Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania
ABAD ke-21 merupakan abad ‘kemenangan’ kaum homoseksual di Barat. Agama Kristen—yang menjadi agama mayoritas masyarakat Barat—tak mampu membendung sepak terjang aktivis gerakan pendukung homoseksual. Perilaku homoseksual di negara-negara Barat tidak lagi dikategorikan sebagai perilaku abnormal sejak Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) mengeluarkan homoseksual dari daftar penyakit mental atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) pada tahun 1973. Saat ini, siapa saja yang menentang homoseksual justru dituduh sebagai homophobia yaitu mereka memiliki ketakutan dan kebencian terhadap aktivitas homoseksual.
Eksistensi kaum homo semakin menjadi sorotan dunia ketika putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 26 Juni 2015 melegalkan pernikahan sesama jenis. Meskipun Belanda menjadi negara pionir yang mengakui pernikahan pasangan homo sejak tahun 2001, namun dengan legalisasi negara yang dianggap superpower seperti Amerika, membuat kelompok pendukung kaum homo di berbagai negara mengalami euforia termasuk di Indonesia.
Istilah homoseksual atau homosexual sendiri secara literal berasal dari homo dalam Bahasa Yunani yang berarti sama (sejenis) dan sex dari Bahasa Latin yang berarti seks. Istilah homoseksual pertama kali muncul pada tahun 1896 dalam Bahasa Jerman pada pamflet yang ditulis oleh Karl-Maria Kertbeny, berisi advokasi untuk menghapuskan Prussia’s Sodomy Law[The Prussian Sodomy Law baru benar-benar dihapuskan pada tahun 1994.].
Ia memunculkan istilah homoseksual sebagai pengganti istilah sodomite atau pederast yang bersifat merendahkan, dan waktu itu lazim digunakan secara luas di kalangan masyarakat berbahasa Jerman dan Prancis. Prussia adalah negara Jerman pertama yang menghapuskan hukuman mati bagi pelaku sodomi pada tahun 1794.[ Brent L. Pickett. 2009. The Historical Dictionary of Homosexuality. Maryland : The Scarecrow Press. hlm. 78]
Kaum Homo Pertama di Muka Bumi
Aktivitas homoseksual pertama dalam sejarah dapat ditelusuri dalam kitab-kitab suci, baik agama Kristen (Injil) maupun dalam agama Islam (Al-Qur’an). Namun karena kitab Injil bermasalah dalam keotentikan teks dan interpretasinya, maka kitab suci al-Qur’an merupakan kitab yang paling otoritatif dalam menjelaskan perilaku homoseksual pertama di muka bumi. Al-Qur’an mengabarkan perilaku homoseksual pertama kali dilakukan oleh kaum Sadum (Sodom). Allah SWTtelah mengutus Nabi Luth bin Haran bin Azar, anak saudara Nabi Ibrahim kepada penduduk Sadum dan negeri-negeri sekitarnya untuk menyeru kepada kebenaran.[ Ahmad Al-Usairy.2003. Sejarah Islam. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana. hlm. 34] Nabi Luth hidup sezaman dengan Nabi Ibrahim. Menurut al Attas, jarak antara masa sekarang dengan masa nabi Ibrahim sekitar 4215 tahun.[ Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 2015.On Justice and the Nature of Man. Kuala Lumpur : IBFIM. hlm. 57]
Allah SWT berfirman di Surat Al-A’raaf (7) ayat 80 dan 81 bahwa kaum Sadum telah melakukan perbuat haram fahisyah, yang belum pernah seorang manusia pun pernah melakukannya. Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa fahisyah adalah laki-laki menggauli laki-laki lainnya dan bukan wanita, padahal Allah SWT menciptakan wanita untuk laki-laki. Hal tersebut menurut Ibn Katsir, merupakan perbuatan yang melampaui batas karena Kaum Sadum telah menempati sesuatu bukan pada tempat semestinya. Dalam Surat Hud ayat 79 diceritakan dalih mereka melakukan perbuatan homoseksual karena tidak menyukai wanita. Para Mufasir mengatakan maksud ayat tersebut adalah ketika kaum laki-laki merasa cukup dengan laki-laki dan kaum wanita tidak lagi memerlukan kaum laki-laki.[ Muhammad Nasib Ar-Rifai. 1999. Ringkasan Tafsir Ibn Katsir. Jilid 2. Depok : Gema Insani Press. hlm. 392 – 393] Akhirnya dalam Surat Hudd ayat 82-83, Kaum Sadum yang melampaui batas, dihancurkan oleh Allah SWT dengan membalikkan negeri tempat tinggal mereka ke dalam tanah dan menghujaninya dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.
Yunani Kuno dan Mitos Homoseksual
Praktik Homoseksual dijumpai dalam peradaban Yunani Kuno. Plato (427-347 M) dalam dialognya yang berjudul Symposium menceritakan acara pesta minuman khusus pria pada masa itu. Tema percakapan dalam dialog tersebut adalah tentang Eros, yang menyinggung perilaku homoseksual atau pedofil lebih tepatnya. Seorang tokohnya, Pausanias, mengutarakan tentang nafsu pria dewasa untuk mencari kesenangan pada anak lelaki. Sedangkan Aristophanes menceritakan sebuah mitologi Yunani bahwa kemanusiaan (humanity) pada awalnya adalah manusia dengan 4 (empat) kaki dan 4 (empat) tangan. Manusia terdiri tiga jenis kelamin yaitu hermaphrodite (kelamin ganda), pria, dan wanita. Namun dewa yunani, Zeus, merasa terancam oleh kekuatan manusia, sehingga ia memotong tubuh manusia-manusia tersebut menjadi dua bagian. Manusia akhirnya memiliki dua tangan dan dua kaki sehingga yang dulu berjenis kelamin hermafrodit akan merindukan pasangannya yang berbeda jenis kelamin (heteroseksual). Sedangkan Manusia yang awalnya berjenis kelamin laki-laki akan merindukan pasangan lelakinya (homoseksual). Begitu pula yang berjenis kelamin wanita, akan merindukan pasangan wanitanya. Manusia yang terbelah tersebut akan merindukan the other half atau pasangan jiwanya masing-masing.
Namun Plato dalam karya-karyanya yang terakhir (Phaedrus, Republic, dan The Law), bersikap negatif tentang hubungan sejenis. Menurut Plato hubungan sejenis adalah hubungan yang tidak alami atau bertentangan dengan hukum alam (natural law). Plato berargumen bahwa tidak ditemukan binatang yang melakukan tindakan homoseksual. Selain itu, menurut Platohubungan homoseksual juga memperlemah kekuatan militer karena pria akan kehilangan sifat kelaki-lakiannya ketika menempatkan diri dalam peran wanita. [Louis Crompton.2003. Homosexuality and Civilizations, Cambridge : The Belknap Press of Harvard University Press. hlm. 62]
Fenomena homoseksualitas menurut banyak penelitian memang ditemukan pada peradaban Yunani. Namun menurut Adonis dalam bukunya Homosexuality in ancient Greece, perilaku homoseksual bukan perilaku yang diterima oleh masyarakat umum. Banyak penulis Barat yang mencitrakan peradaban Yunani merupakan contoh toleransi terhadap kaum homoseksual dan cermin dari kebebasan seksual. Padahal hal tersebut tidak benar. Adonis berpendapat bahwa mereka yang menganggap perilaku homoseksual diterima dalam masyarakat Yunani adalah karena adanya praktik seksual lelaki dewasa terhadap anak laki-laki (pederasty), yang bahkan untuk ukuran pada zaman ini merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Homosexuality existed in ancient Greece but was not socially approved. This reality, despite the impressions some people try to create, is undeniable and no author doubts it. Those who tend to present homosexuality as approved by ancient Greeks specify that they are talking about sex with boys, pederasty, and only under certain conditions, rather severe, if not intolerable by modern standards.[ donis Ath. Giorgiades.2004. Homosexuality in Ancient Greece : The Myth is Collapsing. Athens: Georgiades . hlm 197-198]
Terdapat banyak bukti bahwa Masyarakat Yunani di Kota Athena memiliki hukuman yang tegas terhadap pelaku homoseksual. Secara sosial dan politik, pelaku homoseksual tidak diperkenankan untuk menempati posisi-posisi di masyarakat, tidak boleh masuk ke area publik yang dianggap suci, dan tidak diperkenankan mengikuti acara keagamaan. Mereka tidak dianggap lagi sebagai bagian dari penduduk Athena. Bahkan lebih dari itu, dalam beberapa kasus apabila mereka melanggar aturan tersebut terbukti mereka sudah tidak suci (berhubungan homoseksual) maka pelakunya akan diganjar dengan hukuman mati. Hal tersebut dijelaskan dalam Aeschines, Against Timarchus 2 I:
If an Athenian turns out to be unchaste [that is, if he is involved in a homosexual relationship], he is not allowed to become one of the nine archons; or to become a priest; or to be prosecutor in a public trial; or to have any office, within the boundaries of the Athenian republic or beyond them, whether he is appointed by lot or after an election; or to serve as a public messenger or judge other public messengers; or to enter public sacred places, to participate in [religious ceremonies of] wearing of wreath, to be in the parts of the market-place sprinkled with lustral water. But, if he breaks the law and does any of the above, once he is found guilty of being unchaste, his sentence must be death.[ix]
Peneliti INSISTS dan Direktur The Center for Gender Studies (CGS)