oleh: Edy Mulyadi
BEBERAPA hari silam Jokowi menyatakan keinginannya kabinet bersih dari orang Parpol. Hati terasa adem tentrem mendengar pernyataan yang sepertinya menegaskan kembali komitmennya saat kampanye Capres.
Sebelum ini, beberapa bulan silam, mantan Wali Kota Solo itu memang sesumbar tidak akan ada acara bagi-bagi kursi dalam penyusunan kabinet.
Mudah-mudahan Jokowi mau belajar dari sejarah. Setelah 16 tahun reformasi, praktik ‘dagang sapi’ membuat Indonesia tidak kunjung terbang. Buat para elit, berkuasa berarti menumpuk dan menggelembungkan pundi-pundi yang digunakan untuk kembali melanggengkan kekuasaan. Perkara nasib dan kesejahteraan rakyat, itu urusan nomor 248.
Ide Jokowi agar menteri lepas dari pengurus Parpol memang belum jelas bentuknya. Tapi sudah bisa dipastikan, kalau gagasan ini menggelinding dengan mulus, maka bakal menjegal sejumlah kader partai yang dianggap potensial jadi menteri. Mereka antara lain Tjahjo Kumolo, Puan Maharani, dan, tentu saja, Muhaimin Iskandar.
Politik, di Indonesia, memang lucu sekaligus naif. Ketika arah angin kemenangan makin kencang berhembus ke kubu Jokowi-JK, maka sejumlah orang sibuk ancang-ancang. Mereka yang merasa pantas masuk lingkaran kabinet, mulai mematut diri. Ada yang norak dan vulgar, juga ada yang cool dan menempuh cara-cara smart.
Bolak-balik molor
Jokowi dan tim Rumah Transisinya, bisa jadi, kini tengah sibuk berkutat menyusun kompoisi kabinet dan siapa saja yang layak masuk. Begitu serunya pemberitaan seputar soal ini, hingga publik mungkin lupa memerhatikan satu hal, Jusuf Kalla.
Kenapa tokoh yang akrab disapa JK ini terlihat anteng-anteng saja? Beberapa hari lalu, dia diketahui justru asyik berlibur bersama anak dan cucunya ke Amerika Serikat. Ada yang bilang, dia liburan, belanja-belanja, dan general check up rutin. Seolah-olah dia tidak peduli dengan siapa akan menjadi apa di kabinetnya kelak.
Benarkah demikian? Satu hal yang pasti, dalam foto-fotoya yang beredar di media sosial, ada Sofjan Wanandi dalam rombongan JK. Pertanyaannya, sejak kapan pentolan CSIS dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu jadi keluarga besar JK? Atau, jangan-jangan mereka tengah mematangkan susunan dan personel kabinet?
Untuk menjawab pertanyaan ini, baiknya kita mundur pada tahun 2004. Saat itu, bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dia dipercaya menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kita tahu, SBY memperkenalkan tradisi baru rekrutmen menteri. Di tangan SBY, memilih menteri berubah menjadi sinetron yang heboh. Ada pemanggilan ke Cikeas untuk wawancara, ada tes kesehatan, juga ada fit and proper test.
Apa yang dilakukan JK saat itu? Sepertinya almost nothing! Dia cuek bebek, (seolah-olah) tidak peduli. Tapi, apa yang terjadi di ujung cerita? Pengumuman susunan kabinet yang direncanakan pukul 15.00, ternyata harus berkali-kali molor. Waktu itu, petugas protokol menyatakan pengumuman akan dilakukan pukul 16.00.Tapi, ternyata ngaret. Lalu, dijanjikan pukul 20.00. Eh, lagi-lagi tertunda. Kemudian, akan disampaikan pukul 22.00, ternyata meleset lagi. Keruan saja wartawan yang sudah stand by sejak siang jadi kesal dan menggerutu.
Baru setelah menjelang tengah malam, kabinet yang ditunggu-tunggu pun akhirnya diumumkan. Hasilnya, kabinet supergemuk yang sarat dengan kepentingan dan praktik ‘dagang sapi’. Dari sisi kinerja, maaf, di bawah banderol.
Menyalip di tikungan
Sebetulnya, apa yang terjadi hingga penundaan harus berkali-kali dilakukan? Di sinilah JK punya peran dahsyat. Pria asal Bugis yang kemudian menjadi Ketum Partai Golkar satu ini memang beda. Dia punya seabrek kelebihan ketimbang tokoh ecek-ecek yang lain.
Keunggulan utama JK adalah keahliannya dalam ‘menyalip di tikungan’. Orang lain, bahkan termasuk presiden sekali pun, boleh saja sibuk dan heboh mempersiapkan ini-itu. Tapi last minute, JK tiba-tiba mampu muncul sebagai pemenang. Itulah yang dilakukannya pada penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid 1.*/bersambung Kesalahan SBY