Oleh: Mahmud Budi Setiawan
Sambungan artikel PERTAMA
Semangat Persatuan
MAKA tidak mengherankan, setiap kali bulan Ramadhan datang, kita selalu mendapati nuansa persatuan begitu kental di segenap penjuru negeri umat Islam. Mereka bersatu padu melaksanakan ibadah puasa. Kegiatan ibadah begitu semarak. Masjid-masjid kian ramai. Orang-orang bersedekah begitu melimpah. Semua tidak akan terjadi jika tidak ada spirit persatuan yang diilhami dari perintah Allah yang ditujukan untuk semua mukmin yang sudah wajib berpuasa.
Dari Hadits Rasulullah pun, kita bisa merasakan spirit persatuan dalam bulan Ramadhan.
Sebagai contoh, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan amalan dusta, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan berdasarkan keimanan dan mengharap ridha Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, Muslim).
Kedua hadits ini sama-sama dimulai dengan kata man yang menunjukkan pada keumuman.
Ada juga hadits, “Berpuasalah kalian ketika sudah menyaksiakan hilal, dan berbukalah ketika sudah melihatnya.” (HR. Bukhari, Muslim).
Di sini digunakan kata perintah yang ditujukan kepada jamaa`ah kaum muslimin. Ini berarti, ibadah dalam Ramadhan harus dibangun berdasarkan spirit persatuan.
Menariknya dalam lembaran sejarah emas umat Islam, bisa diperiksa: kemenangan-kemenangan besar, kerap kali terjadi di bulan ini. Perang Badar Kubra, pembebasan kota Makkah, perang Buaib, pertempuran Ainun Jalut, pembebasan Andalusia, pertempuran Zallaqah, pertempuran sepuluh Ramadhan di Mesir (baca: Kubra al-Ma`ārik wa al-Futuhāt al-Islāmiyah, Karya: Muhammad Sa`id Mursi), bahkan kemerdekaan RI pun terjadi di bulan Ramadhan. Seyogyanya ini bisa dijadikan cermin untuk memupuk persatuan umat.
Dengan demikian, melalui Ramadhan mari bersama menyemai kembali persatuan. Memupuk lagi persaudaraan dan kesatuan umat. Kita tidak ingin masuk dalam kategori yang diistilahkan Amir Syakib Arsalan -dalam buku, ‘Limadza taakhhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum’- sebagai umat yang mundur gara-gara melemahnya ruh jihad, merebaknya kebodohan, menyebarnya kemerosotan akhlak, yang berakibat pada rusaknya persatuan umat.
Apa artinya mayoritas, jika bagai buih di lautan?. Sebagaimana peringatan nabi: “Akan datang suatu masa, di mana bangsa-bangsa akan mengeroyok kalian seperti orang-orang rakus memperebutkan makanan di atas meja”. Ada seorang yang bertanya, ‘Apakah karena pada saat itu jumlah kami sedikit?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Tidak, bahkan kamu pada saat itu mayoritas, akan tetapi kamu seperti buih di atas permukaan air laut’.”(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan lainnya).
Melalui Ramadhan, kita rajut kembali persatuan umat. Karena, hanya dengan persatuan umat, maka potensi kaum Muslimin yang terserak-serak akan menjadi satu energi besar yang dapat menjadikan umat Islam bukan saja berkuantitas, tetapi juga berkualitas. Saatnya kita merebut momentum untuk menjadi khairu ummah(sebaik-baik ummah) sebagaimana tertera dalam Ali Imran: 110. Wallahu a`lam bi al-shawab.*
Penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014