AHAMED duduk di sudut rumahnya di Aluthgama, Sri Lanka, merenungkan peristiwa beberapa saat terakhir. Kampungnya itu dirusak oleh massa Buddha yang menewaskan empat orang pada Selasa (17/6/2014).
“Kita hidup dalam ketidakpastian hanya karena kita adalah Muslim. Sebagian besar toko-toko di Aluthgama milik Muslim sehingga mereka mencoba untuk membakarnya habis. Rumah dibakar juga,” kata Ahamed, manajer perusahaan farmasi Acme Laboratory.
Lima tahun setelah perang dengan separatis Tamil LTTE berakhir, ketegangan rasial meningkat lagi di pulau itu.
Sentimen anti-Muslim muncul pada April 2012 ketika sejumlah 2.000 umat Buddha, menyebut kelompoknya Boddhu Bala Sena (BBS) atau Buddha Force, menyerang satu masjid di Dambulla, di pusat kota Sri Lanka. Mereka mengklaim bahwa masjid tersebut dibangun di komplek Buddha suci.
Serangkaian insiden menargetkan penduduk Muslim minoritas. Kelompok Buddha itu juga memprotes logo halal pada produk makanan di ibukota Kolombo Februari, yang kemudian otoritas Muslim setuju menghapus logo dari semua produk lokal.
Ketegangan meletus lagi pada hari Minggu.
“Jika salah satu Marakkalaya (Muslim) menyerah pada setiap orang Sinhala (penduduk Sri Lanka), akan menjadi akhir dari semuanya,” kata biksu Galagoda Atthe Gnanasara dalam orasi pada demonstrasi kelompok BBS di kota selatan Aluthgama.
Setelah pidatonya yang berbasis rasial, para demonstran itu kemudian menyerang rumah-rumah dan toko-toko Muslim. Pemerintah bereaksi dengan memberlakukan jam malam, tetapi tidak bisa menghalangi massa yang melanjutkan kerusuhan ke Beruwala, wilayah sebelahnya.
“Beberapa toko dibakar pada pagi dini hari, memaksa warga berlindung di Jamiya Naleemiya (satu perguruan tinggi Arab),” kata Niyas Mohammad, seorang pengacara yang tinggal di Beruwala, kota dengan mayoritas Muslim di selatan ibukota Kolombo.
“Satu insiden kecil saja dapat memicu kemarahan mereka. Hal ini dimulai saat perang mulut pada hari Kamis antara sopir angkutan dan pengendara sepeda motor Muslim. Di dalam angkutan ada seorang biksu Buddha yang berusaha menghentikan pertengkaran,” kata Ahamed menjelaskan, seperti dilaporkan Gulf News, Selasa (17/6/2014).
“Biksu itu kemudian mengadu kepada polisi bahwa ia diserang, mengakibatkan penangkapan terhadap pengendara Muslim itu. Kemudian, ketika ia berada di tahanan, beberapa pendukung BBS menuntut pada pihak polisi agar tahanan itu diperlihatkan pada mereka. Polisi tidak mau mengeluarkan pria itu dari tahanan, tetapi polisi membolehkan sejumlah orang masuk ke dalam tahanan untuk memukulinya di tempat itu.”
Aparat penegak hukum dan pemerintah Sri Lanka sejauh ini menutup mata terhadap kekerasan dalam masalah yang terus berulang selama dua tahun ini.
“Pemerintah Sri Lanka pasti telah mengetahui sebelumnya atas serangan-ketegangan telah muncul sejak Kamis,” kata Azad Salley, pemimpin Aliansi Persatuan Nasional dan anggota parlemen Provinsi Tengah.
“Saya secara pribadi telah menyampaikan kepada pimpinan tertinggi polisi di daerah, Anura Senanayake, untuk menghalau demo BBS dari Aluthgama. Meskipun kemudian diberi jaminan, tetapi serangan masih berlangsung juga.”
Kondisi semacam ini menjadi perhatian warga Sinhala beragama Nasrani. Pria berusia 23 tahun ini frustrasi dengan tanggapan Presiden Mahinda Rajapaksa yang hanya menyerukan pihak-pihak menahan diri dan meyakinkan masyarakat bahwa masalah ini akan diselidiki untuk menemukan pelaku.
“Cukup mengecewakan dengan sedikitnya kecaman terhadap agresi rasial dan serangan itu. Juga kurangnya upaya mengatasi pelanggaran toleransi tersebut. Padahal peristiwa itu merupakan tindakan main hakim sendiri, berupa serangan rasial terang-terangan yang menyebabkan orang kehilangan nyawa,” kata mahasiswa hukum itu.
“Penyelidikan sedang dilakukan untuk menemukan pihak yang bertanggung jawab. Padahal untuk itu tidak terlalu sulit, cukup melihat klip YouTube terhadap orang-orang yang berkata kasar untuk menemukan konspirator utama yang menyebabkan kerusuhan.”
Biksu Buddha Wathehene Vijitha Thero mengatakan, mereka memang telah diberi peringatan oleh pemerintah sebelumnya, tetapi mereka memilih mengabaikan atau karena tidak memahami masalahnya.
“Semua orang di negeri ini, terlepas dari apakah mereka Sinhala atau Muslim, memiliki hak kebebasan berbicara. Kita harus melindungi hak-hak ini.”
Pengusaha hotel Vimukthi Yapa bersuara di Twitter dengan dua topik, # RajapaksaTakeAction dan # EndBBS, mendesak pemerintah mengakhiri kekerasan.
“BBS ada karena pemerintah mengizinkannya, yang mereka menggunakan kelompok itu untuk mengalihkan masalah sesungguhnya. Sungguh cerdas. Ini rezim kuat yang telah mengakhiri perang! (dengan separatis Tamil) Jadi peristiwa ini tidak begitu saja terjadi tanpa sepengetahuan pemerintah,” kata seorang warga Sinhala.
Bagi dirinya apa yang dilakukan BBS tersebut membuat dia menundukkan kepala karena malu.
“Kami tumbuh dengan ajaran Buddha, sebagaimana diajarkan oleh para biksu yang mulia. Tetapi sungguh memalukan melihat para biksu, yang seharusnya menjalani kehidupan berperilaku teladan. Lantas bagaimana kita bisa mengajarkan generasi muda untuk menghormati para ‘Sangha’ (biksu) itu?” ucap warga yang berprofesi dokter.
Menteri Patali Champika Ranawaka yang juga Sekretaris Jenderal Partai Politik Buddha meminta masyarakat untuk tidak terhasut oleh BBS.
“Sebuah insiden sangat tragis telah terjadi. Kami mendesak bangsa untuk mengingat bahwa masalah hanya dapat diselesaikan melalui cara-cara damai. Umat Buddha harus menunjukkan hal ini. Berbuatlah dengan cara yang memungkinkan kita menyelesaikan masalah ini,” katanya saat berjumpa dengan media hari Senin (16/6/2014).
Menteri Kehakiman menolak berbicara terhadap masalah yang sedang terjadi. “Kami diminta untuk tidak berbicara kepada pers,” petugas di kantor Menteri Kehakiman, Rauf Hakeem, saat dihubungi Gulf News untuk mengetahui komentarnya terhadap masalah yang sedang terjadi.*