TIDAK TERASA tahun ini kontrakku di bumi rantau, tepatnya di Negeri Firaun akan berahir. Tak tahu, masih adakah kesempatan tuk kembali meneguk air ilmu di samudra Al-Azhar. Barangkali inilah skuel singkat dari perjalanan sang “Petualang” di Bumi Kinanah. Kalau dibanding bang Thoyib memang aku lebih “tangguh” dengan terpaut satu tahun diatasnya, namun ku kira itu bukan standar kesaktian seseorang karena barometernya bukanlah kuantitas kawan namun lebih terletak pada kualitas.
Hanya saja, kenangan indah tetap melekat di hati. Pemadangan masjid Amr bin Ash belum terlalu ramai namun jama’ah mulai memadati lapak-lapak yang telah disediakan panitia i’tikaf. Masjid tertua di Afrika ini menjadi awal persinggahan “semediku” di bumi Azhar. Setelah melewati belasan hari puasa di dalam dauroh al-Quran akhirnya aku bisa bebas dan meluapkan ekspresiku di masjid ini. Walau bagaimana pun kenangan di dauroh sendiri tak kan pernah terlupa. Berjalan kaki sepanjang 3 kilometer usai sahur dengan target shalat subuh di Sayida Aisyah. Berjuang melawan panasnya otak dan suhu yang bertermo 40 celcius serta tantangan-tangtangan dahsyat lainnya yang harus ku lewati.
Suasana tahun kedua dan ketiga puasaku di Bumi Para Nabi sepertinya tak berbeda. Sejak awal Ramadhan ku usahakan tuk hadir di masjid Asyrof. Bagiku masjid ini amat istimewa khususnya saat Ramadhan. Sang imam dapat “mengganyang” 3-4 juz permalam. Di tambah dengan variasi Qiro’at yang makin menghiasi bacaan Quran. Wajar kiranya karena imam tarawih di sana bergantian, biasanya diawali dengan Sang Guru kemudian digilir oleh para murid yang berasal dari mancanegara dan multi mazhab.
Usai melakukan sepuluh roka’at pertama kita istirahat sejenak dengan diisi pengajian dari Syeikh Yusri Jabr (Imam masjid Asyrof dan pengajar shohih Bukhori di Masjid Al-Azhar Kairo). Adapun kitab yang menjadi kajian khusus Ramadhan adalah Bahjatun Nufus karya Imam Ibnu Abi Jamroh (seorang ulama besar yang makamnya berhadapan dengan Imam Athoillah As-Sakandari). Bila mau dihitung, tempo shalat tarawih dan lainnya di masjid ini sekitar 5 jam, dimulai dari jam 9 malam hari dan berakhir jam 2 pagi.
Lima Juz
Di sepuluh akhir Ramadhan masjid ini juga menjadi “base camp”ku dan beberapa kawan Indonesia. Frekuensi ibadah di sini juga semakin ditingkatkan. Bila shalat tarawih biasanya hanya membaca 3 juz saja tapi pada momen I’tikaf semakin meningkat menjadi 4-5 juz permalam. Tak jarang kami mulai dari azan Isya dan berakhir pada lima belas menit akhir menjelang subuh. Usai shalat subuh kita juga masih disuguhkan kajian kutub sunah al-arba’ah. Ditambah lagi dengan pengajian khusus pada sore hari.
Ramadhan kali ini rasanya agak sedikit berbeda dengan ketiga tahun belakang. Masjid Al-Azhar yang menjadi pusat keislaman di Mesir tahun ini menggunakan imam baru dan anehnya lagi ternyata ia hanya menggunakan satu riwayat dan qiroat, Hafs ‘an Ashim. Tahun-tahun sebelumnya Al-Azhar selalu mempunyai ciri khas sendiri dengan melatunkan tarawih dengan berbagai Qiro’at di mana hal ini yang menjadi daya tarik dan nilai plus (bagi para orang asing khususnya) untuk shalat di masjid yang dibangun sejak zaman Fatimiyah ini.
Ada hal berbeda juga di masjid Kairo (nama awal Al-Azhar), dua tahun sebelumnya Graind Syeikh Al-Azhar Al-Maghfurlah Muhammad Sayyid Thantowi turun langsung untuk mengimami tarawih pada malam ke dua puluh tujuh. Namun sejak “kepergiannya“, belum ada tanda-tanda kedatangan Sang Grand Syeikh yang baru tuk menjadi Imam langsung di masjid hasil kerja Jendral Jauhar As-Shaqilli ini.
Keanehan Ramadhan kali ini juga berasal dari sebrang Al-Azhar, Masjid Sayyidina Husein. Dua tahun lalu, Ramadhan menjadi momen istimewa dengan diadakannya Multaqo al-fikr al-Islami (Kongres pemikiran Islam) yang dibuka oleh Grand Syeikh Azhar, Mufti Republik Mesir dan Mentri Urusan wakaf Mesir. Ia juga dihadiri oleh para ulama dan pemikir terkenal Mesir. Acara ini juga dimeriahkan dengan adanya pameran buku hasil terbitan Majlis a’la Li asy- syu’un al-Islamiyah (Lembaga urusan Islam yang berada di bawah naungan kementrian wakaf Mesir).
Kalau tahun-tahun lalu biasanya aku khususkan sepuluh akhir Ramadhan untuk men’uzlahkan diri dengan beri’tikaf. Tahun ini agak berbeda rupanya. Aku menyediakan waktu untuk agenda sosial. Baiknya ibadah itu tak harus bermanfaat pada diri kita saja namun akan lebih mulia kalau dampaknya juga dirasakan oleh orang lain. Inilah yang disebut oleh para pakar Ushul Fiqh dengan ibadah muta’adiyah (ibadah sosial). Kalau efek ibadah ini saja bisa luar biasa (hingga dapa dirasakan orang lain) apalagi pahalanya tentu akan berjajar lurus sesuai dengan capekny pula bukan (Al-ajr ‘ala qodri at-ta’ab). Maka tak heran guru kami selalu menyaranakan tuk memperhatikan ibadah sosial ini. Dengan berlandaskan sebuah kaedah Ushul Fiqh beliau selalu berujar; “al-Khoir al-muta’addi afdhol min al-qoshir (kebaikan yang dirasakan orang lain itu lebih baik dari yang hanya dirasakan pribadi)”. Dengan ibadah ini minimal kita tak dibuat menjadi pribadi individualis namun lebih menyadari tabiat manusia sebagai makhluk sosial.
Walau tak banyak yang dapat aku lakukan namun Ramadhan kali ini sengaja aku luangkan untuk berbagi dan lebih bersosial. Tercatat sebagai salah satu kru bulletin Ramadhan, moderator seminar “Ramadhan bersama dunia Islam” yang mengkaji kondisi Mesir dan Suria serta aksi solidaritas untuk para saudara kita di Rohingya ditambah dengan mengisi kajian tahsin Al-Quran serta beberapa aktifitas lain membuatku ingin menambal ibadah fardiyah dengan ibadah jama’iyah.
Perbedaan yang terakhir sepertinya merupakan “penyakit” menular yang kerap hinggap di jiwa para pencari ilmu adalah malas dan turun semangat. Ku akui semangat dan daya juangku akhir-akhir ini agak menurun. Mungkin ia mulai aus tergeser waktu dan berkarat dengan perjalanan masa. Namun aku pun harus sadar bahwa tak ada baiknya berlarut-larut dalam keadaan ini. Kesulitan bukanlah alasan tuk menjemput kegagalan namun sebaliknya ia harus menjadi pemacu dan modal semangat tuk meraih kejayaan dan kesuksesan. Allahu wa rosuluhu a’lam.*/Falah Abu Ghuddah, Mahasiswa Universitas Al-Azhar dan Mahasiswa Akademi Asyiroh Al-Muhammadiyah Kairo serta Kru SINAI (Studi Informasi Alam Islami) Mesir