Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | Rasulullah ﷺ berpesan: ”Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).
Disamping al-Quran dan Hadits, Nabi ﷺ juga mewariskan ulama-ulama yang menjaga al-Quran dan Hadits. Para ulama itu menjaga al-Quran dan Hadits dengan merumuskan ilmu-ilmu untuk memahami Al-Quran dan Hadits, seperti ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, dan sebagainya.
Karena kedudukannya yang begitu penting, Rasulullah ﷺ memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah ﷺ , juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama.
Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam. Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., dan para sahabat Nabi terkemuka menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang – pertama kali – harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid.
Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, ”Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Dikutip dari karya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar). Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi.
Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mu’tazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan.
Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya. Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah ﷺ terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su’).
Kata Nabi ﷺ : ”Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.” Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya’ Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ’ulama dunia’. Rasulullah ﷺ bersabda: ”Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat.” (HR at-Tirmidzi).
Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih berbahaya bagi umat manusia. Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan kejahilan yang berat.
Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini. Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran, sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran.
Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauan ilmu (confusion of knowedge). Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan kepada keraguan dan kekufuran.
Kejahilan dan kejahatan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang berat. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh. “Termasuk hal yang aku khawatirkan menimpa umatku adalah orang-orang berilmu yang salah dan orang-orang munafik yang berhujjah dengan al-Quran.” Begitu peringatan Rasulullah ﷺ .
Jadi, tugas penting para ulama adalah menjaga warisan para Nabi, yaitu ilmu-ilmu dan misi kenabian. Jangan sampai ilmu-ilmu kenabian itu dirusak oleh ilmuwan-ilmuwan yang salah ilmunya. Jangan sampai metode tafsir al-Quran yang benar diganti dengan metode tafsir yang menyimpang dari warisan Rasulullah ﷺ dan para ulama yang shalih.
Karena itu, kita berharap, jangan sampai MUI salah dalam ilmu. Sebab, menjaga dan memperjuangkan ilmu yang benar, itulah misi dan tugas utama para ulama pewaris Nabi. Sudah saatnya, MUI secara aktif memandu konsep-konsep pembangunan bangsa, agar pembangunan bangsa kita mengutamakan pembangunan manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945, pasal 31 (3).
*****
Pada 27 November 2020, terbentuklah pimpinan MUI periode 2020-2025. Ketua Umum MUI: KH Miftahul Akhyar, Ketua Dewan Pertimbangan MUI: KH Ma’ruf Amin, dan Sekjen: Dr. Amirsyah Tambunan. Amanah yang diemban para pimpinan MUI itu sangatlah berat. Kita doakan mereka semua dapat mengembannya.*
Penulis KetuaUmum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia