Hidayatullah.com | SHALAT JENAZAH adalah sesuatu yang dianjurkan dalam Islam, dan hukumnya Fardhu Kifayah. Kita sering melihat sebagian orang melakukan shalat ghaib untuk beberapa tokoh yang meninggal dunia. Tetapi sebagian yang lain tidak melakukan hal tersebut. Bagaimana sebenarnya hukum shalat ghaib tersebut. Tulisan di bawah ini menjelaskannya.
Para Ulama berbeda pendapat di dalam menghukumi shalat ghaib :
- Pendapat Pertama:
Shalat ghaib tidak disyariatkan di dalam Islam. Ini pendapat Hanafiyah (al-Kasani, Badai’ ash-Shonai’:1/312, az-Zaila’i, Nashbu ar-Royah : 2/183), dan Malikiyah serta riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka berdalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat ghaib kecuali atas Raja Najasyi. Ini menunjukkan kekhususan baginya.
Berkata al-Khurasyi di dalam Syarh Mukhtashor Khalil (2/142) : وصلاته عليه الصلاة والسلام على النجاشي من خصوصياته
“Shalatnya Rasulullah ﷺ kepada Najasyi masuk dalam katagori kekhususan beliau.“
- Pendapat kedua:
Shalat ghaib disyariatkan di dalam Islam. Tetapi khusus untuk orang Muslim yang meninggal dan ternyata belum dishalatkan oleh kaum Muslimin, atau karena dia berada di lingkungan non-Muslim, sehingga tidak ada yang menshalatkannya.
Ini pendapat Al-Khattabi dan ar-Ruyyani dari Syafi’iyah dan Abu Daud serta Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim (Zadu al-Ma’ad:1/145), Syekh al-Albani (Ahkam al-Janaiz: 93), serta Syekh Ibnu Utsaimin (asy-Syarhu al-Mumti’:5/438-440, dan Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin: 14/17).
Berkata al-Khattabi di dalam Ma’alim as-Sunan (3/542) :
لا يُصَلَّى عَلَى الْغَائِبِ إلا إذَا وَقَعَ مَوْتُهُ بِأَرْضٍ لَيْسَ فِيهَا مَنْ يُصَلِّي
“Tidak disyariatkan shalat ghaib kecuali atas orang Muslim yang meninggal dunia di tempat dimana tidak ada yang menshalatkannya.”
Disebutkan asy-Syaukani di dalam Nailu al-Author : 4/87).
- Pendapat Ketiga:
Shalat ghaib disyariatkan di dalam Islam, tetapi khusus untuk orang Muslim yang meninggal dan mempunyai jasa besar terhadap Islam, sebagaimana Raja Najasyi yang telah melindungi para Muhajirin.
Ini pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dipilih oleh Syekh Abdurrahman as-Sa’di, Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Dewan Tetap untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia yang dalam salah satu fatwanya (8/418) menyebutkan :
تجوز صلاة الجنازة على الميت الغائب لفعل النبي صلى الله عليه وسلم ، وليس ذلك خاصاً به ، فإن أصحابه رضي الله عنهم صلوا معه على النجاشي ، ولأن الأصل عدم الخصوصية ، لكن ينبغي أن يكون ذلك خاصاً بمن له شأن في الإسلام ، لا في حق كل أحد
“Dibolehkan shalat jenazah atas mayit yang ghaib, karena hal itu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan termasuk kekhususan beliau, karena para sahabat ikut shalat bersamanya, dan karena pada dasarnya tidak terdapat kekhususan, tetapi hendaknya ini dikhususkan untuk mayit yang mempunyai jasa dalam Islam, tidak untuk semua orang.“
- Pendapat Keempat:
Shalat ghaib disyariatkan di dalam Islam atas setiap Muslim yang meninggal, walaupun sudah dishalatkan di tempatnya. Ini pendapat asy-Syafi’yah dan Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur.
Berkata an-Nawawi di dalam al-Majmu’ (5/211) :
مذهبنا جواز الصلاة على الغائب عن البلد
“Madzhab kami, bahwa dibolehkan shalat ghaib, bagi yang meninggal dunia di luar kota.”
Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni (2/195 ) :
وتجوز الصلاة على الغائب في بلد آخر بالنية فيستقبل القبلة , ويصلي عليه كصلاته على حاضر
“Dibolehkan shalat atas mayit yang meninggal di luar kota, dengan menyertai niat dan menghadap kiblat, sebagaimana shalat atas jenazah yang hadir.“
Berkata al-Mardawai di dalam al-Inshof (2/533) :
( ويصلي على الغائب بالنية ) هذا المذهب مطلقا ( يعني سواء صُلِّي عليه أم لا ، وسواء كان له نفع عام للمسلمين أم لا ) , وعليه جماهير الأصحاب وقطع به كثير منهم
“Boleh shalat ghaib secara mutlak dengan niat, inilah Madzhab Ahmad, dibolehkan secara mutlak, baik mayit tersebut sudah dishalatkan atau belum, mempunyai manfaat umum bagi umat Islam atau tidak. Inilah pendapat mayorits ulama Hanabilah. Kebanyakan mereka menyakini hal tersebut.”
Baca juga: Hukum Membatalkan Lamaran
Kesimpulan
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat ghaib disyariatkan khusus atas orang Muslim yang meninggal dan ternyata belum dishalatkan oleh kaum Muslimin, atau karena dia berada di lingkungan non-Muslim, sehingga tidak ada yang menshalatkannya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil di bawah ini :
Satu, Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukan shalat ghaib kecuali atas Raja Najasyi. Sebagaimana kita ketahui beliau menyembunyikan keislamannya, bahkan sampai akhir hayatnya tidak diketahui oleh orang-orang yang disekelilingnya, sehingga tidak ada satupun orang Islam yang menshalatkannya, maka Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya melaksanakan shalat ghaib atas jenazahnya.
Dua:
Pada zaman Rasulullah ﷺ tidak sedikit kaum Muslimin yang meninggal dunia, baik yang berjasa kepada Islam maupun yang lainnya, tetapi tidak ada satu riwayatpun yang menyebutkan bahwa beliau melaksanakan shalat ghaib kecuali yang disebutkan di atas.
Tiga:
Ketika para pemimpin Islam yang sangat berjasa kepada Islam, seperti Khulafa’ Rasyidin dan yang lainnya meninggal dunia, kita tidak mendengar bahwa kaum Muslimin yang berada di daerah-daerah luar kota Madinah melaksanakan shalat ghaib atas mereka.
Berkata Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim di dalam Zaad al-Maa’d (1/145) :
قال: ” الصواب: أن الغائبَ إن مات ببلد لم يُصلَّ عليه فيه، صُلِّيَ عليه صلاة الغائب، كما صلَّى النبي صلى الله عليه وسلم على النجاشي، لأنه مات بين الكفار ولم يُصلَّ عليه. وإن صُلِّيَ عليه حيثُ مات لم يُصلَّ عليه صلاة الغائب؛ لأن الفرض قد سقط بصلاة المسلمين عليه. والنبي صلى الله عليه وسلم صَلًّى على الغائب وتَرَكَه، وفِعلُه وتَرْكُه سُنَّة، وهذا له موضع، وهذا له موضع، واللّه أعلم، والأقوال ثلاثة في مذهب أحمد، وأصحها: هذا التفصيلُ
Beliau berkata: “Pendapat yang benar bahwa mayit ghaib, jika meninggal dunia di tempat yang tidak ada orang yang menshalatkannya, maka dilaksanakan shalat ghaib untuknya, sebagaimana Rasulullah ﷺ atas Najasyi, karena beliau meninggal dalam lingkungan orang-orang kafir.
Jika si mayit tersebut sudah dishalatkan maka tidak perlu dishalatkan ghaib kembali, karena kewajibannya telah gugur dengan adanya pelaksanaan shalat jenazah terhadapnya dari kaum Muslimin.
Dalam hal ini Nabi ﷺ pernah melakukan shalat ghaib dan telah meninggalkan pula, perbuatannya dan tidak melakukannya dari beliau kedua-duanya merupakan sunnah. Yang ini ada tempatnya dan yang itu juga ada tempatnya sendiri.
Wallahu A’lam.
Ketiga pendapat ini terdapat dalam Madzhab Ahmad, tetapi yang paling benar adalah yang diperinci seperti ini.
Walaupun demikian, kita tetap menghormati pendapat ulama-ulama lain dalam masalah ini. Jika kita dalam shalat jama’ah sebagai makmum, sedangkan Imam meminta para jamaa’ah untuk melaksanakan shalat ghaib atas seorang tokoh, maka boleh mengikutinya, sebagai bentuk penghormatan dan persatuan. Wallahu A’lam.*
Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA, Pusat Kajian Fikih dan Ilmu-ilmu Keislaman (PUSKAFI)
Baca juga: Mencium Jenazah, Bolehkah?