Hidayatullah.com | I’TIKAF secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat. Para ulama sepakat i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar.
عن أبي هريرة رضي اللَّه عنه قال،
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dari Abu hurairah radhiyallahu anhu berkata :
“Nabi ﷺ biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR: Bukhari no. 2044).
Nabi ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia. Beliau bermunajat, banyak berdo’a dan banyak berzikir.
Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir Ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR: Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172).
Demikian juga dikarenakan Rasulullah ﷺ sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid. Nabi tidak pernah I’tikaf di rumah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”
Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”(QS: Al-Baqarah: 187).*