Hidayatullah.com — Pada 25 Oktober 2004, pasukan keamanan Thailand menumpas protes besar-besaran oleh Muslim di kota Tak Bai. Sedikitnya 78 pengunjuk rasa meninggal karena mati lemas di truk militer setelah tentara menangkap 1.300 pengunjuk rasa yang mayoritas Muslim.
Mereka meninggal setelah ditumpuk dengan menghadap ke bawah di truk militer dan mengangkut mereka ke kamp Patani yang berjarak lima jam perjalanan. Sementara beberapa lainnya ditembak mati saat memprotes penangkapan rekan mereka di luar kantor polisi.
Chaturon Iamsopha, anggota LSM lokal Tohmeena Foundation, mengatakan, “aparat keamanan tidak pernah dihukum, demikian pula kasus pembantaian Tak Bai. Pemerintah Thailand mengatakan ada pemberontak di antara kerumunan itu, tetapi orang-orang yang dipanggil ke kantor polisi sebenarnya diundang untuk ikut makan malam buka puasa.”
Ia mengatakan ketia peristiwa terjadi, ia menjadi sekretaris seorang senator dan diberitahu banyak Muslim Melayu mendapat undangan dari berbagai kelompok untuk berbuka puasa tapi memang tidak ada makan malam buka puasa. “Itu telah diatur dan sampai sekarang masih menjadi misteri lain tentang siapa yang mengatur ini. Tapi yang pasti, siapapun yang melakukan ini, mereka tidak menginginkan perdamaian di bagian selatan Thailand. Saat Anda memeriksa lokasi Kantor Polisi Tak Bai, Anda akan melihat jalan buntu. Satu-satunya jalan keluar adalah berenang dan menyeberangi sungai ke Malaysia,” katanya.
Dikenal di seluruh wilayah selatan Thailand yang bermasalah sebagai ‘pembantaian Tak Bai’, insiden itu akan menjadi simbol lain impunitas negara terhadap Melayu Muslim di negara itu. Berbicara kepada TRT World, Asama Mungkornchai, dosen Ilmu Politik di Prince of Songkla University mengatakan “Perspektif saya tentang Tak Bai adalah sesuatu seperti ‘sejarah yang terluka’. Itu adalah konflik yang sedang berlangsung. Kami mendapat beberapa insiden tentang kekerasan, kekerasan negara dan itu telah menjadi sejarah yang terluka.”
Meskipun Islam adalah agama minoritas di Budha Thailand, Muslim merupakan mayoritas di provinsi selatan Satun, Yala, Patani dan Narathiwat, yang disebut sebagai “selatan jauh”.
Thailand memiliki populasi sekitar 69 juta di mana 92,6 persen diidentifikasi sebagai penganut Buddha. Meskipun Budha adalah agama resmi negara, sekitar 6 persen penduduknya adalah Muslim.
Kelompok minoritas di wilayah selatan berasal dari entitas Melayu Muslim, yang merupakan 85 persen dari populasi lokal di negara tetangga jauh di selatan Malaysia. Mereka berbicara dengan dialek lokal Melayu, yang dikenal sebagai Melayu Patani, mempertahankan cara hidup tradisional mereka.
Keberadaan mereka berarti kesulitan yang tidak pernah berakhir bagi pemerintah Thailand dan minoritas Muslim Melayu sejak abad ke-18 ketika hubungan Lord Vassal memburuk. “Ketika kita berbicara tentang Muslim di selatan, jelas masalah ‘ke-Thailand-an’, oke mereka dapat kartu kewarganegaraan Thailand tapi mereka berbicara dalam bahasa Melayu, identitas mereka dan budaya tertentu, mereka bukan bagian dari budaya Thailand,” kata Asama Mungkornchai.*