Oleh: Amri Fatmi Lc, MA
USAHA saya mencoba mencari siaran televisi yang cocok ditonton anak saya, di mana suguhan acara tanpa senjata, tanpa kekerasan dan tanpa huru-hara rupanya tidaklah mudah.
Di setiap pergantian chanel dan program, saya hanya mendapatkan tontonan yang tidak layak dilihat oleh anak-anak di bawah umur. Tidak hanya di film-film, itu sudah termasuk tayangan berita. Itu kenyataan yang terjadi.
Apa yang akan terjadi pada anak saya kelak –begitu juga jutaan generasi di negeri Arab– jika setiap hari disuguhkan berita ekerasan, peperangan, huru-hara pemboman? Bagaimanakah nasib kejiwaan generasi Arab dan generasi negeri Islam ke depan?
Musim Semi Arab atau yang dikenal Arab Spring mulai muncul sekitar tahun 2011 yang berawal dari Tunisia meluas ke Mesir hingga akhirnya melanda sebagian besar dunia Muslim. Setelah setahun, perubahan rezim juga terjadi di Libya, Mesir, Suriah hingga ke Yaman.
Negeri Arab terus bergejolak di tangan para pemuda generasi abad ini. Ke depan, generasi muda ini akan menjadi masalah serius bagi negeri Arab bila krisis saat ini terus berlanjut dan tidak terselesaikan secara baik.
Jika mau jujur, generasi Arab abad ini terdidik secara keras yang tidak diajarkan hidup damai dan tidak dihargai pikiran mereka dalam bernegara. Mereka tidak diberi kesempatan untuk berperan membangun dalam masyarakat mereka sendiri.
Rezim Arab telah mengekang kebebasan berpikir dan berkativitas layaknya sebagai warga Negara bermartabat. Sementara negeri-negeri Barat terus melakukan intervensi dan rekayasa jahatnya. Tak perlu analisis seriuspun, negara-negara Arab sudah pasti akan menghadapi tantangan berat luar biasa ke depan yang belum pernah terjadi dalam sejarah.
Karena itu, seorang analis Arab pernah menulis; “Ketika revolusi Musim Semi negeri Arab (Rabi’ Arabiy) berlangsung, sejarah negeri ini mulai terbuka, tanpa titik balik. Negeri kita (Arab), adalah lembah terakhir di alam ini yang tidak mengenal demokrasi, pembangunan, serta dipenuhi dengan berbagai macam korupsi. Negara-negara Arab sekarang sedang menghadapi badai perubahan paling ganas di atas planet ini.” (Syafiq Alghabra, dalam Alhayat, 23/10/14)
Banyak para pakar meyakini bahwa petaka negeri-negeri Arab saat ini diakibatkan oleh perubahan tuntutan politik yang selama ini dikusasi oleh para diktator, kegagalan administrasi yang melilit, dan pembangunan yang tertinggal dan terpuruk.
Di Suriah, Iraq, Yaman dan Libya, dimana krisis negara sedang menggurita. Mesir, Aljazair, Sudan dan Libanon krisis juga terjadi.
Belum lagi krsis Palestina akibat penjajahan Zionis-Israel yang berlangsung sejak zaman dulu. Anehnya, saat ini krisis Palestina mulai kabur dan hilang dari agenda pemimpin negeri Arab sendiri.
Hal ini disebabkan karena penyebab krisis di Palestina–di mata para pemimpinn Arab–mulai dikaburkan.
Di negeri Arab saat ini, tesa yang diungkapkan oleh Fransis Fukuyama dan Samuel P Huntington yang mengatakan setelah runtuhnya tembok Berlin dan Uni Soviet dimana memprediksikan berakhirnya sejarah, menangnya demokrasi liberal dan benturan peradaban antara Timur dan Barat ternyata tak terjadi di negeri Arab.
Pada Abad lalu, negeri Arab keluar dari masa kolonialisme langsung dalam keadaan lemah secara struktur sosial dan politik. Sedangkan Eropa menguat secara politik dan maju dengan sistem demokrasinya. Abad ini, ketika Barat mendarah daging dengan demokrasi namun demokrasi di negeri Arab hanya melintas sebentar tanpa mampu berkutik meninggalkan masalah besar dan bergejolak untuk waktu yang tidak ditentukan.
Analis ternama Mesir Fahmi Huwaidy menyebutkan perubahan mengerikan dalam krisis dunia Arab saat ini. Menurutnya, perubahan ini lebih berbahaya dari gejolak imperialism abad lalu. Pada masa kolonialisme, bangsa Arab mampu bersatu memerangi musuh bersama dari luar dengan semangat ideologi bersama hingga muncul semangat nasionalisme Arab di kalangan politikus sekular.
Namun yang terjadi sekarang, ideologi kemerdekaan nasional sudah berubah menjadi ideologi kesukuan dan kelompok. Maka perangpun berubah. Jika dulu perang bersama saudara menghadapi musuh dari luar, sekarang menjadi perang sesama saudara sebagai musuh di dalam. (Fahmi Huwaidy, dikutip Shouroknews, 7 Oktober 2014)
Terbukti, tentara nasional di negeri Arab ini sama sekali tidak punya kekuatan. Libanon, Yaman, Libya bisa jadi contoh. Tentara ini hanya berlaku untuk parade dan pengawas keamanan lokal semata. Sedang yang bermain perang dan berkekuatan menentukan peta perubahan adalah milisi kelompok dan suku dalam negeri Arab seperti Hizbullah (Syiah), ISIS,Basymerga,Tentara al-Mahdi (Syiah), Anshar Syariah, Front Nusra, Jihad Islami, HAMAS, Hautsi (Syiah). Tentara-tentara inilah yang menentukan perkembangan ke depan negeri Arab. Setidaknya menurut Huwaidy, Arab sedang menghadapi perpecahan sengit atar suku dan kelompok yang mengkhawatirkan.
Nasionalisme Arab (al-Qaumiyah al-Arabiyah) bergandeng dengan sekulerisme yang didengungkan sebagai semangat dasar bernegara selama ini telah gagal. Ideologi pasca kemerdekaan Arab dari penjajah ini nampaknya tidak bisa menyatukan, sesama orang yang seiman dan satu bahasa bahkan. Karena itulah badan Liga Arab yang didirikan atas dasar ideologi ini saat ini lumpuh tak berdaya menghadapi krisis Negara anggota di tiap penjuru.
Menuju Islam
Sejarah mencatat, tahun 1915, lahir Pan-Arabisme yang sering diartikan sebagai persatuan Arab didasarkan atas keyakinan bangsa Arab adalah satu bangsa yang dipersatukan oleh etnis, bahasa, budaya, sejarah, dan geografis. Pan-Arabisme adalah ideologi yang dilandasi atas semangat nasionalisme Arab. Semangat terbentang luas dari Samudra Atlantik sampai lautan Arab sebagai kesatuan yang utuh agar lebih mudah dalam perjuangan melawan kekaisaran Usmaniyah (Ottoman), Inggris dan Prancis.
Pan-Arabisme yang sering membawa budaya serta tradisi Arab cenderung sekuler dan sosialis, bukan Islam. Semangat dan gerakan ini banyak didominasi politik Barat.
Kenyataannya, hampir 100 tahun kelahirannya, ideologi ini tak menyatukan negara-negara Arab, bahkan membuat makin terkoyak. Karena itu, sudah saatnya Islam sebagai semangat asli dan identitas dasar dikembalikan secara damai menguasai sendi-sendi kehidupan bernegara, termasuk dalam menyatukan kembali Jazirah Arab.
Sudah saatnya umat Islam seluruh dunia –bangsa Arab khususnya– menyadari bahwa sistem kekusaan dan politik mengekor ke Barat yang sekuler sama sekali tidak pernah menguntungkan dan bisa diterapkan serta tidak pernah bisa diterima oleh rakyatnya sendiri.Bahkan sebaliknya, kehancuran yang diterima.
Sistem ‘kekuasaan boneka’ yang sering digunakan Barat di dunia Arab justru melahirkan racun bagi umat Islam. Keindangan hubungan umat Islam di negeri-negeri Arab hampir hampir hilang seabad lamanya.
Yang tidak kalah penting, adanya faktor akhir zaman. Kondisi seperti yang terjadi di Jazirah Arab seperti ini memang telah banyak diprediksi Nabi dalam hadits.
Bagi orang yang beriman, setiap gerakan dan gejolak di Timur Tengah tak bisa semata-mata hanya dilihat faktor politik semata. Namun sudah pernah pernah diprediksi oleh Rasulullah Muhammad sebagai tanda-tanda akhir zaman. [baca: Timur Tengah Diprediksi Tempat Kejadian Besar Akhir Zaman]
“Tidak akan terjadi hari kiamat sehingga dua kelompok besar saling berperang dan banyak terbunuh di antara dua kelompok tersebut yang seruan mereka adalah satu.” (HR. Muslim).
Semoga Allah menjaga Islam dan kaum Muslimin di seluruh penjuru bumi hingga tiba saatnya kemenangan Islam sebagaimana janji Allah Subhanahu Wata’ala.*
Penulis adalah Mahasiswa Aceh program studi Doktor di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Kini bermukim di Kairo