Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
BUKANKAH puasa ini diwajibkan bagi orang-orang beriman? Hati tunduk sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Inilah bulan yang penuh kemuliaan, bulan yang Allah Ta’ala bukakan selebar-lebar pintu ampunan.
Ada hasad (dengki) yang perlu kita jauhi dan ada pula ghil yang jauh lebih samar, tetapi amat besar keburukannya. Hasad itu serupa iri, tepatnya perasaan dan keinginan untuk menghilangkan nikmat yang ada pada orang lain. Ia senantiasa gelisah melihat nikmat pada orang lain yang tidak disukainya. Hasrat terbesarnya adalah menghapuskan nikmat tersebut dari orang lain. Inilah keburukan besar yang membuat seseorang menderita tanpa ada yang menyakiti.
Adapun ghil adalah perasaan tidak suka beriring sakit di hati melihat orang lain, tanpa ada hujjah syar’i yang dapat dibenarkan, meskipun seseorang dapat mencari-cari pembenaran. Ini bukan lagi hasad terhadap nikmat yang ada pada seseorang, tetapi perasaan tidak suka kepada orangnya dan atas sebab itu ia bahkan dapat menderita batin. Padahal orang tersebut tidak melakukan keburukan maupun kejahatan kepadanya.
Jika orang memiliki ghil terhadap orang lain yang ia menganggapnya bukan kebencian pribadi melainkan semata karena kerusakan agamanya, maka segala fakta dan hujjah akan kehilangan makna. Yang menyelisihi keinginan merupakan alasan kuat untuk membenci, sementara tatkala didapati sesuai harapan tetap saja tidak memuaskan karena dianggap sebagai upaya mengelak. Ketika ada ghil, maka yang sedikit saja kesalahan akan menjadi cacat yang besar, sementara kebaikan yang besar tak bermakna baginya.
Maka alangkah besar pelajaran yang kita dapatkan dari kaum Muhajirin dan Anshar. Mereka saling mencintai karena Allah Ta’ala dan menolong satu sama lain dengan tulus karena ikatan iman. Mereka pun mendo’akan orang-orang yang lebih dulu dalam keimanan (سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ), yakni para sahabat yang lebih awal dan orang-orang beriman sebelumnya. Begitu penjelasan yang saya dapatkan dari As-Sa’di dalam tafsirnya.
Mari kita renungi sejenak do’a yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al-Qur’anul Kariim:
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِ خْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“O Tuhan kami, ampuni dosa kami dan dosa saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami ghil (perasaan dengki dan dendam) terhadap orang-orang yang beriman. O Tuhan kami, sesungguhnya Engkau amat melimpah belas kasihan dan rahmat-Mu.” (QS. Al-Hasyr, 59: 10).
Salah satu nikmat yang sangat besar di surga adalah dibersihkannya hati para ahli surga sehingga tidak ada ghil sedikit pun di hati mereka. Ghil yang sedikit? Merasa tidak nyaman, kurang terima atau sesak di dada terhadap orang lain. Semisal mendapati orang lain memperoleh lebih banyak kemudahan atau kesuksesan, padahal ia kalah ilmu atau bahkan kita yang mengajari. Tetapi ia lebih dipercaya, lebih dipandang orang. Jika kita merasa kurang nyaman atau agak sesak hati terhadapnya, itulah ghil yang ringan. Jika dibiarkan, akan berubah menjadi hasad yang sesungguhnya atau ghil yang lebih berat.
Kembali pada perbincangan awal. Apakah orang yang mudah memusuhi dan menyebarkan “keburukannya” tanpa dasar yang kuat berarti ada ghil yang berat pada dirinya? Belum tentu. Boleh jadi ia tergesa-gesa saja dalam menyimpulkan kabar.
Apakah orang yang tidak berubah pendapatnya, sikapnya dan keyakinannya tentang keburukan seseorang meskipun ia tak menemukan bukti atau bahkan telah ada padanya bantahan kuat berarti ia memiliki ghil yang sangat serius? Belum tentu juga. Boleh jadi ia dikalahkan oleh persangkaan buruknya. Ia lebih mengikuti persangkaan daripada data.
Ini semua merupakan perintang untuk melakukan kebaikan, penghalang untuk berjalan seiring dengan saudara seiman. Maka, marilah kita kembali mengingat dan menghayati do’a tersebut. Semoga Allah Ta’ala jauhkan kita dari ghil.
Semoga pula kita lebih mudah melapangkan hati terhadap sesama Muslim, terlebih terhadap mereka yang dulu mengajari kita agama ini. Kadang ada yang sangat berjasa menjadikan seseorang bersemangat terhadap agama.
Ilmunya memang tak seberapa, tapi tetaplah ia sangat berjasa mengenalkan seseorang pada agama. Tetapi ada yang lalai. Begitu belajar lebih luas tentang Islam, segera ia mencerca orang yang mengenalkannya pada agama tersebut. Padahal ia sendiri belum sangat mendalam ilmunya, sementara yang mengenalkan agama kepadanya tetap tidak terhapus jasanya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Semoga Allah Ta’ala berikan pula kepada kita hati yang bersih, jauh dari ghil sehingga termasuk orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersabda:
أفضل الناس كل مخموم القلب صدوق اللسان ، قالوا : صدوق اللسان نعرفه فما مخموم القلب ؟ قال : التقي النقي ، لا إثم فيه و لا بغي و لا غل و لا حسد
“Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bersih hatinya dan selalu benar atau jujur lisannya.” Kemudian mereka para sahabat berkata, mengenai jujur atau benar lisannya, kami sudah mengetahuinya, tetapi apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?” Beliau menjawab, “Yaitu seseorang yang bertakwa dan bersih, yang tidak terdapat dosa pada dirinya, tidak dzalim, tidak iri, dan juga tidak dengki.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu ‘Asakir).*
Mohammad Fauzil Adhim adalah penulis buku-buku parenting. Twitter @Kupinang