Oleh: Thomas Ruttig
SERANGAN oleh angkatan udara pemerintah Afghanistan di madrasah (sekolah keagamaan) di provinsi utara Kundzu pada 2 April yang membunuh dan melukai puluhan penduduk sipil dan sejumlah anggota Taliban dan komandan adalah, mengutip kata-kata seorang novelis bernama Gabriel Garcia Marquez, sebuah kisah kematian yang telah diramalkan.
Tahun lalu, setelah pemerintah AS mengumumkan strategi Afghanistannya yang (tidak begitu) baru, yang berfokus pada meningkatkan tekanan militer atas Taliban untuk memaksa mereka ke meja perundingan, kelompok bersenjata itu membalas dengan baik, mengumumkan mereka tidak akan terintimidasi karena mereka pernah keluar dari gempuran pasukan yang bahkan lebih banyak di bawah Presiden Barack Obama.
Meminjam sebuah ungkapan Pashtun, dengan pertukaran sikap tidak menyenangkan itu “jelas seperti matahari” bahwa, sayangnya, tahun ini – sejak Nowruz 21 Maret yang juga tahun baru Afghanistan ke 1937 – akan melihat peningkatan kekerasan lain, mendorong pemecahan pada perang ini melalui jalan negosiasi akan semakin jauh ke masa depan. Apa yang serangan madrasah itu tunjukkan ialah tidak ada akhir yang terlihat dalam konflik ini dan kedua pihak bersedia menghapus kematian orang-orang yang kedua pihak bersikeras pertahankan sebagai “kerusakan tambahan”.
‘Contoh yang salah’
Sayangnya, para sekutu Barat Afghanistan telah berulangkali memberi contoh yang salah.
Yang paling mencolok ialah penyangkalan mereka, dan kemudian justifikasi, pengembonan mereka atas rumah sakit yang dijalankan oleh Organisasi kemanusiaan medis internasional Doctors Without Borders, dikenal dalam dalam bahasa Prancisnya Médecins Sans Frontières (MSF), di kota Kunduz yang sama pada Oktober 2015. Bombardir itu, yang dilakukan oleh NATO pimpinan AS, membunuh 16 penduduk sipil dan melukai 37 lainnya, termasuk anak-anak, pasien, doktor dan perawat.
Amerika Serikat menyatakan telah melancarkan serangan udara dan mengakui mereka “mungkin telah” mengenai rumah sakit, namun berupaya membenarkan tindakan mereka dengan mengklaim bahwa mereka menarget “individu-individu yang mengancam pasukan”. Deklarasi Taliban bahwa mereka tidak memiliki petempur di rumah sakit itu, dan pernyataan MSF bahwa “koordinat rumah sakit telah diketahui oleh pasukan AS” tidak mendapat perhatian.
Baca: Pembantaian 100 Santri Tahfizh Qur’an di Kunduz Picu Kemarahan Massal
Setelah serangan Senin, otoritas Afghanistan mengikuti contoh sekutu Amerika mereka pada tahun 2015 dan berupaya untuk menyangkal melakukan kesalahan. Jubir Kementrian Pertahanan Afghanistan, contohnya, bersikeras sama sekali tidak ada penduduk sipil yang berada di madrasah – dia mengklaim bahwa itu adalah “pusat pelatihan Taliban”. Bukanlah masalah bagi otoritas Afghanistan bahwa pada saat yang sama jubir gubernur mengumumkan bahwa sekitar 5 penduduk sipil terbunuh dan 55 terluka karena serangan udara.
Para saksi mata menggambarkan bagaimana helikopter pertama menembak dan kemudian meluncurkan roket menuju kerumunan orang yang sebagian besar anak-anak yang baru saja selesai menghafal Quran, orang tua mereka dan guru. Menurut laporan saksi, kerumunan orang berkumpul di luar sekolah bukan untuk pertemuan tingkat tinggi Taliban tetapi untuk melakukan upacara ikat turban dan makan siang. Menurut sumber sipil di lapangan terdapat beberapa kehadiran komandan Taliban, tetapi mereka di sana hanya untuk menghadiri upacara dan makan siang.
Seorang pilot Afghanistan seharusnya dapat mengenali upacara semacam itu dari helikopter yang mungkin terbang rendah.
Bahkan jika sejumlah besar komandan Taliban hadir, dan bahkan jika mereka menyelenggarakan perundingan perang di sana, bersembunyi diantara penduduk sipil – menembaki kerumunan seperti itu, menurut Konvensi Jenewa, sama dengan menggunakan kekuatan yang tidak proporsional dan bisa jadi kejahatan perang.
Ya, Taliban, menurut PBB, masih menyebabkan lebih banyak korban sipil dari pada pasukan Afghanistan dan sekutu internasional mereka.
Pada akhir Januari, mereka memasang peledak di sebuah ambulans untuk menyerang kantor kementrian dalam negeri Afghanistan di Kabul dan – ketika mereka gagal mencapai target – meledakkannya di seberang sebuah rumah sakit di pagi yang menjadi jam sibuk, membunuh 95 orang dan melukai 158 lainnya.
Baca: Keluarga Korban Minta Tanggung Jawab Pembataian 100 Hafidz Quran di Kunduz
Dan beberapa hari setelah Nowruz di Lashkargah, Ibu Kota Provinsi Helmand selatan, seseorang mengendarai sebuah mobil menuju kerumunan orang yang meninggalkan stadion olahraga, membunuh dan melukai lusinan orang. Taliban tidak mengaku bertanggungjawab atas serangan ini. Tetapi cabang lokal dari ISIS – yang satu-satunya tersangka lain selain Taliban – tidak diketahui beroperasi di Helmand, dan akan mengatakan sesuatu jika mereka berada di belakang ini.
Pengeboman di Lashkargah terjadi dua hari setelah seorang pembom bunuh diri meledakkan diri di dekat Universitas Kabul di ibukota Afghanistan, membunuh 29 orang dan melukai 52 lainnya. ISIS mengklaim bertanggungjawab atas serangan itu.
Sebaliknya, pasukan yang memerangi kelompok ini di bawah kepemimpinan Resolute Support Mission (RSM) dan pasukan Afghanistan yang mereka latih seharusnya menempatkan diri mereka ke standar yang lebih tinggi.
Pasukan yang mewakili negara demokratik di Afghanistan, dan sekutu mereka, harus memastikan dapat menyerang target mereka tanpa membunuh penduduk sipil, atau dalam bahasa mereka, “menyebabkan kerusakan tambahan apapun”.
Mereka harus mematuhi Konvensi Jenewa dan menghindari melancarkan serangan pada penduduk sipil, bahkan ketika “target bernilai tinggi” diyakini berada diantara mereka.
Jika ini tidak menjadi aturan yang tidak dapat dipecahkan, pasukan pemerintah Afghanistan tidak dapat memperoleh landasan moral yang tinggi dan membedakan diri dari kelompok yang mereka tuduh “teroris”.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak selalu mencerminkan posisi editorial Aljazeera.*
Thomas Ruttig adalah seorang wakil direktur Afghanistan Analyst Network