Hidayatullah.com–Melihat deretan benda bundar warna-warni di dekat pintu, pria itu langsung melangkahkan kaki ke masjid. Masyhid, sebutlah nama pria itu, sudah memantapkan niatnya untuk tidak beranjak pergi ke tempat lain.
Senin kedua bulan Ramadhan 1433 H itu adalah hari pertama kalinya dia ke Masjid al-Ittihad, Tebet Barat, Jakarta Selatan. Bersama seorang temannya Iro (nama samaran), Masyhid hendak berbuka puasa di situ.
Awalnya mereka sempat bimbang, apakah akan berbuka di Masjid al-Ittihad atau di tempat lain. Iro mengajak Masyhid untuk berbuka di Islamic Center tak jauh dari situ.
“Ke sana aja, yuk!” ajak Iro.
Masyhid berpikir sejenak. Di tempat yang dimaksud Iro, menu buka puasanya lumayan lengkap. Dia dan Iro memang pernah ke sana beberapa waktu sebelumnya. Namun, Senin sore itu waktu berbuka puasa akan segera tiba. Masyhid menimbang-nimbang. Ketika dilihatnya barisan nampan makanan berderet di beranda Masjid al-Ittihad, dia memutuskan untuk tetap bertahan di situ.
“Di sini aja! Kita coba yang belum,” ujar Masyhid pada Iro. Keduanya sepakat, lalu beranjak ke masjid, dan berpisah di ruang wudhu.
Kurma dan Air
Usai bersuci, Masyhid sudah hendak duduk manis di beranda masjid. Dilihatnya nampan yang dijajar panitia posisinya terbalik, menutupi nampan lain di bawahnya. Jumlahnya cukup banyak, mengelilingi beranda masjid yang luasnya sekitar 35×35 meter. Terbayanglah olehnya kue-kue enak dengan beragam jenis di balik nampan-nampan itu. Hingga kemudian terdengar olehnya sebuah suara dari dalam masjid.
“Di luar ada kurma dan air mineral yang telah disiapkan. Silakan diambil!” ujar seorang pria dengan mikrofon di tangan.
Masyhid bingung. Sebuah meja berdiri di pojokan beranda, di atasnya terdapat wadah plastik besar. Di wadah itu ditumpuk ratusan kurma. Kurma-kurma itu dibungkus dalam plastik kecil, seperti pembungkus obat. Tiap plastik berisi tiga biji kurma.
Di samping wadah, dijajar air mineral lengkap dengan sedotannya. Oleh Masyhid, semua itu tampak aneh. Di kebanyakan masjid yang pernah disambangi, menu buka puasa biasanya dihidangkan terpisah-pisah atau dibagikan, bukan diletakkan di satu tempat untuk diambil sendiri.
Para jamaah segera mengerumuni meja itu, masing-masing mengambil sebungkus kurma dan segelas air mineral. Masih dalam kebingungan, Masyhid mengikuti mereka, lalu masuk ke dalam masjid di lantai satu. Saat dilewatinya deretan nampan, dia bertanya-tanya sendiri, untuk apa nampan-nampan itu dijajar?
Ternyata, pihak masjid menyediakan menu “seadanya” untuk berbuka puasa. Tiga biji kurma dan segelas air mineral. Bukan kue-kue seperti yang biasa disediakan masjid lainnya.
Masyhid merasa “tertipu”. Nafsu lambungnya berontak.
“Kirain bukanya pake kue-kue,” ketusnya, sedikit menyesal tidak menuruti ajakan Iro ke Islamic Center.
Tapi Masyhid kemudian sadar. Kurma dan air mineral itu adalah menu berbuka puasa yang disunnahkan Rasulullah SAW.
Dia teringat sebuah riwayat yang berbunyi, “Adalah Rasulullah berbuka sebelum shalat Maghrib dengan memakan beberapa butir kurma basah (ruthab), bila tidak ada ruthab beliau berbuka dengan kurma kering (tamar), bila tidak ada tamar beliau meneguk beberapa teguk air.” [HR. At-Tirmidzi].
Dengan rasa syukur sekaligus bangga bisa mengikuti sunnah Rasul, Masyhid menikmati hidangan saat tiba waktunya berbuka puasa. Jamaah lainnya dilihat enjoy-enjoy saja menikmati hidangan berbuka, termasuk ratusan anak dan wanita yang mengikuti buka puasa bersama itu. Masyhid merasakan sebuah pembelajaran yang luar biasa dari Masjid al-Ittihad untuk menjalankan sunnah Nabi.
Lantai Kosong
“Alhamdulillah!” ujar Masyhid usai berbuka, lantas segera beranjak naik ke lantai dua untuk menunaikan sholat maghrib.
Tiba di atas, ternyata lantai dua masih sepi. Masyhid berhenti sejenak, agak heran melihat tak seorang pun di ruangan itu kecuali dia.
“Mungkin yang lain masih belum berbuka puasa,” batinnya, sembari merasa GR (gede rasa) sendiri.
GR karena bisa menjadi orang pertama yang masuk ke lantai dua masjid. Dia lantas ke pojok kanan depan ruangan, dekat tempat di mana dia sholat sebelumnya. Pada waktu Ashar di hari yang sama, Masyhid memang sholat berjamaah di situ. Ashar itu, lantai dua hampir penuh diisi jamaah.
Sejurus kemudian, Masyhid meletakkan tas bawaannya. Segera akan ditunaikan sholat sunnah qobliyah Maghrib. Baru saja dia hendak mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, tiba-tiba didengarnya samar-samar sebuah suara dari bawah.
“Allahu akbar, Allahu akbar! Asyhadu an laa ilaaha illallaah …”
Loh, bukannya itu suara iqomah tanda dimulainya sholat berjamaah? Tebak Masyhid, kaget. Segera diambil tasnya, lalu beranjak meninggalkan lantai dua kembali ke bawah. Di lantai satu, jamaah sudah berbaris rapi. Sholat maghrib berjamaah baru saja dimulai.
Masyhid lantas menegur seorang pria yang hendak naik ke lantai dua.
“Di atas kosong, pak!” ujarnya cepat lalu bergabung dengan jamaah shalat maghrib.
Maghrib itu shalat berjamaah langsung digelar di lantai bawah, tempat berbuka puasa. Masyhid lagi-lagi “tertipu”.
Pantesan, pikir Masyhid, usai berbuka puasa sore itu, panitia masjid meminta seseorang menjadi relawan untuk memungut sampah-sampah dari bungkusan kurma dan gelas air mineral. Ketika seorang pria berdiri dan mengedarkan wadah plastik ke sekeliling jamaah guna mengambil sampah, Masyhid sudah menuju lantai dua. Rupanya lantai satu langsung dibersihkan karena akan dipakai sholat.
“Hadoh,” batin Masyhid sembari geli sendiri.
Dan rupanya, lepas sholat sunnah ba’diyah maghrib, para jamaah langsung bergeser ke beranda masjid, juga di lantai satu. Di situ, sudah menunggu bertumpuk-tumpuk nasi dengan lauk ayam goreng bumbu dan sayur daging, plus teh hangat manis.
Isi nampan-nampan tadi ternyata menu untuk makan malam, bukan untuk berbuka puasa.
Meski merasa “tertipu”, Masyhid justru senang. Dengan lahap, ditandasnya isi sebuah nampan bersama Iro dan dua jamaah lainnya. Di sekitarnya, ratusan jamaah lainnya juga dengan aktivitas yang sama; melahap makan malam bersama, satu nampan untuk empat orang.*