Oleh: Andika Saputra
Sebagai sistem budaya yang sedang mendominasi, kerusakan demi kerusakan yang diakibatkan Posmodernisme hampir tidak dapat dihindari oleh manusia di berbagai belahan dunia. Di antaranya ialah umat Islam yang tidak dapat menghindar dari dampak buruk Posmodernisme sebab sifatnya yang hegemonik dan bertentangan dengan asas-asas keyakinan Islam.
Kerusakan terbesar yang diakibatkan sistem budaya Posmodernisme, dengan demikian turut dirasakan umat Islam, ialah krisis kemanusiaan akibat menggeser hakikat manusia dari manusia-religius menjadi manusia-hasrat. Inilah akar dari berbagai kerusakan lain yang diakibatkan Posmodernisme.
Gilles Deleuze dan Felix Guattari, sepasang filosof asal Prancis mengandaikan sistem budaya Posmodernisme bagaikan mesin hasrat. Sebuah mesin yang terus memompa hasrat manusia untuk mencapai kenikmatan yang bersifat permukaan. Posmodernisme hanya mampu menawarkan kenikmatan-permukaan karena perhatiannya pada tubuh yang merupakan muara bagi aliran hasrat. Agar tubuh menjadi pusat bagi manusia, maka jiwa yang merupakan hakikat manusia terus menerus disibukkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh hingga terjerat pada tubuh dan tunduk pada kendali hasrat untuk mengurusi tubuh. Jiwa kehilangan kendalinya terhadap tubuh dan beralih pada hasrat sebagai pemegang kendali penuh bagi tubuh dan jiwa manusia.
Untuk mencapainya segala penghambat saluran hasrat harus disingkirkan. Penghambat paling tangguh bagi hasrat tentu saja Tuhan, sehingga tidak ada cara selain pengakuan terhadap-Nya dibungkam dan otoritas-Nya digugat. Otoritas Tuhan dialihkan kepada hasrat. Pengalihan otoritas Tuhan kepada hasrat memuluskan Posmodernisme untuk meneguhkan kedudukan hasrat sebagai penentu benar dan salah, baik dan buruk, indah dan tidak indah. Singkatnya dalam sistem budaya Posmodernisme, hasrat adalah timbangan bagi segala sesuatu.
Padahal, menyingkirkan Tuhan berarti menyingkirkan batas-batas yang seharusnya tidak boleh dilalui manusia. Posmodernisme memang tidak menghendaki batas karena batas adalah hambatan bagi kebebasan dan tentu saja bagi aliran-bebas hasrat. Pelepasan hasrat secara berterusan mensyaratkan sebuah kondisi kebebasan-mutlak yang dicapai dengan cara peluruhan seluruh dinding-dinding batas. Dengan begitu, ciri khas wajah budaya yang diproduksi mesin hasrat Posmodernisme adalah budaya nir-batas di mana segala sesuatunya diperbolehkan dan disahkan untuk tujuan mencapai kenikmatan-permukaan.
Posmodernisme terus bergulir mencapai titik ekstrimnya hingga memunculkan Nihilisme dan Fatalisme sebagaimana dialami Jean Baudrillard, seorang sosiolog dan ahli Posmodernisme asal Prancis yang berucap, “Hanya kematian yang dapat mengeluarkan kita dari Posmodernisme”.
Pernyataan Baudrillard tersebut menandakan ketidak-mampuan kalangan Barat menemukan jalan keluar dan menyelamatkan manusia dari kehancuran yang diakibatkan Posmodernisme.
Lalu bagaimana dengan Islam? Mampukah Islam menghadapi dan mengakhiri Posmodernisme? Dapatkan Islam menyelamatkan manusia dengan mengembalikannya kepada fitrah sebagai makhluk-religius?
Kematian Posmodernisme
Islam mengambil posisi yang berseberangan dengan Posmodernisme. Dengan kata lain, Posmodernisme bertentangan dengan Islam. Konsep manusia-hasrat yang diusung dan berupaya diwujudkan Posmodernisme tidak mendapatkan ruang di dalam Islam, bahkan Allah mengecam manusia yang memperturutkan hasratnya apalagi menuhankan hasratnya. Di dalam al-Qur’an, Allah menyandingkan pengikut hasrat (hawa nafsu) dengan kesesatan, kedzaliman, mengingkari kebenaran, ketiadaan ilmu. Perbedaan pandangan antara Islam dan Posmodernisme mengenai kedudukan dan nilai hasrat menjadikan keduanya tidak memiliki titik-temu, sehingga tidak mungkin dicapai rumusan damai apalagi sinergi antara keduanya.
Islam memiliki bulan Ramadhan untuk membebaskan manusia dari hegemoni sistem budaya Posmodernisme.
Masuknya waktu bulan Ramadhan adalah petanda tabuhan genderang perang melawan Posmodernisme. Ramadhan selama sebulan penuh merupakan masa peperangan yang dahsyat, jihadul akbar umat Islam melawan hasrat yang dipuja dalam alam budaya Posmodernisme.
Bagi para pemenangnya; para pemenang Ramadhan, yakni orang-orang yang telah berhasil merebut kembali hakikat kediriannya sebagai manusia-religus, yang berarti berhasil menghentikan kerja mesin hasrat Posmodernisme, berhak memasuki pintu kemenangan dan merayakannya dalam suasana Idhul Fithri.
Selama sebulan penuh Ramadhan mendidik tubuh dan jiwa manusia dalam tiga tingkatan pendidikan. Pendidikan pertama, Ramadhan menghendaki berpuasanya tubuh dari kegiatan konsumsi berupa makan, minum dan hubungan suami-istri. Berpuasanya tubuh dari kegiatan konsumsi merupakan jalan bagi manusia untuk melepaskan jerat tubuh dan keterpesonaannya kepada tubuh dengan cara menutup saluran hasrat. Inilah tahap pertama pendidikan Ramadhan di mana manusia mengalami perlawanan sengit untuk merebut kembali kendali terhadap tubuhnya yang dikuasai hasrat.* (Bersambung)
Penulis tinggal di Kartasura