Hidayatullah.com— Di tengah tekanan internasional menyelasikan hak Rohingya, pemimpin de-facto Myanmar, Aung San Suu Kyi akhirnya memutuskan tak akan menghadiri Sidang Umum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan berlangsung pada pekan depan di kantor pusat PBB di New York, Amerika Serikat (AS).
Aung San Suu Kyi yang juga Ketua Liga Nasional untuk Demokrasi (LMND) ini membatalkan niatnya untuk menghadiri dan berbicara di Sidang Umum PBB ke 72, kata Direktur Jenderal Kantor Presiden U Zaw Htay.
U Zaw Htay beralasan, Suu Kyi “mencoba mengendalikan situasi keamanan, dan memiliki perdamaian dan stabilitas dari dalam negeri, dan untuk mencegah penyebaran konflik rasial”.
Juru bicara pemerintah, Aung Shin tidak menjelaskan apa penyebab wanita penerima Nobel Perdamaiaan ini memutuskan tidak hadir dalam pertemuan itu, namun diduga hal ini disebabkan oleh krisis yang terjadi di Rakhine.
“Dia tidak pernah takut menghadapi kritik atau menghadapi masalah. Mungkin dia punya banyak masalah mendesak untuk diurus,” kata Aung Shin dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters Rabu (13/09/2017).
Baca: Batal ke Indonesia, Aung San Suu Kyi Dituduh Terlibat Pembantaian Etnis Rohingya
Di tengah krisis akibat kekerasan dan ‘operasi pembersihan etnis’ yang menjadikan korban penderitaan etnis Rohingya, Suu Kyi diharapkan kehadirannya dalam acara diskusi di Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, yang berlangsung pada tanggal 19-25 September mendatang.
Sebagai gantinya dia akan diwakili oleh Wakil Presiden Henry Van Thio, kantor berita Xinhua China melaporkan.
Suu Kyi pertama kali hadir dan menyampaikan pidato di PBB ke-71 pada bulan September 2016.
Sementara itu, China dikabarkan akan menggagalkan upaya PBB terhadap sekutu pentingnya, di Asia Tenggara tersebut.
Baca: Ketua GIN: Aung San Suu Kyi Tak Mewakili Sosok Ibu Penyayang
Sampai hari ini, sudah ada 370.000 pengungsi Rohingya yang menyebrangi perbatasan ke Bangladesh dalam waktu kurang dari tiga minggu.
PBB menyebut, kekerasan aparat militer terhadap Muslim Rohingya yang pecah pada 25 Agustus 2017 lalu dan diperkirakan telah memakan korban jiwa sedikitnya 1.000 orang. Namun sumber lain menyebut angka korban di atas 2000 orang.
Kelompok bantuan internasional seperti Palang Merah mengaku menghadapi tugas berat, merawat orang-orang yang melintasi perbatasan dari Myanmar, yang rata-rata 20.000 orang dalam sehari.
Menurut PBB, sekitar 60 persen di antara pengugsi yang kelelahan adalah anak-anak.*