Hidayatullah.com- Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW) Neta S. Pane mengatakan dalam menyikapi konflik sosial yang terjadi akhir akhir ini, elit pemerintah ataupun Polri jangan hanya menyalahkan masyarakat. Tetapi, juga harus mau serta mampu mengevaluasi kinerja, sikap dan prilaku aparatur di lapangan.
“Mereka (para aparatur) cenderung tidak profesional, terlalu asyik di wilayah nyaman dan cenderung menjadi ‘raja kecil’,” kata Neta dalam siaran persnya kepada redaksi hidayatullah.com, Selasa (02/08/2016) kemarin.
IPW menilai, pasca konflik Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) yang terjadi di Tanjungbalai Sumatera Utara, elit pemerintah dan Polri cenderung menyalahkan masyarakat Muslim, yang menurut mereka terlalu gampang diprovokasi.
“Tak ada satu pun yang menyalahkan kinerja, sikap dan perilaku aparatur yang lamban bertindak dan membiarkan potensi konflik terjadi,” ujarnya.
Menurut Netam, sikap elit yang hanya menyalahkan masyarakat Muslim tidak akan pernah menyelesaikan bibit konflik. Padahal, di lapangan, seperti di Sumatera Utara, aparatur cenderung membiarkan tumbuh suburnya aksi perjudian ilegal, pelacuran, backing mem-backing dan sebagainya.
“Hal ini yang kerap menyuburkan kebencian masyarakat pada etnis tertentu (di sana),” tegasnya mengimbau.
IPW mencatat, pulau Sumatera merupakan daerah rawan konflik sosial. Setidaknya ada empat konflik sosial yang terjadi yakni, di Sijunjung Sumatera Barat pada 26 Juli 2016, Tanjungbalai dan Tanah Karo Sumatera Utara pada 29 Juli 2016, dan Aceh Pidi pada 30 Juli 2016 warga mengamuk memprotes pembangunan pabrik semen.
Bahkan, dari Januari hingga Juli 2016, di Sumatera Barat ada tujuh konflik sosial yakni, di Padang (isu Ahmadiyah), Pesisir Selatan (isu sengketa batas wilayah), Solok Selatan (isu tenaga kerja asing), Agam (konflik warga vs PT Mutiara Agam), Pasaman Barat (konflik lahan perkebunan sawit dengan warga), Padangpariaman (konflik warga dengan pengusaha galian C, dan Sijunjung (konflik tapal batas).
IPW menilai, konflik yang terjadi di Indonesia umumnya akumulasi dari ketidakadilan dan sikap diskriminasi aparatur terhadap pihak tertentu. Selain itu, juga akibat dari ketidakadilan politik, sosial, ekonomi, dan program pembangunan yang tidak seimbang.
Elit pemerintah, lanjut Neta, terutama Polri perlu mencermati fenomena ini, sehingga tidak cenderung menyalahkan masyarakat. Polri justru diharapkan untuk mengevaluasi kinerja para pimpinannya di daerah serta mengevaluasi sikap dan prilaku aparaturnya. Karena itu, pola rekruitment, assesment, dan penempatan figur-figur pimpinan Polri di daerah, seperti untuk Kapolres dan Kapolda perlu ditata ulang agar para pimpinan Polri di daerah mau lebih peduli, lebih peka, responsif, tidak diskrminatif, tidak menjadi backing, tidak keasyikan berada di zona nyaman atau menjadi ‘raja kecil’.
“Dengan demikian potensi konflik bisa cepat diatasi hingga tidak terbiarkan menjadi amuk massa,” pungkasnya.*