang non muslim sekalipun. Amin.
Penulis adalah Direktur Gerai Dinar