PEMERINTAH Indonesia gagal mengubah isi kontrak karya dengan dua perusahaan tambang raksasa, PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Newmont Nusa Tenggara, terkait luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, dan kewajiban pengolahan dan pemurnian (Indopos, 6 Oktober 2011).
Selama ini negara mendapat bagian yang sangat kecil dibandingkan dengan yang diperoleh PT Freeport. Tercatat, dari tahun 2005 – September 2010, total penjualan PTFI sebesar US$ 28.816 juta atau Rp 259,34 triliun; laba kotornya US$ 16.607 juta atau Rp 150,033 triliun. Bandingkan dengan royalti yang dibayarkan kepada Indonesia hanya sebesar US$ 732 juta atau Rp 6,588 triliun. (Baca kotrak freeport di http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/11/04/data-dan-fakta-kontrak-f…).
Jika diperhatikan, masalah Freeport ini disebabkan oleh 3 hal yang saling terkait yaitu kontrak karya (KK) yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan ekonomi kapitalisme neoliberal.
Kontrak Karya I (KK I) maupun KK II isinya sangat merugikan Indonesia. KK I berlaku untuk Kuasa Pertambangan (KP) selama 30 tahun. Freeport mendapatkan berbagai keistimewaan sebagai perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia tetapi tidak terdaftar di Indonesia dan tidak tunduk dengan hukum Indonesia, mendapatkan tax holiday setelah tiga tahun berproduksi dan tanpa royalti sampai tahun 1984 serta keistimewaan lainnya. Belum lagi selesai masa kontraknya, pada Desember 1991 dibuat KKI II yang memberi hak kepada PTFI selama 30 tahun sampai tahun 2021 dan bisa diperpanjang 2 kali 10 tahun atau sampai tahun 2041.
Keistimewaan luar biasa yang diberikan kepada Freeport ini, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tekanan Amerika. Tekanan asing dilakukan oleh pemerintah AS ketika itu karena “berjasa besar” membantu pemerintah Soeharto dalam penumpasan G30S/PKI. Utang budi inilah yang digunakan sebagai “senjata” Freeport dan pemerintah AS untuk menekan Indonesia sehingga menerima begitu saja permohonan KP yang sangat merugikan itu.
Semua ini menjadi legal dengan kebijakan ekonomi negara yang neo liberal yang disahkan dengan undang-undang neo liberal. Berdasarkan doktrin kapitalisme, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi dan harus diserahkan kepada swasta. Akibatnya, pengelolaan kekayaan alam termasuk barang tambang diserahkan kepada swasta terutama asing melalui Kontrak Karya (seperti pengelolaan tambang tembaga, emas dan perak di Papua Barat kepada PTFI) atau melalui Production Sharing Contract.
Dan ironisnya rakyat nyaris tidak mendapat apa-apa dari hasil kekayaan alam milik mereka itu. Rakyat -khususnya yang ada di sekitar areal tambang- justru menderita banyak kerugian karena lingkungan alam yang rusak, pencemaran, limbah dan tailing, rusaknya sumber penghasilan mereka dan penyakit sosial lainnya. Inilah bukti jika kekayaan alam di Indonesia dikelola oleh penguasa dan pengusaha yang rakus dan tamak.
Semua itu tidak akan terjadi jika syariah Islam diterapkan secara total. Menurut ketentuan syariah Islam, barang tambang yang depositnya sangat besar dan melimpah ditetapkan menjadi milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh atau dikuasakan kepada swasta apalagi asing.
Dengan demikian, secara syar’i yang harus dilakukan oleh negara bukan menegosiasikan penambahan royalti atau kepemilikan saham tetapi negara harus mengambil alihnya secara total.
Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun boleh diambil oleh perusahaan swasta itu atau negara boleh membelinya dengan harga yang sepadan. Tetapi tentu saja setelah diperhitungkan dengan hasil yang selama ini telah mereka keruk dari harta milik umum itu. Hal ini berdasarkan hadist Rosulullah SAW. Rafi’ bin Khudaij menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka, maka dia tidak berhak atas tanaman itu sedikitpun, namun dia berhak atas biaya yang dikeluarkannya.” (HR Abu Dawud, dan al-Tirmidzi) dan dalam riwayat Ahmad dan Ibn Majah : “dan biayanya dikembalikan kepadanya.”
Walhasil, pengelolaan kekayaan alam yang merupakan milik rakyat dengan model kapitalis hanya akan mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat. Sedangkan kekayaan alam yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai harta milik umum, akan mendatangkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyat, jika dikelola sesuai syariah Islam.
Pipin Novianti
Penulis adalah ibu rumah tangga dan pendidik
Ujung Jakapermai, Bekasi Selatan