Oleh: Arwa Ibrahim
Di saat etnis Kurdi di Iraq utara bersiap untuk memberikan suara mereka pada referendum kemerdekaan pada Senin, pemungutan suara kontroversial itu telah menunjukkan perpecahan yang mengakar kuat dalam populasi Kurdi di negara tetangga Turki itu.
Sementara opini publik etnis Kurdi di Turki dianggap sangat mendukung proses yang berlangsung di sepanjang perbatasan di wilayah semi-otonomi Kurdi Iraq, kecenderungan kelompok-kelompok politik Kurdi dan pergerakannya di negara itu kurang jelas.
Meskipun belum ada pemungutan suara yang dilakukan untuk mengukur tingkat dukungan rakyat di Turki mengenai referendum Kurdi, banyak etnis Kurdi, khususnya mereka yang tinggal di tenggara, telah menunjukkan dukungan terhadap langkah tersebut.
Saat ini masalah tersebut dapat membawa ke permukaan persaingan politik internal Kurdi yang sebagian besar tidak aktif sejak runtuhnya proses perdamaian Kurdi pada 2015 dikarenakan gelombang pengeboman, serangan-serangan oleh militan Partai Pekerja Kurdi (PKK), dan serangan brutal untuk menumpas pemberontakan oleh pasukan keamanan Turki di tenggara negara itu.
Pada bulan Juli, faksi-faksi pro-referendum Kurdi melancarkan sebuah kampanye, inisiatif dukungan, untuk melobi tokoh-tokoh politik domestik dan luar negeri agar mendukung pemungutan suara itu dan ide mengenai Kurdi independen yang melepaskan diri dari pemerintahan Iraq.
Inisiatif itu didukung oleh enam partai tradisional Kurdi – Partai Kebebasan Kurdi (PAK), Partai Demokrasi Kurdi (KDP-Bakur) yang berganti nama menjadi Platform Demokrasi Kurdi (KDP) setelah partai itu secara resmi terdaftar pada 2013, Gerakan Azadi (AM), Partai Demokrasi Kurdi Utara (NKDP), Partai Kebebasan dan Sosialisme dan Partai Sosialis Kurdi (PSK), serta tujuh tokoh independen.
Meskipun kebanyakan dari partai-partai ini didirikan beberapa tahun yang lalu – dan beberapa dari mereka telah dianggap ilegal oleh negara – mereka telah gagal meloloskan 10 persen batas di pemungutan suara bertujuan untuk memasuki parlemen. partai-partai ini telah mengejar independensi atau sebuah federasi Turki-Kurdi melalui “cara-cara resmi dan politik yang damai” dari pada melakukan kekerasan atau mengangkat senjata.
Tetapi yang patut diperhatikan ialah absennya Partai Rakyat Demokratis (HDP) di daftar itu, saat ini partai pro-Kurdi terbesar di parlemen Kurdi, yang hanya menunjukkan dukungan aktif kecil pada referendum itu. Para pemimpin partai itu telah mendekam di penjara sementara lusinan anggota parlemen mereka telah pula ditangkap atau dilucuti kursi mereka karena dugaan memiliki hubungan dengan separatis bersenjata.
Dan sementara para promotor kampanye pro-referendum telah bertemu dengan tokoh-tokoh oposisi Turki dan kelompok masyarakat sipil, tawarannya untuk melakukan pertemuan dengan perwakilan pemerintah sejauhnya telah gagal.
Meskipun begitu Sertac Bucak, Ketua KDP, mengatakan pada Middle East Eye (MEE) bahwa kampanye tersebut telah membantu meningkatkan kesadaran publik tentang referendum dan meningkatkan profil partai-partai yang terlibat.
“Meskipun panggilan kami pada AKP untuk bertemu sejauh ini dijawab, program partai politik ini bertujuan untuk mengurangi ketakutan di pemerintah Turki terkait sebuah negara independen Kurdi dan untuk meningkatkan dukungan dari negara-negara Barat karena referendum itu hanya menerima sedikit dukungna internasional,” kata Bucak.
Program partai itu berupa pembagian selebaran dan tulisan-tulisan dalam basaha Turki dan Kurdi untuk semua anggota parlemen Kurdi di parlemen Turki, apapun partai afiliasi mereka, agar mendukung referendum, katanya.
“Kami menjelaskan pada mereka mengapa kami mendukung referendum, yang mereka seharusnya hargai hasilnya karena setiap negara memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, yang ini sejalan dengan hukum internasional, bahwa saudara kita di selatan memiliki hak, juga, dan bahwa ini harus diakui secara internasional,” Vahit Aba, seorang aktivis PAK di program itu, mengatakan pada Al-Monitor.
Meskipun enam partai itu relatif tidak signifikasn sejak pendiriannya HDP pada 2012 dan masuknya ke parlemen setelah mendapatkan 13,2 persen dari pemungutan suara di pemilihan umum 2015, para analis mengatakan program mereka telah membantuk mereka mendapatkan sejumlah relevansi di panggung politik Turki-Kurdi.
Vahap Coksun, asisten profesor politik Turki-Kurdi di Universitas Dicle, mengatakan pada MEE: “Meskipun terbatasnya potensi pemungutan suara enam partai yang membentuk kebijakan itu, program inisiatif telah mendapatkan legitimasi yang kuat dan telah memiliki dampat signifikan terhadap opini publik karena referendum dianggap sebuah masalah nasional dan bersejarah yang diharapkan semua orang [Kurdi].”
Namun, dia yakin bahwa program tersebut tidak akan meningkatkan basis pemilih melebihi HDP.
“Kampanye-kampanye yang mendukung referendum disambut dan dipuji oleh publik, tetapi ini hal positif ini tidak lantas menjadi dukungan politik [untuk partai-partai dibalik program itu],” Coksun menjelaskan.*>>> Klik (BERSAMBUNG)