oleh: Shalih Hasyim
KOMBINASI nada dan irama akan selalu menghasilkan melodi dan bunyi yang harmoni. Harmoni atau harmonis, kedua-duanya membawa maksud selaras, sesuai, sepadan, seimbang atau seia sekata.
Semisal perpaduan dari berbagai warna karakter yang selaras ujungnya melahirkan rangkaian keindahan dan serasi.
Setiap warna – baik itu primer, sekunder, tersier – mampu memberikan efek yang berbeda-beda terhadap psikologis seseorang. Warna hitam selalu identik dengan ketakutan, power atau kematian. Jika ia dipadukan dengan warna putih, justru akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suramnya. Perpaduan hitam-putih paling suka dipakai kalangan desainer untuk menata keramik. Lebih terkesan pas dan apik.
Kombinasi hitam dan putih juga kerap dipakai di kalangan dunia mode. Gabungan ini dinilai modis karena terdiri dari dua spektrum warna yang berlawanan. Itulah yang disebut warna monokrom.
Begitupula dalam berumah tangga. Hanya saja, persoalan rumah tangga tidaklah dilihat hitam-putih sebagaimana perpaduan cat atau mode. Persoalan keluarga perlu dipandang lebih luas, dengan warna-warni laksana warna pelangi. Merah, kuning, hijau, di langit yang biru. Ditata oleh pelukismu Agung, Allah subhanahu wa ta’ala.
Sehingga dinamika, fluktuasi, pasang surut, yang terjadi di dalamnya dipersepsikan menjadi romantika dan panorama kehidupan.
Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan kehidupan berkeluarga supaya kita lihai dalam merangkai suasana sakinah (ketenangan), mawaddah (kecintaan), rahmah (kasih sayang), amanah (tanggung jawab), ulfah (harmonis). Susana demikian merupakan madrasah pertama yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan pisik, bakat dan mental hasil pernikahan (anak keturunan). Dan menciptakan suasana yang ideal dalam madrasah pertama ini tidak mudah dan sederhana. Memerlukan modal keberanian (warna merah) dan keikhlasan hati (warna putih).
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum (30) : 21).
Seperti itulah seharusnya rumah tangga dipandang dan dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.Dalam diri manusia, disamping memiliki nalar juga mempunyai naluri. Disamping ada sisi gelap pula ada sisi terang. Ada tarikan jasmani dan ada tarikan ruhani.
Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.
Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Kadang suami berada diatas, istri di bawah. Bisa juga bervariasi, istri di atas, suami di bawah. Kadang menang, dan kalah dalam bertanding di ranjang. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antara mereka.
Setidaknya ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.
1. Tidak Melihat ke Belakang
Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” . Mengapa tidak memberikan sederet persyaratan saat khitbah (lamaran) ?. Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Tidak produktif. Justru, akan menyeret disharmonisasi yang bermula dari masalah sepele, sederhana, mudah, menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.
Sekalipun bercerai itu memiliki landasan syar’i, sesungguhnya ia perbuatan halal yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bukankah dengan berpisahnya dua orang yang semula saling mencintai, ada yang dirugikan. Yaitu, anak-anak akan menjadi korban.
Pengorbanan yang diungkit-ungkit dengan menyebut-nyebut dan menyakiti yang lain, hanya melahirkan kesia-siaan belaka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”. (QS. Al Baqarah (2) : 264).
Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi dengan sikap realistis. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita. Kita jangan menempatkan diri sebagai bagian dari masalah. Tetapi meletakkan diri sebagai bagian dari solusi.*/bersambung tulisan KEDUA
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah.