lanjutan ARTIKEL Pertama
Oleh: Shalih Hasyim
Tetapi jika melihat ke belakang untuk meraih kesuksesan, berpikir positif, justru produktif. Terkadang kita melihat pemain tarik tambang, pemain layang-layang, penanam padi, itu harus mundur ke belakang. Bayangkan, jika ketiga kegiatan tersebut dilakukan dengan cara tidak mundur ke belakang?
2. Berpikir objektif
Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Tetapi, dikut-ikutkan. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Lebih-lebih jika pasangan suami-istri tidak memiliki ilmu menejemen konflik. Bisa terjadi, melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh. Sepenggal-penggal.Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu ditemukan. Menemukan masalah sama dengan menyelesaikan separo solusi. Sehingga akan ada yang bisa diperbaiki.
Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, boros, dan kurang pengertian, dll.
Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.
3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya
Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Siapa yang berpikir bahwa pasangan kita serba sempurna di muka bumi ini, maka ia tidak akan bahagia. Karena ia hanya mengejar bayang-bayang. Suatu hal yang mustahil.
Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah keunikan dan cirikhas berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.
Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.
4. Berkeluarga Wasilatut Taqarrub Ilallah
Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat Allah. Nikah adalah ibadah yang paling nikmat. Nikah sebagai wasilah taqarrub ilallah (sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT). Bukan sebaliknya, sebagai wasilah taba’ud ‘anillah (sarana untuk menjauhkan diri dari-Nya). Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.
Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Dengan mempersepsikan realitas keluarga dengan penerimaan yang positif. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.
Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. InsyaAllah!
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفاً خَبِيراً
“(Wahai kaum wanita), ingatlah ayat-ayat Allah dan al-hikmah yang dibacakan di rumah-rumah kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Ahzab (33) : 34).
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
“Dan bergaullah dengan mereka secara baik. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa (4) : 19).
Menurut ahli tafsit Al Ma’ruf (kebaikan) di sini mencakup dimensi yang luas. Baik dalam niat, ucapan, dan perilaku.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah