Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Hidayatullah.com | Di ANTARA persoalan yang paling menyedihkan ketika mendengarnya adalah mengenai sikap istri terhadap suami. Benar bahwa masing-masing hendaklah mendahulukan kewajiban daripada menuntut hak, tetapi menganggap buruk seorang perempuan yang mengingatkan suami atau meminta langsung haknya kepada suami tatkala suami lalai, merupakan perkataan yang sangat ganjil kalau tidak boleh dibilang bathil. Bersabar terhadap kezaliman suami itu baik, tetapi hak suami untuk diingatkan harus dipenuhi.
Benar hanya kepada Allah Ta’ala kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan. Perkataan “iyya-Ka” menegaskan bahwa tidak satu pun zat selain-Nya yang berhak kita mintai pertolongan. Dan itu yang kita ikrarkan setiap shalat dan setiap kali memba
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkau (satu-satunya) yang kami sembah, dan hanya kepada-Mu (semata) kami meminta pertolongan.”
Inilah ikrar yang harus kita pegang erat-erat dengan mengilmui. Jadi bukan menggunakan waham sehingga seolah setiap perkataan meminta atau memohon kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla itu bathil. Jika kaki Anda sedang sakit, sementara Anda perlu meminta tolong untuk mengambilkan sendok, mintalah suami atau anak untuk mengambilkan sendok. Itu bukan syirik. Seperti itu pula seorang istri yang meminta haknya dari suami, atau bahkan bukan dalam rangka meminta hak, melainkan justru untuk menolong suami agar tidak terjatuh pada kezaliman.
Karena itu aneh sekali dan tidak sesuai dengan tuntunan jika ada yang mengajarkan “kalau suami tidak memberikan hak kita, jangan minta kepadanya, minta langsung sama Allah”. Sedemikian rupa sampai-sampai ibu-ibu takut menegur suami atau meminta uang karena khawatir tidak termasuk istri shalihah; tidak termasuk muslimah beriman. Padahal sama seperti kalau Anda menyuruh jasa pengiriman untuk mengirim paket, itu bukan berarti telah melakukan dosa karena meminta kepada selain-Nya. Bukan, Saudaraku. Bukan.
Di masa Nabi ﷺ, pernah ada seorang perempuan bertanya mengenai apa yang dilakukan terhadap harta suaminya disebabkan suaminya pelit. Perempuan itu mengambil harta suaminya diam-diam, tanpa sepengetahuan suami. Lihat, apa yang dipesankan oleh beliau ﷺ kepada perempuan tersebut. Bukan menyuruh perempuan itu agar meminta kepada Allah Ta’ala untuk mengambil uang dari saku suami, tidak. Lalu apa yang dipesankan oleh Nabi ﷺ kepada perempuan tersebut? Mari kita tengok hadis berikut ini:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah ﷺ, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi ﷺ bersabda:
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari & Muslim).
Sungguh, yang paling mengenal Allah ‘Azza wa Jalla adalah Rasulullah ﷺ. Beliau yang paling teguh imannya, paling kuat tawakkalnya, paling ridha terhadap segala qadha dan qadarnya. Beliau sebaik-baik pemberi petunjuk. Dan apa yang beliau ﷺ sampaikan?
Ini semua memberi pelajaran kepada kita agar tidak serampangan mengambil kesimpulan dan menetapkan penilaian. Tidak pula gegabah menetapkan ukuran perempuan shalihah dan yang mengeluarkan darinya.
Apa tidak boleh kita memohon rezeki kepada Allah ‘Azza wa Jalla? Bukan saja boleh, bahkan sangat baik. Kita berdo’a sepenuh hati karunia rezeki yang halal dan dijauhkan dari yang haram, sekaligus memohon limpahan rezeki dari keutamaan-Nya sehingga tidak memerlukan kepada yang lain. Tetapi ini bukan untuk memintakan hak yang lupa ditunaikan oleh suami. Tugas Anda mengingatkan suami. Semoga yang demikian ini dapat menjadi sebab pahala serta dikumpulkannya suami-istri bersama-sama di jannah.
Adapun jika seorang suami sudah diingatkan, sudah pula diperingatkan, tetapi justru berlaku zalim dan sewenang-wenang sehingga dapat membahayakan diri sendiri jika mengingatkan, maka kepada Allah Ta’ala kita adukan semua. Alangkah buruknya suami yang seperti itu. Sekiranya istri berlapang hati saat berdo’a, maka do’akanlah kebaikan bagi suami. Mohonkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang menggenggam hati manusia agar suami berubah menjadi baik.
Pembahasan ini juga mengingatkan kepada para suami, bagaimana seharusnya sikap, tindakan serta perlakuan kepada istri serta keluarga secara keseluruhan. Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَاخَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi).
Dalam hadis yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap isteri-isterinya”. (HR. Tirmidzi).
Begitu. Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan barakah.*
Penulis Buku ‘Saat Berharga untuk Anak Kita’ dan Guru Motivasi Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu. Facebook
Baca artikel Fauzil Adhim lain: Kolom Meminang Surga