PUASA ini lebih istimewa bagi Sukadi (53). Pria yang sehari-hari berjualan sayur-mayuran keliling ini mengaku lebih sehat dari tahun-tahun lalu. Maklum, sebelum ini, dia dikenal sebagai perokok berat. Namun setelah memutuskan berhenti merokok, meski tambun, tubuhnya lebih sehat dari biasanya.
“Semenjak dokter menasehati harus stop merokok, saat itu juga saya berhenti,” ujarnya kepada hidayatullah.com yang ditemui di pasar Kalidamen, dekat Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya .
Seperti diketahui, dokter menemukan, Sukadi memiliki penyakit paru-paru. Jika diteruskan kebiasaan merokok, otomatis akan pula memperparah penyakitnya. Kini, setelah tak menyentuh asap beracun itu, kesehatannya lebih baik lagi.
Meski bulan Ramadhan, pria asal Lamongan Jawa Timur itu mengaku tetap berpuasa penuh sebagai upaya memenuhi kebutuhan anak-istrinya. Lihat saja ritme kerjanya. Pria bertubuh subur ini mulai bekerja di saat orang tengah terlelap tidur hingga orang balik dari kantor tengah hari.
“Saya bangun jam 02.00 dini hari menuju pasar induk, dan langsung berjualan hingga siang hari,” katanya. “Nanti, jam 14.00 siang, saya baru istirahat sebentar,” tambahnya.
Atas semua usahanya itu, minimal ia bisa membawa pula uang untuk anak-istrinya sebesar Rp. 50 ribu rupiah. Tapi, Ramadhan, baginya selalu ada berkah di banding hari biasa.
“Selalu ada tambahan. Tidak banya, yang penting, lebih berkah,” ujarnya.
Bekerja di bulan puasa, baginya justru sebagai hal istimewa. Ia bercerita, selain pernah memiliki penyakit paru-paru, bapak dengan satu anak ini mengaku juga punya penyakit lambung alias maag. Meski demikian, dia justu mengaku senang jika digunakan puasa. Bukan apa-apa, penyakit maag nya justru sembuh.
“Heran, selama Ramadhan, maag malah gak mau dekat-dekat,” ujarnya terkekeh.
Saat ditanya, bagaimana jika tiba-tiba maag nya datang, apa harus membatalkan puasa, ia hanya tertawa sembari meniru gaya penyanyi dang-dut, Haji Rhoma Irama.
“Alhamdulillah, Wasukurillah, biar maag lewat, puasa tetap tidak telat. Malu kita sama Bang Rhoma, hahaha.”
Ia kadang mengaku heran pada sebagian orang yang kerjanya tinggal duduk atau sejenisnya masih tidak berpuasa, meski dirinya adalah seorang Muslim. Baginya, seorang Muslim haruslah berpuasa, karena itu adalah kewajiban.
Dulu Kiai, Kini Kembali ke Kiai
Mengaku dilahirkan di Kota Santri, Lamongan Jawa Timur, Sukadi sedikit bercerita jika dirinya pernah menjelajah menjadi simpatisan politik. Bersama keluarganya, dia dikenal simpatian partai Ka’bah. Namun kemudian berganti memilih partainya presiden Soeharto, Golkar. Namun pergantian itu, tetap tak merubah nasibnya. Ia kemudian ikut terbawa teman-temannya di pasar agar memilih partai PDI nya Megawati.
“Ya saya ketika itu diajak, katanya di bawah Bu Mega, beras murah, pendidikan gratis dan kesehatan tanpa biaya. Eh, gak taunya tambah naik semua,” ujarnya.
Lepas dari PDI-P, ia akhirnya menjadi pendukung Partai Demokrat, seiring terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden RI. Lagi-lagi, ia tetap kecewa.
“Ah, sama saja, biaya sekolah anak saya SMP malah jauh lebih mahal sekarang. Apa bisa anak saya kuliah besok, sebagaimana berita TV bahwa sekarang kuliah malah mahal?” ujarnya.
Sukadi makin tidak percaya, tatkala yang ia baca di koran setiap pagi, para koruptor justru orang-orang besar dan anggota dewan.
“Mau ganti apapun partainya, kayaknya tak akan ada yang peduli nasib kita di bawah.“ tambahnya.
“Sama-sama tidak jelas nasibnya, lebih baik memilih anjuran para kiai saja. Tahun depan, jika diberi panjang umur, saya akan kembali ke Ka’bah. Dulu milih pilihan kiai, kini juga kembali pilihan kiai, “ akunya.
Ditanya mengapa tak memilih PKB saja? Ia hanya menjawab, “Semenjak Gus Dur tak ada, partai itu isinya hanya kecoan (konflik, red).”.
Ramadhan ini, betapa Sukadi mengerti betul makna berdiri di kaki sendiri, bukan berharap pada orang apalagi yang namanya partai.
“Lebih mulai bekerja keras seperti ini di hadapan anak-istri kita. Berharap lagi pada partai, semua nampaknya sama saja,”akunya.
Yang paling ia rindukan bulan Ramadhan di banding bulan biasa adalah suasana khasnya.
“Saya sering menunggu waktu-waktu buka atau pas menjelang Hari Raya.” Di mana, menurutnya, suara gema takbir seperti itu sangat dirindukan datangnya.*