Hukum sesajen haram; dakwah Wali Songo tidak mengajarkan kita melegalkan kegiatan musyrik sesajen, melegalkan atau membela sesajen yang viral di media sosial sama halnya mengembalikan masyarakat pada kemusyrikan
Hidayatullah.com | LAGI-LAGI media sosial ramai dengan pembahasan masalah klasik usang, yang duduk perkaranya sangat terang benderang yakni tentang hokum sesajen. Hukum sesajen yang haram begitu jelas mulai diburamkan, memaksa kita harus kembali membahasnya demi mengedukasi umat yang kian penuh cobaan, dengan munculnya berbagai oknum kiai yang bangga dengan gelar toleralis, mudah-mudahan bongkahan klasik nan usang ini tidak menjadikan kita menyia-nyiakan waktu.
Untuk memahami hukum sesajen, terlebih dahulu perlu dipahami pengertian sesajen secara utuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, sesajen atau sajen adalah makanan (bunga-bungaan, buah, lauk-pauk matang, mentah dan sebagainya) yang disajikan kepada ‘makhluk halus’ dan sebagainya.
Sesajen berarti sajian atau hidangan, yang memiliki nilai sakral di sebagian besar masyarakat kita pada umumnya. Penyajian sajen dilakukan untuk ngalap berkah (mencari berkah) di tempat-tempat tertentu, atau menolak bahaya dari makhluk halus karena tempat tersebut diyakini keramat.
Sedangkan waktu penyajian, biasanya akan ditentukan pada hari-hari tertentu, seperti malam Jum’at Kliwon, Selasa Legi dan lain sebagainya. Adapun bentuk sesajiannya, juga cukup bervariasi tergantung permintaan atau sesuai “bisikan ghaib” yang di terima oleh orang pintar, paranormal, dukun dan lain sebagainya.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat digaris-bawahi bahwa sesajen merupakan sajian yang dipersembahkan kepada jin atau mahluk halus, yang diyakini dapat memberikan manfaat serta memberikan madharat (bahaya) kepada manusia.
Jauh sebelum hari ini, ulama telah membahas hukum pelaku sesajen. Salah satunya adalah Mbah Sholeh Darat, guru daripada KH. Hasyim Asy’ari, Raisul Akbar Nahdlatul Ulama, dengan vonis yang sangat berat yakni murtad bagi pelakunya.
Dalam kitab beliau yang bertema “Majmu’ah Syar’iyah” dengan tulisan huruf Arab pegon bahasa Jawa, Mbah Shaleh Darat menjelaskan, yang terjemahannya adalah sebagai berikut :
“Dan macamnya murtad yang no 3, adalah murtad secara perbuatan dan pakaian, seperti sujud kepada berhala, atau merawat danyangan parahiyangan, dengan menyediakan makanan pada tempat dupa, atau di persawahan, atau di mana saja tempat yang di sangka ada jin/dedemitnya, lalu di berikan sesajen agar demitnya memberikan berkah, atau menolak bahaya. Semua hal itu menyebabkan kekufuran.”
Dalam kajiannya, KH. Shaleh Darat juga memberikan penjelasan kepada orang awam, bahwasanya jin, setan, hewan, manusia bukanlah makhluk yang dapat memberikan manfaat atau madharat (bahaya) kepada manusia tanpa seizin dan kuasa Allah. Logikanya, jika jin atau setan memiliki kemampuan tersebut, tentunya tidak ada satupun manusia yang tersisa di bumi ini, karena setan adalah makhluk yang paling memusuhi dan membenci manusia.
Secara akidah, jika seseorang meyakini bahwa setan atau jin dapat memberikan manfaat atau madharat kepada manusia, maka hukumnya adalah murtad. Itulah sekelumit penjelasan dari ulama Nusantara yang merupakan Guru daripada KH. Hasyim Asy’ari, Raisul Akbar Nahdlatul Ulama.
Dengan demikian maka, problem sesajen ini adalah rusaknya akidah pelakunya. Sebagaimana definisi dari sesajen itu sendiri.
Sesajen – KH Sholeh Darat.jpg
Hal ini tentu berbeda jauh dengan apa yang diajarkan oleh para Wali Songo, yang dengan bijaknya mentransformasi kegiatan-kegiatan musyrik. Kenduri misalnya, yang awalnya diberikan untuk jin, dengan tujuan musyrik pula, kemudian diubah oleh Wali Sngo dengan memberikan makanan kenduri tersebut kepada masyarakat dengan bentuk shadaqah (selamatan).
Kegiatan dilaksanakan dengan berdzikir yang bertujuan wasilah, mendapatkan keberkahan dan menolak balak, seperti acara istighatsah, kirim doa untuk arwah leluhur, dan sebagainya. Tentu saja apa yang dilakukan para Wali Songo ini memiliki dasar, karena memang para wali Allah adalah sosok yang alim dalam ilmu agama, yakni Hadits Nabi ﷺ yang berbunyi :
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ
“Sedekah itu dapat memadamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang jelek.” (HR: Tirmidzi no. 664).
Jelas sekali dakwah Wali Songo tidak mengajarkan kita untuk melegalkan kegiatan musyrik sesajen, karena justru kemusyrikan itulah yang menjadi poin utama untuk didakwahi. Melegalkan atau membela sesajen yang viral di media sosial saat ini, sama halnya mengembalikan masyarakat kepada kemusyrikan.
Selanjutnya, sedekah yang notabene berupa makanan, memang tidak harus ditujukan kepada manusia,5 bisa saja memberikan makanan kepada ikan, kucing, ayam, burung, dan lain sebagainya, yang dalam fiqih tidak dilarang dan perbuatan tersebut tidak5 merupakan penyia-nyiaan terhadap harta, itulah yang dimaksud di dalam kitab Nihayatul Muhtaj yang berbunyi sebagai berikut:
ﻓﻤﺎ ﻳﻘﻊ اﻵﻥ ﻣﻦ ﺭﻣﻲ اﻟﺨﺒﺰ ﻓﻲ اﻟﺒﺤﺮ ﻟﻄﻴﺮ اﻟﻤﺎء ﻭاﻟﺴﻤﻚ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﻗﻴﻤﺔ؛ ﻷﻧﻪ ﻗﺮﺑﺔ
“Apa yang terjadi saat ini dengan melempar roti ke laut untuk binatang laut dan ikan adalah tidak haram, meskipun memiliki harga sebab hal itu termasuk sedekah kepada hewan.” (Nihayatul Muhtaj, 7/367).
Apa yang tertera dalam kitab Nihayatul Muhtaj di atas konteksnya jelas bukan sesajen, tapi memberi makan terhadap hewan yang memiliki konotasi jauh berbeda dengan sesajen. Memberi makanan hewan, tentunya harus disesuaikan dengan jenis hewan yang dimaksud, dan tidak ada syarat makanan tersebut, harus diletakkan dalam satu nampan, atau wadah tertentu, seperti yang diberlakukan dalam tradisi membuat sesajen.
Memberi makan hewan juga tidak ada syarat harus dilakukan pada hari-hari tertentu, seperti saat meletakkan sesajen di saat maupun tempat tertentu. Sesajen dipersembahkan untuk jin, setan atau makhluk halus, dengan keyakinan dapat memberikan manfaat dan menjauhkan dari bahaya, sedangkan memberi makan hewan merupakan bentuk kasih sayang manusia kepada sesama makhluk Allah.*/ diolah dari tulisan Tim AMAL (Aswaja Menangkal Aliran Liberal)