Hidayatullah.com–Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Senin meminta kongres untuk memperpanjang darurat militer di Mindanao, lansir Philstar.
Duterte menyampaikan pemberontakan masih berlanjut di Mindanao.
Karena itu, perpanjangan darurat militer menjadi kebutuhan.
Pernyataan itu disampaikan Duterte melalui surat resminya kepada kongres.
Baca: Pemimpin Gereja Filipina Tolak Intervensi Amerika di Marawi
Dalam suratnya, Duterte mengatakan perpanjangan ini akan memudahkan militer dan kepolisian mengakhiri pemberontakan di Mindanao.
“Perpanjangan ini juga untuk mencegah pemberontakan di negara bagian lainnya,” kata Duterte dalam suratnya dikutip Anadolu.
Duterte mencatat Kelompok Abu Sayyaf, Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF), Daulah Islamiyah (DI) dan kelompok lainnya terus melakukan perlawanan di wilayah tersebut.
Dalam laporannya, militer mengatakan setidaknya ada empat pemboman di Kota Lamitan, Basilan, Isulan, Sultan Kudarat, dan General Santos City tahun lalu.
“Pasukan DI terus melanjutkan pemberontakan mereka terhadap pemerintah dengan melanjutkan tindakan aktivitas mereka, dan terus merekrut anggota baru, terutama di komunitas Muslim yang rentan,” kata Duterte.
Duterte juga menyebut kelompok-kelompok komunis secara terbuka menyatakan keinginan merebut kekuasaan politik melalui kekerasan.
Faksi Abu Sayyaf di Sulu juga terus melakukan penculikan untuk meminta tebusan.
“Yang di atas hanya menggambarkan secara umum pemberontakan yang berkelanjutan di Mindanao. Saya akan mengirimkan laporan yang lebih rinci dalam pemberontakan yang berlangsung dalam beberapa hari ke depan,” kata Duterte.
Sebelumnya sejumlah aktivis HAM di Filipina telah menentang perpanjangan darurat militer di Mindanao.
Organisasi Gerakan Melawan Tirani-Mindanao Utara (MAT-NMR) mengatakan darurat militer di Mindanao yang dimulai Mei 2017 tidak membawa apa pun kecuali ketakutan, pelanggaran hak asasi manusia, dan kehancuran di Mindanao, terutama di kalangan petani, masyarakat adat, dan komunitas Moro.
“Sudah 560 hari sejak perang pemerintah di Marawi dan deklarasi darurat militer di seluruh Mindanao. Sejak itu, telah terjadi peningkatan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai sektor dan wilayah di pulau itu,” kata Allan Khen Apus, aktivis MAT-NMR.
Organisasi itu mencatat sejumlah pelanggaran HAM telah terjadi Mindanao Utara. Antara lain paksaan bagi kelompok pemberontak untuk menyerahkan diri sebanyak 16 insiden dengan 927 korban.
Penangkapan masal dan ilegal sebanyak 16 insiden dengan 43 korban serta tuduhan palsu sebanyak 10 insiden dengan 47 korban.
Darurat militer pertama kali dideklarasikan di Mindanao setelah pasukan Filipina dan milisi kelompok Maute bentrok di Marawi pada Mei tahun lalu.
Meski Duterte menyatakan telah mengambil alih Marawi pada Oktober 2017, darurat militer tetap diberlakukan atas Mindanao.*