Oleh: Alan Ruslan Huban
SHAUM merupakan aktivitas ibadah yang sudah ada sejak jaman dahulu, seperti yang dikatakan dalam surat Al Baqarah ayat 183, “kama kutiba ‘alalladzina min qablikum; seperti yang telah diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kamu”.
Salah satu shaum yang ada pada jaman dahulu sebelum shaum Ramadhan adalah Shaum Daud. Pernyataan tersebut merupakan penegasan agar kita (red; umat Islam) tahu bahwa shaum merupakan Ibadah yang sudah disyari’atkan sejak lama. Selain itu, panggilan perintah shaum (Ramadhan) tersebut diserukan kepada orang-orang yang khusus, yaitu orang-orang yang beriman. Disini terdapat keistimewaan, karena bagi orang yang tidak memiliki keimanan, ia tidak akan merasa terpanggil untuk melaksanakan shaum.
Ramadhan, merupakan bulan yang secara eksplisit disebut dalam Al Qur’an. Di dalam bulan ini Al Qur’an diturunkan (Al Baqarah; 185). Dalam penurunan Al Qur’an ini, tentunya Ramadhan menjadi bulan yang istimewa. Maka dari itu, momentum Ramadhan dijadikan wasilah agar umat kembali membaca dan mendalami isi kandungan Al Qur’an (Tadarus dan Tadabbur) untuk diamalkan. Bahkan Nabi melakukan kegiatan tadadarus ini langsung bersama Malaikat Jibril setiap malam.
Secara bahasa, Ramadhan artinya membakar. Dalam artian di bulan Ramadhan ini kita membakar kesalahan-kesalahan kita dengan memperbanyak ibadah. Baik dimulai dengan Shaum, yang dapat membakar syahwat, Shalat yang bisa membakar sifat munkar dan amoral, Infaq dan Shadaqah yang dapat membakar sifat tamak dan Tilawah wat Tadabur Al Qur’an yang dapat membakar kesombongan dan pembangkangan terhadap perintah-Nya.
Momentum Ramadhan setidaknya menjadi titik balik penghambaan seorang Mu’min. Dengan datangnya bulan Ramadhan ini menjadi momentum Tarbiyah Jama’iyyah; Pendidikan Universal yang Allah sediakan secara masal untuk seluruh Umat Islam didunia.
Dalam momen pendidikan ini, umat Islam kembali diingatkan akan tugasnya di dunia sebagai Hamba dan Khalifah (Adz Dzariyat: 56, Al Baqarah: 30). Segala hidup dan kehidupannya harus dikembalikan kepada aturan Allah yang absolut. (Al An’am: 162-163)
Kita bisa lihat, dari awal bangun sampai tidur kembali dalam momentum Ramadhan umat Islam di training untuk menjadi Insan yang Bertaqwa. Ini tidak terlepas dari tujuan shaum itu sendiri; “La’allakum tattaqun, supaya kamu menjadi orang yang bertaqwa”. Taqwa dalam segala aspek, kaffah (universal). Karena ketaqwaan itu sendiri bukan sekedar mengasah kepekaan spiritual, tapi aspekyang lain termasuk juga moral dan sosial.
Dalam mengasah kepekaan spiritual di bulan Ramadhan, umat Islam senantiasa dilatih agar setiap saat mampu menahan dari segala godaan yang awalnya dihalalkan; seperti menahan diri dari keinginan makan, minum dan bersenggama dengan isteri (jima’). Karena arti dari shaum adalah Al Imsak, menahan diri. Dengan shaum umat Islam dididik menundukan syahwat terhadap kesenangan duniawi. Hingga mampu menjaga spirit spiritual dan menjauhi perbuatan amoral. Karena ketika dia mampu menjaga diri terhadap apa yang dihalalkan baginya (red; makan, minum dan berjima’ isterinya), maka dia akan mampu menjaga dengan apa yang jelas diharamkan untuknya (makan-minum yang haram dan bezina’). Selain itu, dalam setiap harinya Umat Islam dilatih untuk bangun lebih awal dari biasanya untuk melaksanakan makan sahur disepertiga atau akhir malam. Dalam anjuran sahur ini, umat Islam dilatih agar terbiasa bergerak lebih awal, bahkan di pagi yang masih buta. Waktu sahur pun merupakan salahsatu waktu yang diberkahi.
Selanjutnya dalam momentum Ramadhan, Umat Islam dilatih untuk berempati terhadap kaum papa, sehingga dia mampu merasakan apa yang diderita saudaranya yang faqir dan miskin ketika merasakan dahaga dan lapar. Maka disinilah, nilai social terasah dan tercerminkan lewat pemberian Infaq, Shadaqah dan Zakat. Sehingga nilai social dalam pendidikan Ramadhan sangat terasa, terlebih menjelang buka shaum dan menjelang perayaan ‘Idul Fitri. Ada spirit berbagi kebahagian dari kelebihan harta. Ini menundukan ketamakan akan harta duniawi.
Maka seyogyanya, menjelang berakhirnya momentum Ramadhan tahun ini umat Islam harus mampu memaknai Ramadhan sebagai bulan Tarbiyyah Jama’iyyah Rabbaniyah. Pendidikan Massal Universal yang Allah sediakan untuk umat Islam agar bisa mencapai derajat Taqwa. Taqwa dalam semua fase, bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Tapi disetiap bulan. Karena memanfaatkan momentum Ramadhan untuk mendidik diri agar menjadi Insan yang bertaqwa merupakan momentum titik balik penghambaan secara totalitas untuk kemudian dilanjutkan dibulan-bulan berikutnya agar menjadi hamba Rabbany.
Ironis jika momentum Ramadhan hanya dijadikan sebagai kegiatan tradisi ritualitas semata tanpa memberikan bekas dibulan-bulan selanjutnya, maka baginya adalah kerugian. Bahkan yang paling menyedihkan seperti apa yang dikatakan Rasulullah. Dia tak diampuni padahal Ramadhan telah berlalu.
Dia hanya mau menjadi hamba ketika dibulan Ramadhan saja, tidak disetiap saat.
Padahal, Ramadhan merupakan momentum pendidikan Rabbaniyyah Jama’iyyah untuk kembali memahamkan Umat Islam akan tugas hidup di dunia sebagai hamba Allah yang bertaqwa. Agar selanjutnya -sehabis Ramadhan berakhir-, dengan ketaqwaan tersebut Umat Islam mampu menapaki bulan-bulan berikutnya dengan tetap menjadi hamba Rabbaniy.
“Kun Rabbaniy wa la takun Ramdhaniy; Jadilah kamu hamba yang Rabbaniy, jangan menjadi hamba yang Ramdhaniy” . Wallahu a’lam bish shawab
Penulis merupakan Mahasiswa STID Mohammad Natsir Jakarta, Bidgar Dakwah dan Komunikasi Pemuda Persis Cibatu-Garut