Oleh: Daru Nur Dianna
Hidayatullah.com | PERGURUAN TINGGI sebagai organisasi memerlukan kepemimpinan dan manajemen yang baik agar menjadi lembaga pendidikan yang bermutu. Tanpa kepemimpinan dan manajemen yang berkualitas, tujuan institusi tidak akan bisa tercapai.
Di Malaysia, ada sebuah institusi pendidikan tinggi yang telah dipimpin dan dimanajemeni dengan baik. Institusi ini bernama ISTAC (International Institut of Islamic Thought and Civilization) yang beralamat di 205A Jalan Damansara.
Institusi ini tercatat menjadi sebuah institusi yang unik dan melegenda di dunia Islam, terkhusus Dunia Melayu. Perintis dan direktur institusi ini adalah seorang tokoh besar kontemporer bernama Syed Muhammad Naquib al-Attas—selanjutnya disebut Naquib al-Attas.
Maka, sebab inilah juga, salah satu keunikan dan kelebihan Naquib al-Attas sebagai seorang pemikir, adalah pengalamannya menjadi Founder-Director ISTAC dari tahun 1987 sampai tahun 2002.
Tidak seperti pemikir lainnya yang hanya memiliki karya besar berupa buku, Naquib al-Attas memiliki karya lain berupa sebuah intitusi pendidikan tinggi yang berkualitas.
Maka, ini menegaskan bahwa Naquib al-Attas bukanlah seorang pemikir saja, namun juga seorang praktisi. Lebih unik lagi, ISTAC tersebut adalah tempat di mana pemikiran dari falsafahnya diturunkan kepada level praksis.
Sehingga, apa yang ada di ISTAC, pada hakikatnya, adalah bentuk implementasi ide dan gagasan-gagasan Naquib al-Attas sendiri. Gagasan-gagasannya mengenai pendidikan dan pemikiran, terefleksikan dengan jelas di dalam visi-misi, kurikulum, manajemen sumber daya manusia, serta sarana dan prasarananya.
Wan Daud menguraikan dengan komprehensif dalam karya “The Beacon on the Crest of a Hill: A Brief History and Philosophy of the International Institute of Islamic Thought and Civilization”, bahwa intinya Naquib al-Attas telah berusaha berperan secara totalitas dalam perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan dalam proses pendirian ISTAC.
Jika dilihat dari keberhasilan Naquib al-Attas dalam mengimplementasikan ide dan gagasannya di dalam unsur-unsur pendidikan, maka ini adalah tanda bahwa Naquib al-Attas telah berhasil menjalankan peran dan fungsi sebagai pemimpin dan manajer yang baik.
Misalnya, disebutkan, bahwa Naquib al-Attas menghendaki semua dalam konstruksi bangunan besarnya secara sempurna signifikan dan bermakna, mulai dari lansekap area, untuk menggambar rencana bangunan, sekaligus seluruh komposisi strukturnya meliputi jendela yang bagus, lengkungan (arches), pintu, pagar besi (grills), plafon, birai (balustrades), kepala tiang (capitals), hiasan atas dinding (cornices), konsol penyangga (corbels), tangga, gerbang, halaman gedung yang dikelilingi tembok (courtyard), dan air mancur (fountains)—dan juga kepada furnitur dan dekorasi interior.
Aspek fisik ISTAC, didesain untuk menagkap dimensi intelektual dan spiritual yang berakar pada tradisi Islam, tanpa menolak pengaruh Barat yang baik. Pada data-data fakta yang telah ditulis di berbagai sumber dan kenyataan sekarang, bangunan ISTAC mendapatkan banyak pujian dari berbagai kalangan, termasuk Gulzar Haider (Profesor Arsitektur Carleton University) dan Seyyeid Hossen Nasr.
Dari keberhasilan dan keunikan inilah, tak heran ISTAC juga terkenal sebagai sebuah tempat bertemunya antara ide dan seni, antara teori dan realiti, dan antara tradisi dan misi. Salah satu ide dan gagasan Naquib al-Attas, adalah sengaja melakukan prosesi simbolik peletakan batu pertama dalam membangun bangunan tetap ISTAC bertepatan pada 27 Rajab 1420 H yang hari itu adalah hari peringatan penting umat Islam dengan adanya peristiwa Isrā’ wa’l-Mi‘rāj.
Dalam naskah khutbah peresmian yang tidak diterbitkan, yang dijelaskan ulang oleh Wan Daud dalam karya “The Educational Philosophy and Practices of Syed Muhammad Naquib al-Attas”, Naquib al-Attas mengatakan bahwa ia sengaja berusaha mengekspresikan kehadiran Islam yang memiliki atmosfer ketenangan yang di dalamnya melahirkan pemikiran-pemikiran brilian dan mulia. Ia berusaha memunculkan budaya Islam yang bebas dari kekejian dan tradisi sekular.
Dengan bangunan dan budaya yang indah itu, ia menginginkan pekerjaan intelektual dan penelitian dilakukan. Kemudian, agar nuansa spiritual dan intelektual itu muncul, ISTAC sengaja dibuat menghadap kiblat dan upacara peletakan batu pertamanya, adalah saat peringatan Isrā’ wa’l-Mi‘rāj.
Lanjut cerita Wan Daud dalam “The Beacon on the Crest of a Hill”, peristiwa peletakan batu pertama itu ditandai dengan upacara kecil di mana menempatkan sebuah pasak di tengah kompleks tempat air mancur itu sekarang berdiri. Kemudian dibacakan doa singkat agar Allah Swt. melimpahkan berkah-Nya di ISTAC, dan berdoa agar diberikan beberapa pengetahuan (al-‘ilm) dan kebijaksanaan (al-ḥikmāh) yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ ketika singgah ke Sidrat al-Muntahā (tempat tertinggi), bagi mereka yang mencarinya. Selain itu air mancur itu sebagai simbol pengetahuan, dan sekaligus makna besar Allah Swt. menjadikan dari air segala sesuatu yang hidup.
Hal ini sengaja dilakukan oleh Naquib al-Attas dengan maksud melakukan desekularisasi. Keputusannya ini dibuat sesuai berdasarkan apa yang dipahami dalam weltanschauung atau worldview Islam yang telah diaplikasikan dalam sejarah Islam, termasuk Dunia Melayu.
Sehingga, jika aspek fisikal sebuah bangunan ataupun nilai dari sebuah momentum dikaitkan dengan nilai-nilai religius, maka akan menjadi tradisi yang tidak sekuler. Prinsip ini juga sama dengan setting bangunan ISTAC yang sengaja dihadapkan kiblat.
Konsep dan praktik tersebut dapat menjadi inspirasi bagi para pemimpin dan manajer institusi pendidikan, bahwa dalam memutuskan dan melakukan kegiatan ataupun momentum penting pada desain dan pengaturan unsur-unsur pendidikannya, perlu memperhitungkan aspek spiritual.
Cerita ISTAC dan peletakan batu pertama pada momentum Isrā’ wa’l-Mi‘rāj ini adalah salah satu contoh. Sudah seyogyanya, umat Islam tidak terlarut dalam budaya sekuler yang memisahkan kehidupannya dengan nilai-nilai spiritual.
Maka, dapat disimpulkan, bahwa dengan adanya hubungan antara ruh spiritual dan bangunan fisik, adalah sesuatu yang penting dalam membangun sebuah lembaga pendidikan yang adil dan beradab.*
Alumnus PKU UNIDA Gontor XII