Hidayatullah.com— Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) No. 30 Tahun 2021 kembali menuai kecaman. Aktivis perempuan, Tuti Alawiyah, menyoroti salah satu implikasi yang dikhawatirkan dari dilaksanakannya Permendikbud 30, yaitu pendidikan seks yang sangat vulgar.
Hal itu dikemukakan oleh alumnus Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta itu dalam wawancara via Whatsapp pada Kamis (04/11) lalu. “Di pasal 6 ayat 2 dalam Permendikbud tersebut, dinyatakan bahwa pemerintah akan mewajibkan mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan untuk mempelajari modul pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ditetapkan oleh kementrian. Modul pencegahan macam apa yang dimaksud di sini? Sekarang sudah banyak yang membicarakan soal Comprehensive Sexuality Education atau CSE. Apa CSE itu yang akan dijadikan modul?” ujar perempuan muda yang akrab dengan panggilan Awi ini.
CSE, meski namanya terdengar baik, pada kenyataannya mengandung banyak masalah. “Di negara-negara Barat yang sekuler saja, CSE masih ditolak. Kok malah mau dijadikan pegangan untuk masyarakat Indonesia yang punya norma agama dan sosial yang jelas-jelas bertolak belakang dengannya,” ungkap Awi lagi.
Yang ditawarkan oleh CSE, menurut Awi, bukan sekedar pendidikan seks biasa, melainkan pendidikan seks yang sangat vulgar. Saking vulgarnya, tidak sedikit orang Barat yang merasa risih dengan pola pendidikan seperti itu.
“Salah satu penentang CSE ini adalah Family Watch International atau FWI. Menurut FWI, CSE merupakan sebuah metode pendidikan seks berdasarkan pendekatan yang radikal, vulgar, memperkenalkan hak-hak dan kepuasan seksual yang mendorong aktivitas seksual anak, mempromosikan seks bebas, aborsi dan hak-hak LGBT sebagai hal-hal berharga dari kesehatan seksual,” tandas Awi.
Mengingat norma yang dijunjung tinggi dalam Permendikbud ini adalah kebebasan pribadi dan seks berdasarkan persetujuan (sexual consent), tanpa mempertimbangkan apakah hubungan seksual itu dilakukan oleh pasangan yang sah atau tidak, maka kekhawatiran akan diterapkannya metode semacam CSE pun menjadi sangat berdasar.
“Mau jadi apa anak-anak Indonesia ke depannya, kalau berzina atas nama consent dibiarkan oleh institusi pendidikan?” ujar gadis yang diamanahi sebagai Koordinator Humas di komunitas Solidaritas Peduli Jilbab (SPJ) ini.
Seperti sejumlah aktivis lainnya, Awi juga mengkritisi Permendikbud yang bisa dibilang hanya menyalin saja dari RUU PK-S yang tempo hari telah ditolak di DPR. “RUU-nya tidak lolos, malah langsung dijadikan Permen. Padahal, fakta bahwa RUU-nya tidak lolos itu menunjukkan bahwa memang ada masalah besar. Tapi kenapa langsung dijadikan peraturan menteri?” pungkasnya.
Permendikbud No. 30 Tahun 2021 telah ditolak oleh berbagai ormas Islam seperti Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Majelis Ormas Islam (MOI), Muhammadiyah, dikritisi oleh para akademisi, dan juga komunitas seperti #IndonesiaTanpaJIL (ITJ). Di DPR, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) juga telah secara resmi menyatakan penolakannya.*/SPI Media Center